Sabtu, 19 Juni 2010

Arsitek Peka Lingkungan

Adhi Moersid adalah arsitek yang amat peka dengan Arsitektur Tropis. Artinya, ia banyak menggarap rumah atau gedung yang berorientasi pada kultur dan budaya masyarakat tropis. Maksudnya, ia tak membuat bangunan yang tak mampu melindungi bangunan itu sendiri dari iklim tropis seperti panas atau hujan. Karena itu, bangunannya selalu kaya dengan bentuk atap yang panjang, yang dapat membuat bayangan di dinding atau melindungi bangunan ketika turun hujan. Itu arti dari Arsitektur Tropis.

Ia pernah memenangkan AGA Khan Award, (penghargaan arsitektur dari Pangeran AGA khan untuk bangunan publik dan bangunan Islami). Aga Khan Award ini diakui secara international. Karyanya tersebut adalah Mesjid Said Na'um di Tanah Abang. Dia sekarang menjadi salah satu juri dari Aga Khan Award. Mantan Rektor IKJ ini juga dua kali menjabat ketua IAI. Dia dianggap sangat berjasa di IAI karena membangkitkan IAI kembali ketika hampir dua kali bubar. Sekarang ia menjabat Ketua Majelis Arsitek IAI. Ia juga pemilik Biro Arsitek Atelier 6 (AT6), perusahaan konsultan arsitektur yang dipimpinnya. Karya arsitektur lainnya, Kampus Stekpi Di Kalibata, Museum Minyak dan Gas di TMII.

Arsitek tropis inilah julukan yang cocok bagi pria yang ramah dan murah senyum ini. Adhi Moersid, telah memegang karakter ini sejak awal karirnya sampai saat ini. Arsitektur tropis berarti suatu bangunan digarap dengan menyesuaikan diri dengan iklim tropis, dengan memanfaatkan angin dan alam yang ada, serta cocok dengan lingkungan. Kecintaannya pada arsitektur tropis membuat Adhi berangan-angan selalu ingin mengembangkan pembuatan bangunan yang merefleksikan keadaan yang cocok dengan iklim dan budaya daerah setempat.

Perjalanan karir Adhi dititi bersamaan dengan penerimaan gelar Sarjana Arsitektur ITB-nya pada tahun 1968. Ia memulai dengan mengamati dan belajar memahami arsitektur Indonesia, dengan cara berkeliling Indonesia dan ikut dalam berbagai penelitian arsitektur vernakular-arsitektur daerah. Ketika itu ia menemukan penduduk Indonesia yang multikultural akan menjadi sumber hidup bagi arsitek Indonesia. Karenanya bangunan yang dirancang selalu menampilkan karakteristik tropis dan kultural.

Proyek awalnya dirintis bersama dengan kelima orang teman baiknya, antara lain berupa rumah tinggal dan perumahan. Rumahnya pun merupakan bagian dari proyek awalnya. Kemudian mereka membentuk sebuah biro arsitek yang dinamai Atelier 6(sekarang berupa PT).

Waktu itu ia melihat arsitektur yang ada belum berkarakter. Ini mendorong ia untuk membentuk karakternya sendiri tanpa meniru atau mengekori suatu gaya atau aliran tertentu. “Arsitektur saya adalah arsitektur saya,” katanya tegas.

Karya arsitekturnya sampai saat ini begitu banyak sampai ia sendiri tak dapat menghitungnya. Mulai dari rumah tinggal, perumahan, hotel, kantor, mall, museum, masjid, dan gereja. Ada juga sebuah monumen di TMP Kalibata yang dibangun bersama isterinya. Prinsip yang sama terus ia terapkan dalam bangunan-bangunannya.

Kerja kerasnya membangun Masjid Said Naum(di Tanah Abang) yang rampung tahun 1977 tidak sia-sia, karena karya arsitekturnya itu memenangkan penghargaan Internasional Aga Khan di Marrakesh, Marocco tahun 1986. Bangunan ini mengambil arsitektur vernakular Jawa, ia menampilkan perpaduan karakter arsitektur modern dan tradisional. Bangunan ini memenangkan Aga Khan Award karena pertimbangan perpaduan yang serasi antara arsitektur modern dan tradisional, cocok dengan lingkungan, dan menggunakan bahan material lokal, juga pertimbangan pengaturan udara yang masuk-keluar dapat dipenuhinya.

Ciri-ciri arsitektur vernakular yang menonjol dalam bangunannya Adhi tercermin dari bentuk atap dan struktur atau tulang-tulang bangunan yang dapat dilihat dari luar maupun dalam. Karakter lain yang ada dalam setiap bangunan yang dibuat oleh mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini, selain tropis dan kultural, yaitu menghargai lokalitas-potensi-potensi dalam lingkungan, menghargai kontekstualitas, dan menghargai situasionalitas. Yang tak kalah penting adalah kesahajaan dalam bangunan, maksudnya tidak bermewahan.

Sampai saat ini ada impian Adhi yang belum terwujud, ia mendambakan membangun sebuah sektor kota. Dambaan ini didorong oleh adanya kota-kota yang dibangun tanpa rancangan yang jelas, detail, rasa tanggung jawab dan kontrol yang baik.
“Saya tidak pernah menganggap suatu pekerjaan itu kecil, atau suatu pekerjaan itu besar, yang terpenting adalah saya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, inilah yang menjadi motto saya,” papar Adhi. Ini bukan motto yang hanya diucapkan atau yang menjadi kata-kata pemanis saja, ini terbukti dengan kesediaannya membangun sebuah kandang ayam. Namun dirasakan Adhi, membuat kandang ayam lebih sulit dibandingkan dengan mendirikan bangunan bertingkat. “Proyek apapun akan saya kerjakan sungguh-sungguh,” kembali menegaskan.

Adhi tidak selalu mengalami kejayaan dalam perjalanan karirnya, ada kalanya ia juga mengalami kegagalan atau ketidakpuasan, namun itu tidak membuat ia menyerah dan berhenti berkembang. Kegagalan dan ketidakpuasan membawanya untuk belajar dan terus mengembangkan karakter dan mematangkan dirinya. “Menjadi arsitek adalah tantangan dan proses,” ungkapnya .

Bentuk museum migas (TMII) diambil dari bentuk bangunan untuk pengeboran minyak di tepi pantai. Ini memperkuat imagenya sebagai museum migas. Ia juga membuat kolam disekitarnya dengan pertimbangan TMII membutuhkan kolam untuk menampung air sewaktu hujan besar. Berbentuk bulat sebagai simbolisasi bentuk tangki minyak.
(TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA