Sabtu, 19 Juni 2010

Orang di Belakang Masjid Tanpa Kubah

Nama Achmad Noe'man tak asing di kalangan arsitek Indonesia. Nama dosen senior Arsitek ITB ini melambung melalui masjid-masjid yang menjadi karya arsitekturnya. Ia telah membangun sedikitnya 48 masjid yang tersebar di seluruh dunia, sejak 1960. Diantaranya Masjid Salman ITB, Masjid IKIP Bandung, Masjid Agung Bandung, Masjid Indonesia di Serajevo-Bosnia, Masjid At-Tin milik keluarga Cendana di TMII Jakarta, serta Masjid Almarkas Islami di Ujungpandang.

Seperti masjid-masjid karyanya yang beraneka warna, perjalanan Achmad Noe'man dalam merancang masjidnya pun sarat dengan liku-liku. Anak saudagar batik asal kota Garut, Jawa Barat ini mengaku menekuni desain arsitektur masjid karena terinspirasi oleh ayahnya yang sering membuat bangunan masjid. Noe'man kecil pun bercita-cita ingin menjadi arsitek masjid yang bisa membangun masjid dengan arsitektur yang baik, tapi efisien dan efektif. Baginya, membangun sebuah masjid tidak harus berdasarkan sejarah di suatu tempat. "Tapi harus sesuai dengan konsep dalam Islam, yaitu tidak memubazirkan sesuatu," katanya.

Setelah lulus dari Fakultas Teknik UI (1958), nama ITB saat itu, Noe'man merintis membuka kantor konsultan arsitek dengan nama PT. Birano, yang hingga saat ini masih tegak berdiri. Dua tahun setelah kantornya dibuka, ia memulai angan-angan yang melekat sejak kecil: membangun masjid. Karya pertamanya adalah masjid Muhammadiyah di kota kelahirannya, Garut.

Masjid itu dibangun tanpa kubah. Arsitektur yang tidak lazim ini sengaja dilakukan sebagai eksperimen terhadap pemahaman masyarakat Islam mengenai keberadaan kubah dalam bangunan masjid. Menurutnya, dalam Qur'an atau pun hadist Rosul, tidak satu ayat pun yang menyebutkan bahwa sebuah masjid harus berkubah.

Alhasil, masjid pertama ciptaan Noe'man mengundang reaksi dan perdebatan dari kalangan pemuka agama. Tapi, inilah saat yang dinanti-nanti. Berbekal pengetahuan agamanya, ia menjelaskan bila Al-Qur'an maupun hadist Rosul tak mensyaratkan kubah dalam bangunan masjid. Masjid pun tak harus dibangun dengan mewah atau demi bentuk, melainkan harus efisien dan efektif untuk beribadah. Syukurlah, argumentasi itu diterima.

Eksperimen itu, menurut pengakuannya, sebetulnya terjadi tanpa disengaja. Bangunan tanpa kubah itu dirancang lebih karena persoalan dana yang terbatas. Membangun sebuah kubah, berarti harus menggunakan konstruksi beton sehingga biaya pembangunan masjid jadi mahal\--\pengalaman pertama yang begitu berkesan, sekaligus memantapkan Noe'man sebagai spesialis arsitek masjid tanpa kubah.

Pembangunan masjid berikutnya adalah Masjid Salman ITB. Konsep tanpa kubah pun diterapkan dalam bangunan ini. Pada bangunan berlantai dua dengan luas sekitar dua ribu meter persegi itu, selain menampakkan kekhasan desain arsitektur tanpa kubah, juga ada ciri khas lain, yakni tidak adanya tiang-tiang penyangga bangunan di dalamnya.

Konsep ini lagi-lagi didasarkan pada hadist Rosul yang mensyaratkan barisan jemaah harus lurus. Dengan adanya tiang-tiang penyangga seperti soko guru pada masjid-masjid yang dibangun pada jaman Wali Songo, maka sap-sap tidak akan lurus dan tiang-tiang itu dianggapnya mengganggu lurusnya sebuah barisan.

Konsep ini sempat memancing reaksi juga. Selain ketiadaan kubah yang tak lazim dalam budaya Islam di Indonesia, konstruksi bangunan besar dan luas tanpa tiang penyangga pun dipertanyakan keamanannya. Tapi ia mampu memberi jaminan, bila tiang penyangga yang letaknya dialihkan ke pinggir bangunan, tetap aman bagi para jemaah.

Ruang masjid tanpa tiang penyangga akhirnya menambah khazanah arsitektur masjid bagi Achmad Noe'man. Berpuluh masjid berikutnya yang dikonsepkannya, sebagian besar dirancang tanpa kubah dan tiang penyangga. Hanya beberapa masjid saja yang dibangun dengan kubah. Diantaranya adalah masjid Indonesia di Serajevo-Bosnia, yang dibangun dengan dua buah minaret di sisi kiri-kanannya, pada 1997. Kubah terpaksa didirikan, karena didesak tradisi bangunan masjid di sana.

Masjid At-Tin dan masjid Bimantara juga dirancang dengan kubah. Tapi kubah yang dibuat di kedua masjid itu tak menggunakan konstruksi beton, melainkan menggunakan sistem Space Frame. Masjid tanpa kubah dan Islam, adalah dua hal yang mengisi hari-hari ayah empat anak dan kakek tujuh cucu yang masih kelihatan energik dalam usia 76 tahun itu. Konsep arsitektur yang mengacu pada nilai-nilai Islami pula yang selalu menjadi ilham bagi Achmad Noe'man dalam seluruh desain arsitektur yang pernah dibuatnya.

Meski sudah puluhan masjid dan ratusan bangunan yang menggunakan desain arsitekturnya, Noe'man mengaku belum ada satu pun bangunan, terutama bangunan masjid, yang membuatnya merasa puas. Sebab, tak ada satu desain masjid pun yang merupakan ekspresi totalnya. Seringkali ia harus menekan selera dan citarasa masjid yang ada dalam angan-angannya, karena harus mengikut keinginan pemesannya. Contoh yang paling telak, adalah masjid di Bosnia, At-Tin dan Bimantara itu.
(TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA