Senin, 30 Agustus 2010

Slamet Wirasonjaya "Dari Monas Memotret Masa"

Dia arsitek yang juga dosen ITB. Karyanya umumnya berbentuk plastis, dan kebanyakan bangunan publik a.l. Bandung Islamic Center, Sasana Budaya Ganesha (Gedung Konvensi Termegah di Bandung), Monumen Yogya kembali, dll. Ditilik dari karya-karyanya itu, kita bisa katakan bila Slamet Wirasonjaya adalah arsitek spesialis gedung publik.

Studio arsitek di jalan Dipatiukur, Bandung, itu lebih tepat disebut sebuah bengkel, karena kondisinya yang tampak kumal. Kesan itu tercermin dari cat yang sepertinya tidak pernah dipoles ulang selama beberapa tahun. Isi dalam ruang berukuran 7 x 10 meter itu pun tergolong sederhana, yakni tiga unit komputer, satu buah mesin printer, dan sembilan meja gambar. Di sudut ruang bertebaran masterplan bangunan dan tumpukan kertas-kertas. Yang unik, dari sembilan meja gambar itu, empat unit diantaranya adalah model lawas, buatan tahun 1950-an. Mereknya Libra dan Kuhlmann.

Alhasil, kesan tua dan tak terurus itu semakin kuat. Tapi bila kita tahu siapa pemiliknya, bayangan bengkel yang suram itu akan berubah menjadi sebuah pemandangan yang patut dibingkai di dalam format sejarah. Betul. Profesor Slamet Wirasonjaya, pemilik studio arsitek itu, adalah pria yang banyak melahirkan bangunan legendaris di Indonesia. Ia termasuk arsitek yang merancang desain Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta, serta Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat dan Sasana Budaya Ganesha keduanya di Bandung.

Sejumlah masjid berdesain unik pernah pula lahir di atas meja-meja gambar itu, diantaranya Masjid Islamic Center di Bandung, Masjid Agung di Tasikmalaya dan Masjid Agung di Tangerang. Ditilik dari karyanya, Slamet memang lebih getol merancang bangunan publik, ketimbang membangun rumah, misalnya. “Meski tidak mengkhususkan diri,” kata arsitek kelahiran 25 November 1935, yang mengaku selalu kehabisan ide jika bekerja dalam suasana formal.

Arsitektur ruang publik memang selalu menjadi sebuah angan-angan yang ingin diwujudkan menjadi sebuah bangunan bagi seorang Slamet. Ruang publik sepertinya memberi makna yang berbeda dibanding, misalnya, merancang sebuah gedung perkantoran. Menurutnya, ruang publik adalah tempat yang dapat dinikmati orang banyak. Rakyat tanpa batasan sosial bisa menikmatinya secara bersama-sama. Sampai hari ini misalnya, Monas masih menjadi tempat yang sip bagi arena kumpul-kumpul warga Jakarta.

Berangkat dari filosofi itu, Slamet membagi resep keberhasilannya dalam merancang ruang publik, sebuah karya yang dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat banyak. Katanya, karena ruang publik dirancang untuk kebersamaan, maka merancangnya pun harus dilakukan secara “bersama-sama” pula. Artinya, sebuah ruang publik harus selaras dengan kondisi sekitarnya. Ruang publik harus muncul berdasarkan realitas di sekitar lokasi.

Ia punya pengalaman bagus soal ini. Suatu hari, ia mengamati sebuah air mancur yang megah di tengah kota. Di kolam itu, tampak beberapa anak berenang dan bermain air dengan riangnya. Sementara itu, ibu-ibu mencuci baju dengan memanfaatkan percikan airnya yang deras. Ia juga melihat beberapa tukang becak mencuci kayuhannya, juga dari air mancur itu. Ditilik dari pengalaman itu, kisah yang dituturkan Slamet mengingatkan kita pada air mancur di depan stasiun Beos, Jakarta, yang beberapa tahun lalu memang selalu menjadi arena bermain bagi anak-anak kampung yang tinggal di sekitarnya.

Tapi yang dipersoalkan Slamet bukan mengenai lokasi air mancur itu, tapi soal kebersamaan ruang publik itu dengan lingkungannya, kebersamaannya dengan kenyataan. Membangun air mancur di tengah masyarakat yang kesulitan air, akan menghasilkan pemandangan yang jauh panggang dari api. Maunya memperindah suasana, tapi hasilnya malah sekumpulan anak yang berenang di kolam kota. Karena itu, kalau masih banyak orang yang kesulitan air di tempat itu, ya jangan membuat air mancur di sana. “Karya arsitektur harus mempunyai fungsi yang kuat bagi kebutuhan lingkungannya,” katanya.

Slamet mengaku memperoleh resep kebersamaan itu, antara lain melalui pengalamannya mengamati arsitektur bangunan publik abad pertengahan, seperti jaman Renaisance dan Barok. Bentuknya sangat sederhana, tapi hasilnya luar biasa. Ia mencontohkan bangunan-bangunan di Roma Italia, Prancis dan beberapa negara di Eropa lainnya yang cukup berwibawa tapi tetap hangat bagi masyarakat sekitarnya.

Dari segi desain bangunannya, gedung atau ruang publik yang dibangun itu tak bergantung pada material bangunan. Tapi arsiteknya mampu meramunya menjadi sebuah karya seni yang mempesona, meski terkesan seadanya. “Untuk melakukan segala sesuatu, kita memang harus bekerjasama,” katanya mengenai pentingnya prinsip kebersamaan dalam dunia arsitektur, termasuk merancang bangunan atau ruang publik.

Dalam prakteknya, Slamet mengaku selalu bersikap koorperatif. Ia selalu bekerja sama dengan semua manusia dan semua benda yang sama-sama sedang bekerja dengannya. Tentang bahan-bahan bangunan yang tersedia, atau tentang lokasi geografis yang terhampar di depan mata, semuanya harus dirangkul dan dihitung dengan cermat. Ia bahkan tak menaruh hati kepada material yang mewah. “Yang penting fungsinya,” kata arsitek berambut putih ini.

Sama dengan benda-benda yang selalu diperlakukan dengan baik, manusia yang bekerja di lingkungan Slamet juga diperlakukan tak kalah baiknya. Semua kolega kerjanya diperlakukan sederajat. Bebas berfikir dan berkreasi. Contohnya pekerja bangunan. Slamet sering kali tunduk pada opini pekerja bangunan. Ia beranalogi, anak kecil pun selalu paling tahu tempat yang menyenangkan untuk bermain, karena anak-anak itu memang selalu bermain di sana, misalnya di kolong meja. Orang tua tak akan pernah tahu apa enaknya bermain di tempat itu, seperti halnya orang tua yang tak pernah paham mengenai isi kepala anak kecil, mengapa suka bermain. Begitu pula dengan pekerja bangunan mengenai pekerjaan mengaduk semen atau menata batu, misalnya. “Mereka pasti lebih tahu,” katanya.

Slamet Wirasonjaya memperoleh pendidikan arsitekturnya dari Institut Teknologi Bandung (1962) dan memperoleh gelar Master dari Harvard University (1965). Karya arsitektur ruang publik pertamanya adalah real estate di Marina City di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. Untuk menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, Slamet merancang kompleks perumahan itu tanpa pagar sesuatu yang masih jarang ketika itu. Penghuni rumah yang satu dengan lainnya dapat saling melihat. Orang yang sedang berjalan di depan rumah, juga bisa melirik ke orang yang berada di dalam rumah. “Terciptalah ruang publik,” kata Slamet.

Karya berikutnya adalah Masjid Agung di Tasikmalaya. Slamet mengedepankan konsep gabungan antara pusat pemerintahan dan tempat beribadah. Khusus masjid, halaman depan dirancang dengan akses masuk yang lega, sehingga mudah dimasuki umat yang ingin beribadah. Konsep ini lahir dari riset di kalangan ajengan atau kyai di Tasikmalaya yang kerap mengeluhkan soal akses masuk masjid yang kerap tersendat-sendat. Slamet lalu mencoba menangkap keinginan pemuka dan masyarakat di sana dengan konsep masjid terbuka.

Diantara sejumlah karyanya, Slamet sangat terkesan dengan bangunan Masjid Islamic Center di Bandung, yang digarap pada 1995. Di tempat yang akrab disebut Pusadai (Pusat Dahwah Islam Bandung) itu, Slamet mencurahkan seluruh pengalamannya selama menjadi arsitek. Pusadai adalah sebuah masjid dengan banyak ruang terbuka. Bangunan ini tak hanya dihampiri orang-orang yang ingin beribadah, tapi juga disenangi anak-anak yang ingin bermain, orang-orang yang hendak berdiskusi, atau orang-orang yang ingin berjualan barang dan makanan. Semua tumplek blek di sana. Banyak sekali aktivitasnya. Bangunan ini memang dikonsep berdasarkan kebersamaan lingkungan, gagasan yang dihasilkan dari kerjasamanya dengan kenyataan, bahwa lingkungan di sekitar masjid membutuhkan tempat yang dapat digunakan untuk berinteraksi: kepada Allah maupun sesama umat-Nya. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA