Rabu, 18 Agustus 2010

Kepuasan Sebuah Rumah Menurut Seorang "Mustafa Pamuntjak"

Mustafa Pamuntjak, ayah kandung penulis Laksmi Pamuntjak, termasuk arsitek senior Indonesia. Seperti biasa, kita akan menuliskannya dalam bentuk profil. Isi tulisan mengenai kiprahnya di dunia arsitektur, membahas karya-karya fenomenalnya, dan yang paling penting, dari hasil wawancara, kita bisa mengetahui lebih jauh tentang arsitek yang menggemari desain seperti apa dia itu. Misalnya, seperti kita tahu, rajanya arsitek masjid adalan Ahmad Noe’man, jagonya arsitektur tropis adalah Adhi Moersid, yang piawai melakukan renovasi bangunan tua adalah Han Awal.

Di sebuah kelas arsitektur, seorang profesor mengajukan pertanyaan sederhana kepada mahasiswanya: apa pertanyaan pertama yang seharusnya diajukan sang arsitek kepada kliennya? Seorang mahasiswa menjawab apakah surat tanahnya lengkap. Mahasiswa yang satu lagi mengajukan pertanyaan soal dana yang tersedia, sementara mahasiswa yang lain sepakat pertanyaan soal luas rumah adalah hal yang terpenting. Seluruh jawaban itu ternyata dianulir oleh sang profesor. Dan jawaban yang benar adalah: “Apakah saya boleh menginap barang seminggu saja?”

Mustafa Pamuntjak dan beberapa mahasiswa lain yang berada di kelas itu menjadi terhenyak. Apa hubungannya kegiatan arsitektur dengan keinginan untuk menginap? Tapi suasana kelas yang terjadi lebih dari 50 tahun silam itu masih melekat dengan sempurna di dalam benaknya, bahkan perjalanan kariernya pun selalu diisi dengan keinginan untuk “menginap” di rumah kliennya. “Jawaban profesor itu adalah kiasan yang mengandung arti yang mendalam. Seorang arsitek harus mengerti dan mengalami bagaimana cara keluarga itu hidup. Bagaimana hubungan antar anggota keluarga. Arsitektnya harus menyelami kehidupan kliennya,” katanya.

Setelah memahaminya, barulah sebuah rancangan arsitektur dapat digarap. Begitu juga dalam merancang kantor. “Kalau kita tidak pernah kerja di kantor bertingkat tinggi, bagaimana? Bagaimana kita bisa membuat hotel yang baik kalau kita tidak pernah menginap di hotel? Jadi membuat rumah untuk masing-masing orang itu berbeda karena budaya hidup masing-masing orang kan juga berbeda,” kata Mustafa Pamuntjak, arsitek senior yang masih segar dalam di usianya yang telah memasuki 70 tahun.

Bagi Mustafa Pamuntjak, yang juga dikenal sebagai ayah kandung penulis Laksmi Pamuntjak, sebuah rancangan arsitektur menjadi bernilai bila penggunanya mengalami kepuasan total, bila penggunanya merasa senang dan nyaman menempati hasil rancangannya selama bertahun-tahun. Sebagai seorang arsitek, ia mengaku mendapat kepuasan ekstra bila merancang rumah. Katanya, mendesain rumah dengan mendesain bangunan lain itu sama sekali lain. Kalau bangunan umum seperti hotel atau kantor, penggunanya adalah banyak orang dengan tingkat turn over (keluar masuk) yang juga tinggi, sehingga sukar mengukur nilai kepuasannya. Sedangkan pada rumah, yang menggunakannya adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kepuasan anggota keluarga terhadap tempat tinggalnya menjadi sensitif.

Ada pepatah dari seorang Jepang yang terkenal soal arsitek, yang mengatakan bila awal arsitektur adalah rumah dan akhir arsitektur adalah rumah juga. Pengaturan ruang-ruang dalam rumah itu harus mencerminkan perilaku para penghuninya. Banyak keluarga yang menjadi tak serasi karena pengaturan ruang yang tak sesuai dengan pola hidup penghuninya. Rumah bukan sekedar bangunan dengan serangkaian ruang untuk kegiatan makan atau tidur, tetapi rumah adalah tempat mengasih, mengasuh dan mengasah antar anggota keluarga penghuni rumah tersebut. “Dan bukan sekedar bagus dan dari luar kelihatan hebat. Wah, itu sih nomor sekian. Yang pentinng adalah kenyamanan setiap penghuni. Rumah menjadi tempat saling berkomunikasi antara anak dengan orang tua. Adik dan kakak tidak saling mengganggu. Tinggal di rumah harus menjadi saat-saat yang menyenangkan,” katanya.

Mustafa Pamuntjak memetik pendidikan arsitekturnya dari Technische Higeschool, Delft (1952-1957) dan dilanjutkan ke Technische Unversität, Fakultät fur Architektur, Berlin Barat (1957-1960) untuk memperoleh gelar Diplom Inginieur (Dipl Ing). Pengalaman kerjanya dimulai di Jerman Barat, dengan bekerja di biro arsitek. Proyek-proyeknya, selain merancang gedung, juga mendesain rumah-rumah.

Arsitek yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Jerman dan Belanda) ini memulai kehidupannya di Indonesia dengan bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Beberapa pekerjaannya, antara lain merancang desain urban untuk kawasan Pekanbaru, Palangkaraya, Malang, Karawang, pusat rekreasi Ancol, kawasan wisata Puncak dan melakukan studi untuk jalan tol Jagorawi. Sebagai pegawai negeri, pengalamannya, kepulan asap dapurnya kurang pekat. Karena itu, pada awal dasawarsa 1980-an, ia kembali menekuni kegiatan arsitekturnya dan meninggalkan baju Korpri.

Sejak 1982 hingga saat ini, katanya, ratusan bangunan telah lahir dari pemikirannya. Mulai dari hotel, gedung-gedung hingga perumahan. Meski mengaku seluruh bangunan yang dirancangnya memiliki nilai yang sama, tapi Mustafa tetap lebih sreg merancang rumah. Alasannya ya itu tadi, karena rumah memiliki nilai kepuasan yang berbeda dengan bangunan lain.

Puluhan tahun mengguti arsitektur, menyebabkan Mustafa Pamuntjak tak sekedar berpengalaman dalam membuat sebuah gagasan di atas kertas kerja. Lebih dari itu, ia juga memiliki pemahaman yang mendalam soal profesinya. “Arsitek itu istilahnya psikolog amatiran,” katanya.

Artinya, seorang arsitek harus mengerti keinginan kliennya, tapi belum tentu keinginannya itu bisa menguntungkan kliennya dalam format pemakaian. Karena itu, seorang arsitek harus bisa menjadi seorang diplomat yang mampu berbicara baik, menyampaikan dengan baik, serta memberi nasihat. “Jadi arsitek itu tidak boleh meletakkan kehendaknya, bahwa pendapatnyalah yang terbaik, kepada si pemberi tugas atau si pemakainya. Sebaliknya, jangan terlalu mengikukti keinginan pemberi tugas. Jalan yang terbaik adalah bagaimana mencapai kesepakatan,” katanya.

Dari pengalamannya merencanakan sebuah gagasan arsitektur, Mustafa mengaku selalu mengalami aneka pertentangan, terutama ketika membuat rancangan rumah. Kalau membuat kantor dan bangunan lain seperti hotel, pertentangan seperti itu kurang terasa karena yang memberi tugas bukan satu orang. Tapi kalau merancang rumah, perbedaan pendapat itu langsung terasa karena arsiteknya berhadapan langsung dengan pemilik rumah. “Makanya banyak arsitek yang menghindari membuat rumah. Ditambah lagi penghasilan dari rumah dibanding proyek yang 30 lantai kan tidak ada apa-apanya,” kata Mustafa. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA