Sabtu, 21 Agustus 2010

Masjid "Kebon Jeruk" Jakarta Kota

Mungkin tak banyak orang yang tahu kalau daerah Kota di utara Jakarta menyimpan sejumlah kekayaan sejarah Islam Indonesia, berupa bangunan masjid, langgar bahkan makam. Uniknya, bangunan-bangunan tersebut tidak saja didirikan oleh penduduk pribumi yang beragama Islam, tetapi juga oleh bangsa-bangsa pendatang yang menghuni sebagian wilayah Jakarta sejak jaman dahulu kala. Sebagai contoh, Masjid Annawir di jalan Pekojan yang didirikan oleh seorang berkebangsaan Arab. Lalu Masjid Krukut dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh komunitas Cina-Muslim di Jakarta.

Salah satu bangunan yang cukup menarik bentuk dan sejarahnya dan masih berdiri hingga kini adalah Masjid Kebun Jeruk yang terletak di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Masjid ini didirikan pada 1786 oleh Kapten Tamien Dosol Seeng atau Tuan Tschoa, seorang Kepala komunitas Cina-Muslim di Batavia antara tahun 1780-1797.

Mungkin bila dilihat sekilas tak ada yang terlalu ‘aneh’ dari bangunan bercat putih-hijau ini. Selain bentuk atapnya yang bertumpang dua, tak ada yang begitu tampak berbeda jika disandingkan dengan masjid-masjid tua lainnya. Denahnya berbentuk segi empat dan memiliki atap limasan bertingkat dua. Namun keunikan masjid ini akan tampak begitu kita melihat sebuah batu nisan yang berdiri di halaman belakang masjid.

Bentuk batu nisan tersebut menyerupai kepala naga khas Cina dan terdapat beberapa tulisan beraksara Cina. Namun selain itu, juga terdapat pertanggalan Arab pada nisan dan jika dilihat dari arah hadapnya, maka terlihat bahwa nisan tersebut menunjuk arah kiblat di Mekkah. Dari hasil pembacaan inskripsi, maka diketahui nisan tersebut merupakan penanda makam istri Kapten Tamien Dosol Seeng yang bernama Fatimah Hwu. Boleh dibilang nisan inilah yang kemudian menjadi trade mark Masjid Kebun Jeruk. Ahli sejarah dari Belanda, Adolf Heuken, dalam bukunya yang bertajuk Historical Sites of Jakarta sampai menyebutnya sebagai ‘sesuatu hal yang sungguh unik dan tak lazim!’.

Secara garis besar sebenarnya banyak yang sudah berubah dari arsitektur asli Masjid Kebun Jeruk. Bangunan ini sempat beberapa kali mengalami pemugaran dan perluasan hingga kini agak sulit melihat bentuk aslinya. Yang masih tersisa adalah jajaran tiang persegi empat yang menopang kokoh atap limasan bertumpang dua dan jendela ukir diatas pintu-pintu tua, yang kini berada di bagian dalam mesjid yang telah diperluas.

Pada bagian dalam masjid terdapat empat buah tiang penyangga yang terletak di sudut-sudut dinding dan enam buah tiang yang menyebar di tiga sisi masjid. Keempat tiang penyangga menyatu dengan dinding masjid. Jika diamati sepintas, sepertinya tiang itu hanya berfungsi sebagai bidang hias belaka, tapi jika diperhatikan jajaran balok penopang gantung di bagian atas masjid barulah terlihat fungsi tiang sesungguhnya, yaitu sebagai titik penahan beban konstruksi atap.

Hiasan asli dari Masid Kebun Jeruk yang masih dapat terlihat terdapat pada dinding tiang masjid dan puncak atap, atau mustoka. Hiasan-hiasan dinding dan tiang masjid banyak terdapat pada bagian sebelah dalam ruangan masjid. Pada badan tiang, di setiap sisinya dihiasi dengan galur-galur yang berjumlah enam buah. Ventilasi yang terletak diatas kusen pintu sisi utara dan selatan dihiasi dengan silang-silang kayu, membentuk bujur belah ketupat.

Ini berbeda dengan hiasan ventilasi kusen pintu sisi timur, yang dihiasi dengan hiasan ukiran pohon hayat yang dikelilingi ukiran bungan dan dedaunan yang berwarna kuning keemasan. Hiasan lainnya adalah kelopak bunga yang tumbuh dari lengkungan pada bagian atas dua pintu pengapit. Jika dilihat dari perbedaan hiasan ini, maka tampaklah bahwa pintu timur merupakan pintu masuk utama menuju ruang masjid.

Suasana kekunoan begitu terasa ketika mengamati dinding masjid bagian dalam, yang walaupun berdiri kokoh tapi terlihat kusam oleh proses penuaan. Begitupun jejeran kayu pada kusen-kusen pintu dan jendela yang tampak tua dimakan usia. Maka bersembahyang atau mengeja ayat-ayat suci dari balik dinding-dinding tua yang menyimpan sejuta cerita ini akan terasa semakin syahdu dan menyejukkan hati.

Masjid Kebon Jeruk termasuk jajaran masjid tua di Jakarta. Desainnya merupakan perpaduan Arab dan Cina.
Kalau bicara mengenai kemasyhuran dan keunikan, masjid ini mungkin salah satunya. Masjid ini bukan saja terkenal di Jakarta saja, tapi masyarakat dari berbagai daerah cukup banyak yang mengenalnya, bahkan tidak sedikit jamaahnya berasal dari penjuru dunia. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Kebon Jeruk. Letak masjid ini berada di Jalan Hayam Wuruk No. 85 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Masjid Kebon Jeruk merupakan masjid pertama di kawasan perdagangan dan keramaian bisnis ibu kota, yakni Glodok.

Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Tionghoa Muslim, Chau Tsien Hwu di tahun 1786. Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat.

Setelah sampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tionghoa mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk. Alasan diberinya nama Masjid Kebon Jeruk, menurut petugas Istiqbal (humas-red) Masjid Kebon Jeruk, Abdul Salam, karena memang pada waktu itu di daerah ini ditumbuhi banyak pohon jeruk. “Kata orang-orang dulu, awalnya daerah ini bagus, banyak ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Nggak kayak sekarang, bising dan banyak polusi,” ceritanya kepada SH.

Mesjid Jami’Kebon Jeruk terletak di pinggir Jalan Hayam Wuruk. Menurut sejarahnya didirikan pada tahun 1718. Jauh sebelumnya, tahun 1448 Masehi, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid kecil, yang lebih tepat disebut surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui.

Pada tahun 1718, datanglah seorang Cina bernama Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu ke daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Rupanya mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha.

Oleh karena itu mereka tidak berniat lagi untuk kembali ke negri leluhurnya, mereka bermukim di sini. Lalu Mendirikan mesjid di lokasi bekas mesjid mungil tersebut tadi. Itulah Mesjid Kebun Jeruk yang sekarang ini.

Menaranya sudah lama runtuh karena memang telah sangat tua. Mimbarnya yang antik terbuat dari kayu kembang, kini masih tersimpan di Museum Fatahillah.

Fatima hwu wafat tahun 1792, dimakamkan di halaman belakang mesjid. Pada nisan bergaya Cina, terdapat pahatan enam aksara cina yang berbunyi :”Hsienpi Chai Men Tsu Mow”, yang berarti “Inilah makam wanita dari keluarga Chai”.

Sedangkan Chan Tsin Hwu, menurut sejarah wafat di Cirebon dan dimakamkan di gunung Sembung. Tidak berbeda dengan masjid-masjid tua yang lain di nusantara. Di halaman masjid ini juga terdapat sebuah makam. Seorang yang dimakamkan di tempat ini adalah Fatimah Hwu, istri dari Chiau Tsien Hwu. Namun yang unik dari makam ini adalah bentuk nisannya. Nisan ini berbentuk naga dengan tulisan Cina dan pertanggalan Arab.

Selain nilai historisnya, masjid ini menjadi terkenal karena Masjid Kebon Jeruk sebagai pusat kegiatan tabligh dan dakwah Islam di Indonesia. “Seluruh jamaah kami berkumpulnya di sini, lalu kami jadikan masjid ini sebagai markas kegiatan kita untuk wilayah Indonesia,” jelas Abdul Salam.

Ia menjelaskan kegiatan jamaahnya adalah melakukan penyebaran Islam dengan mengunjungi berbagai tempat di seluruh nusantara dan banyak negara. “Kami sama sekali tidak berniat politis. Kami hanya menjalankan kegiatan ini semata-mata mencari ridho Allah,” paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA