Minggu, 26 September 2010

Dari Karya STADION ke STADION

Ini ada arsitek spesialis venues olahraga. Namanya Purnomohadi. Ia terlibat hampir di seluruh pembangunan venues olahraga di Indonesia, termasuk Gelora Bung Karno. Latar belakangnya arsitek dari ITB angkatan 1959. Istrinya arsitek lansekap, pakar lingkungan, Ibu Ning Purnomohadi.
Purnomohadi adalah “sebuah stadion”. Di benaknya yang luas itu tersimpan pengalaman selama 15 tahun membangun sarana olah raga. Ia, misalnya, ikut membidani Gelora Senayan Jakarta, yang kini berubah namanya menjadi Gelora Bung Karno, termasuk gedung-gedung di sekitarnya seperti Gedung Lapangan Tembak Senayan dan Gedung Lapangan Softball Senayan.

Purnomo pula yang menjadi arsitek Stadion Utama Bumi Sriwijaya Jakabaring di Palembang, yang saat ini sedang digarap untuk persiapan PON 2008 mendatang. “Tantangan membangun stadion terletak pada kapasitas, keamanan dan kenyamanan penonton dan pemainnya. Kalau membangun rumah, lebih kepada kepuasan individu. Disitulah perbedaan membangun stadion dengan rumah,” kata Purnomohadi, Tenaga Ahli Bidang Rancang Bangun KONI Pusat, Jakarta.

Untuk Stadion Utama Bumi Sriwijaya Palembang, Purnomo merancang stadion dengan kapasitas penonton sekitar 35 ribu orang. Ini tentu saja bukan pekerjaan ringan, karena ya itu tadi: penonton dan pemain harus sama-sama aman dan nyaman. Karena itu, ukuran ruang untuk tiap-tiap penonton harus dihitung dengan cermat. Begitu pula dengan kenyamanan tempat menonton, pintu masuk, ventilasi udara, cahaya dan akses masuk dan keluar stadion harus diperhitungkan betul, agar penonton sepak bola yang umumnya cenderung emosional, dapat menonton dengan tenang.

Bertahun-tahun membangun stadion, menyebabkan Purnomo sangat memahami karakter sebuah stadion. Membangun stadion sepak bola jelas berbeda dengan stadion basket atau volley, yang tak bisa digarap dengan ventilasi terbuka. Ruangannya harus tertutup, karena aliran angin yang menerobos masuk ke ruangan bisa merusak jalannya pertandingan. Sebaliknya, tanpa angin, berarti udara yang masuk menjadi sedikit. Kondisi ini berpeluang membuat penonton dan pemainnya menjadi kegerahan. Belum lagi urusan pencahayaan, yang tak dapat mengandalkan sinar alam. Menurut Purnomo, di sinilah letak tantangannya.

Purnomohadi memperoleh pendidikan arsitekturnya dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada 1964. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Course on Sport Facilities
International Olympic Committee Solidarity, Rome 1976. Lahir di Purworejo, 3 Maret 1938, Purnomo mengawali karier arsitekturnya sebagai staf Departemen Pekerjaan Umum (1960-1994).

Di departemen inilah Purnomo mengenal bangunan stadion. Perkenalan itu diawali dengan surat tugas dari Menteri Pekerjaan Umum, sekitar tahun 1976, yang mengutus Purnomo mengikuti kursus singkat ke Roma mengenai fasilitas sarana dan prasarana olahraga yang digelar oleh International Olympic Commitee Solidarity.

Sepulang dari menuntut ilmu, pada 1977, pemerintah berencana membangun Pusat Ilmu Olahraga KONI Pusat. Pemerintah meminta Departemen Pekerjaan Umum untuk membantu. Diutuslah Purnomo ke KONI dan sejak itu ia bekerja di bagian Sarana dan Prasarana Olahraga. Proyek-proyeknya, diantaranya membangun aneka sarana olah raga seperti kolam renang Bulungan yang menghasilkan anak-anak Raja Nasution menjadi perenang nasional.

Puluhan stadion yang tersebar di seluruh Indonesia telah dibangunnya, dan hingga saat ini oleh mantan Direksi Pelaksana Gelora Senayan dan Direktur Umum Koni ini mengaku bila stadion masih sangat menantang baginya. “Sukar membuat stadion dengan ciri khas Indonesia di negeri ini, karena keragaman etnis,” katanya.

Menurut peraih Bronze Award Katagory F IAKS Competition For Exemplary Sport dan Leisure Facilities 1997 ini, stadion memiliki standar tertentu, sehingga atap-atap tradisional sukar diaplikasi di dalam sebuah stadion. Kendati demikian, ia pernah mencoba membuat stadion dengan sentuhan budaya lokal. Misalnya stadion di Kupang, yang dirancang dengan atap rumah tradisional Kupang. Hanya saja material yang digunakan berbeda dengan material atap tradisional Kupang yang mungkin rentan dengan kerapuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA