Senin, 18 Oktober 2010

GALERI PIKITRA, Yang Teduh Diluar, Sejuk Di Dalam

Pikitra didesain dengan gaya arsitektur tropis yang kental. Bukan banguan baru, tapi didesain dengan konsep sematang bangunan tempo dulu.

Menikmati daerah Kemang yang teduh oleh pepohonan, rasanya kurang lengkap bila belum mampir ke Pikitra. Galeri yang berlokasi di Kemang Timur berseberangan dengan Australian International School ini tampak asri. Halaman parkirnya lega, dengan beberapa pohon besar yang siap menjadi peneduh. Wajah bangunannya pun merefleksikan keteduhan itu sendiri, karena didesain dengan konsep arsitektur tropis: atapnya tinggi dan panjang.

Suasana teduh dan sejuk semakin terasa ketika kita mulai memasuki halaman galeri yang tidak diberi pagar pembatas itu. Terdapat dua pohon besar yang rindang di muka halaman yang meneduhi sebuah gazebo yang terletak tepat di tengah-tengah area.

Sementara di tembok bagian kiri yang berbatasan langsung dengan bangunan di sebelahnya, terdapat beberapa buah pohon Palem Raja yang ditanam secara berderet. Di pojok kanan agak menjorok ke dalam terdapat sebuah ruang pamer terbuka yang berisi berbagai jenis kerajinan dari kayu.

Bentuk bangunan galeri itu sendiri merupakan perpaduan antara bangunan model dan bangunan khas Jawa. Hal itu dicirkan dengan adanya tiga buah atap berbentuk limas segitiga. Atapnya dibentuk bertingkat, menggunakan genteng tanah tradisional dan di atasnya terdapat sebuah menara tempat menyimpan bak air. Bagian atap dibuat menjorok ke depan, sehingga sinar matahari tidak langsung masuk ke dalam. Selain itu, ada pula tanaman merambat yang turut membuat suasana tambah segar. Bangunan ini semakin hidup dan menarik, berkat pemilihan kusen berwarna hijau.

Pikitra adalah galeri berlantai dua dengan luas sekitar empat ratus meter persegi. Bangunan itu sendiri berdiri di atas area seluas kira-kira seribu meter persegi. Bangunan ini memang didesain dengan nuansa yang teduh dan diciptakan seakan-akan menyatu dengan alam dan lingkungannya gaya khas rumah-rumah pedesaan.

Karena itu, dindingnya tidak dilapisi plester, sehingga bata-bata yang berwarna merah menjadi tampak menonjol. Agar bangunannya betul-betul membuat pengunjungnya merasa sejuk, langit-langitnya dirancang tinggi. Ia juga memperbanyak ventilasi dengan membuat banyak jendela pada galerinya, agar sirkulasi udara bertambah lancar.

Ada dua hal yang melatari desain seperti ini. Pertama, desain seperti ini tak membutuhkan investasi besar. Bangunan yang didirikan pada 1996 dan dikerjakan selama delapan bulan ini, hanya menghabiskan dana tak lebih dari Rp 100 juta. Biaya itu bisa ditekan karena menggunakan bahan baku murah. “Batanya adalah bata biasa dengan genteng tradisional. Sementara kayunya jenis kamper, tapi kualitas paling atas,” kata Harningsih.

Alasan kedua, tentulah sesuai dengan barang yang dipajang di dalam galerinya, yakni barang-barang etnik dan bernuansa pedesaan. “Kan nggak lucu kalau bangunannya beton, tapi isinya barang-barang,” katanya.

Mengenai penonjolan warna bata, menurut wanita kelahiran Sukabumi 63 tahun lalu ini, bata memiliki arti filosofis tersendiri. “Bata ibarat tanah tempat tumbuhnya pohon,” jelas Harningsih. Sementara warna hijau yang dibalutkan pada kusen pintu yang merupakan warna kegemarannya, melambangkan kesuburan, sehingga dua warna itu harus dipadukan. “Kalau pohon tidak ada tanah, pohon tidak bisa tumbuh. Sementara kalau tanah tidak ada pohonnya, akan menjadi gersang,” katanya menjelaskan.

Kesejukan gelari itu diakui arsitek senior Han Awal. Katanya, Pikitra adalah galeri yang didesain dengan gaya arsitektur tropis. “Teduh, banyak ventilasi, dan nyaman. Di dalamnya tak banyak kena sinar matahari, apalagi kalau siang hari,” ujar Han menjelaskan ciri-ciri umum arsitektur tropis. Selain itu, lanjut dia, arsitektur tropis juga dicerminkan oleh bentuk langit-langit yang tinggi, bentuk atap yang menjorok, dan dinding yang tebal.

Menurut Han Awal, sebagian besar bangunan lama di Indonesia yang merupakan peninggalan zaman Belanda, didesain dengan gaya arsitektur tropis. Jika dikaitkan dengan efisiensi biaya, arsitektur tropis tidak memerlukan banyak lsitrik. “Karena kita tidak memerlukan pendingin udara yang memakan banyak listrik,” kata Han. Mungkin alasan ini pula yang mendorong Harningsih mendesain galerinya dengan gaya arsitektur tropis. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA