Sabtu, 19 Juni 2010

"ANDO" Arsitek Yang Lihai Memainkan Cahaya

Arsitek Jepang Tadao Ando dinobatkan sebagai penerima AIA Gold Medal 2002, penghargaan tertinggi yang diberikan oleh American Institute of Architects. Penghargaan itu diberikan atas dedikasi Ando di dunia arsitektur, termasuk pemikirannya yang banyak membawa pengaruh terhadap arsitektur dunia. Penghargaan yang diberikan pada akhir tahun lalu itu sekaligus menjadikan Ando sebagai penerima medali AIA yang ke-59. "Sebuah karya bukan pemikiran semalam. Untuk itu, saya akan tetap terus berkarya," kata Tadao Ando.

David H. Watkins, tim juri yang ikut memberi penilaian menjelaskan bila Ando adalah arsitek yang mampu memadukan seni artistik dengan sentuhan intelektual. Hal itu tercermin dalam banyak karyanya, baik berupa gedung-gedung besar dan kecil. "Karya Ando sangat inspiratif. Ia mampu menggerakkan ide-ide baru demi kemajuan arsitektur," katanya.

Tadao Ando lahir di Osaka, Jepang, pada 1941. Pelajaran arsitektur diperolehnya dengan cara membaca dan menyelami karya-karya arsitektur di banyak negara, melalui perjalanan keliling dunia. Edukasi otodidaknya itu dimulai dengan menikmati arsitektur di Afrika, Eropa dan Amerika. Pada 1970 ia mendirikan Tadao Ando Architect & Associates. Pada 1976, namanya mulai melambung setelah mendesain Azuma House.

Sejak itulah Ando mulai dikenal sebagai arsitek yang disegani. Karya-karyanya banyak tersebar di mancanegara. Ia misalnya, pernah membangun Church on the Water, Rokko Housing One, Naoshima Contemporary Art Museum, Children's Museum Himeji, Gedung Pulitzer Foundation for the Arts di St. Louis, Missouri, serta Modern Museum of Fort Worth di Fort Worth, Texas, yang baru dirampungkan tahun lalu sekaligus menjadi karya terbaru yang dinilai oleh tim juri.

Dari sejumlah karya-karyanya gedung, rumah dan bangunan publik ada satu hal yang terasa menonjol dan menjadi ciri khas Ando. Karya-karyanya itu banyak dipengaruhi oleh caranya memainkan cahaya yang diekspresikan dalam bentuk arsitektur. "Tujuan dari desain saya adalah membuat sebuah desain yang tampak natural dan banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, memperhitungkan cahaya adalah faktor mutlak," kata Ando.

Hal lain yang juga dapat dirasakan melalui karya-karyanya, adalah penolakan desain yang berkonotasi konsumerisme semacam tren yang berkembang cepat dalam dunia arsitektur saat ini. Hal itu diwujudkan dengan menolak membuat desain diluar skenario besar sebuah tata kota. Ia selalu berusaha membuat desain sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat dan membangun sebuah bangunan yang serasi dengan lingkungannya, tanpa mengurangi nilai estetika dan keindahan dari desain itu sendiri.

Dari segi material, ia juga lebih suka menggunakan bahan-bahan yang natural. Dan yang penting adalah keserasian. Kendati demikian, ia juga tak menolak aliran modern seperti membuat gedung dengan dinding kaca, seperti yang dilakukan di Jepang dan negara-negara lain di dunia. "Kita tak bisa menolak perkembangan sebuah desain. Tapi kita bisa memilih untuk memilah-milah apa yang baik menurut kita dan lingkungan kita," katanya.
(TEMPO)

Menggambar dengan Buku Sejarah

Han Awal adalah arsitek dua generasi, yang lahir sebagai arsitek generasi kedua. Ia adalah arsitek angkatan 1960, yang telah melahirkan Yori Antar\--\putra kandungnya\--\sebagai arsitek generasi muda Indonesia. Di usianya dua pekan lalu genap 72 tahun, Han Awal mengaku tak pernah kehabisan energi untuk berkarya. Ia masih menggarap desain rumah dan perkantoran, yang menjadi rutinitasnya. Ia, bersama tim arsitek yang dipimpinnya, juga masih suka mengikuti sayembara desain arsitektur.

Disamping kegiatan hariannya itu, Han Awal punya kesibukan baru: merestorasi gedung tua. “Ini lebih menyenangkan. Kita harus mengetahui sejarah dan latarbelakang arsitekturnya dulu. Kita harus melakukan survey dan riset yang mendalam. Nilai seninya jelas berbeda dengan merancang sebuah bangunan baru,” kata Han Awal, Direktur PT Han Awal & Partners Architects.

Proyek restorasinya yang terbaru adalah Gedung Bank Indonesia di Jakarta Kota, yang akan disulap menjadi museum uang. Pemerintah menginginkan gedung itu direstorasi dan dikembalikan ke bentuk semula. Han Awal melakukan banyak riset kepustakaan, mencari draf desain asli berikut gambar-gambarnya, agar dapat diketahui profil detailnya. Beruntungnya, tak sukar mencari data yang dibutuhkan. Karena itu, hanya dalam tempo enam bulan, Han berhasil menyelesaikan desain konservasinya.

Gedung Bank Indonesia adalah gedung ketiga yang direstorasinya. Proyek pertamanya adalah restorasi Gereja Kathedral di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat (1985). Proses tersulit adalah memahami bagaimana arsiteknya dulu membangun gereja ini. Ia lalu mencoba menelusurinya berdasarkan catatan sejarah. Gereja ini dibangun oleh pastur arsitek Dijkstra (Belanda). Ia adalah murid arsitek besar Violet Leduc (Belgia), yang dikenal sebagai arsitek pembrontak di abad ke-19. Leduc pula yang ikut mempopulerkan desain Neo Ghotic, sebuah aliran desain yang mengubah material batu pada dinding bangunan, dengan kayu.

Nah, Kathedral adalah bangunan gereja dengan dinding berkubah, yang bergaya Neo Ghotic. Berbekal latar belakang itulah, antara lain, Han Awal merestorasi Kathedral. Seluruh dindingnya dikembalikan ke bentuk semula, dengan material yang sama, yakni kayu. Kayunya dicari yagn tua, yang telah berusia 100 tahun, dari pemulung kayu. Begitu pula dengan detail yang lain seperti interior. “Kalau tak ada gantinya, ya ditembel saja. Misalnya hiasan dinding yang pecah. Kalau diganti baru semuanya, mungkin nilai keasliannya menjadi hilang,” katanya.

Proyek keduanya adalah restorasi Gedung Arsip di Jakarta Kota (1994). Inilah proyek yang paling menantang. Han Awal perlu waktu tiga tahun untuk survey dan desain, sebuah proses yang sangat lama, mengingat pengerjaannya hanya butuh waktu setahun. Survey yang lama itu digunakan untuk mencari tahu detail persis dari Gedung Arsip yang asal usulnya adalah tempat tinggal Gubernur Jenderal Belanda Reyner de Klerk yang dibangun pada 1760. Detail itu meliputi bentuk bangunan secara rinci berikut material yang digunakan.

Detail bangunannya diperoleh dari foto-foto tahun 1920, yang ditemukan di Koninklijk Instituut Voorde Tropen, Amsterdam, Belanda. Foto itu diperoleh dari kontraktor Decorient asal Belanda, yang mengerjakan pembangunan restorasi Gedung Arsip. “Mengapa diserahkan kepada kontraktor Belanda, karena merekalah yang paling mengerti karakter bangunan yang dibangun leluhurnya,” kata Han Awal.

Han juga menggali informasi dari buku-buku sejarah. Hal menarik yang ditemukannya, adalah keterkaitan antara gedung ini dengan kapal VOC. Alkisah, kapal VOC yang berangkat dari Belanda ke Indonesia selalu diberi bobot mati berupa batu bata. Di Batavia, batu bata buatan Belanda yang besar-besar itu lalu dipergunakan untuk membangun benteng dan gedung-gedung, termasuk rumah untuk sang Gubernur Jenderal. Ditinjau dari sejarahnya, bangunan pada abad ke-17 juga belum menggunakan semen sebagai perekat dinding, melainkan campuran antara kapur, pasir dan tanah. Dengan bekal informasi itulah Han tak menggunakan semen untuk memperbaiki dindingnya, tetapi menggunakan campuran yang senyawa, yang dapat merekat erat di batu bata impor itu.

Han Awal belajar arsitek di Technische Hoogshool Delft, Belanda (1952). Akibat ketegangan yang terjadi di Indonesia dengan pemerintah Belanda soal Irian Barat, mahasiswa yang belajar di Belanda seperti Han, mendapat tekanan yang cukup kuat. Han Awal lalu “mengungsi” ke Jerman. Karena itulah, ijazah arsitekturnya diperoleh dari Techniche Universitat, Berlin Timur (1960).

Karya Han Awal yang pertama adalah membangun proyek Gedung Conefo, yang kini menjadi Gedung DPR-MPR RI. Empat puluh tahun berkarya, Han Awal mengaku tetap mempertahankan konsep arsitektur tropis yang dipegang teguh. “Indonesia adalah negara tropis. Karena itu, setiap bangunan sebaiknya didesain agar mampu melindungi bangunan itu sendiri dari terik matahari,” katanya.

Untuk rumah misalnya, atap harus dibuat selebar mungkin. Ketika atap disorot matahari, atap akan melindungi dinding dari panas, dengan membentuk bayangan hitam di dinding. Pada gedung, dapat dibuatkan penahan sinar matahari, seperti yang dilakukannya pada bangunan sekolah Pangudi Luhur di Kemang, Jakarta Selatan (1963), atau kampus Atma Jaya di Semanggi, Jakarta Selatan (1963). Tapi penahan matahari di Atma Jaya telah dihilangkan ketika gedung itu direnovasi. “Saya sangat menyayangkan. Itulah akibatnya bila aristek yang merenovasi tak melakukan riset atau menghubungi arsiteknya yang lama, sehingga filosofi dari bangunan itu menjadi hilang,” katanya.

Semasa Ali Sadikin menjadi gubernur DKI Jakarta, Han Awal pernah duduk sebagai anggota Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK). Ketika itu, proyek Ali Sadikin adalah melakukan pelebaran jalan secara besar-besaran, tapi diupayakan tak menggusur bangunan tua terlalu banyak. Sejak itulah, Han mulai “kesengsem” dengan bangunan tua, sebuah desain arsitektur peninggalan Belanda yang kini begitu menggoda hatinya.
(TEMPO)

Orang di Belakang Masjid Tanpa Kubah

Nama Achmad Noe'man tak asing di kalangan arsitek Indonesia. Nama dosen senior Arsitek ITB ini melambung melalui masjid-masjid yang menjadi karya arsitekturnya. Ia telah membangun sedikitnya 48 masjid yang tersebar di seluruh dunia, sejak 1960. Diantaranya Masjid Salman ITB, Masjid IKIP Bandung, Masjid Agung Bandung, Masjid Indonesia di Serajevo-Bosnia, Masjid At-Tin milik keluarga Cendana di TMII Jakarta, serta Masjid Almarkas Islami di Ujungpandang.

Seperti masjid-masjid karyanya yang beraneka warna, perjalanan Achmad Noe'man dalam merancang masjidnya pun sarat dengan liku-liku. Anak saudagar batik asal kota Garut, Jawa Barat ini mengaku menekuni desain arsitektur masjid karena terinspirasi oleh ayahnya yang sering membuat bangunan masjid. Noe'man kecil pun bercita-cita ingin menjadi arsitek masjid yang bisa membangun masjid dengan arsitektur yang baik, tapi efisien dan efektif. Baginya, membangun sebuah masjid tidak harus berdasarkan sejarah di suatu tempat. "Tapi harus sesuai dengan konsep dalam Islam, yaitu tidak memubazirkan sesuatu," katanya.

Setelah lulus dari Fakultas Teknik UI (1958), nama ITB saat itu, Noe'man merintis membuka kantor konsultan arsitek dengan nama PT. Birano, yang hingga saat ini masih tegak berdiri. Dua tahun setelah kantornya dibuka, ia memulai angan-angan yang melekat sejak kecil: membangun masjid. Karya pertamanya adalah masjid Muhammadiyah di kota kelahirannya, Garut.

Masjid itu dibangun tanpa kubah. Arsitektur yang tidak lazim ini sengaja dilakukan sebagai eksperimen terhadap pemahaman masyarakat Islam mengenai keberadaan kubah dalam bangunan masjid. Menurutnya, dalam Qur'an atau pun hadist Rosul, tidak satu ayat pun yang menyebutkan bahwa sebuah masjid harus berkubah.

Alhasil, masjid pertama ciptaan Noe'man mengundang reaksi dan perdebatan dari kalangan pemuka agama. Tapi, inilah saat yang dinanti-nanti. Berbekal pengetahuan agamanya, ia menjelaskan bila Al-Qur'an maupun hadist Rosul tak mensyaratkan kubah dalam bangunan masjid. Masjid pun tak harus dibangun dengan mewah atau demi bentuk, melainkan harus efisien dan efektif untuk beribadah. Syukurlah, argumentasi itu diterima.

Eksperimen itu, menurut pengakuannya, sebetulnya terjadi tanpa disengaja. Bangunan tanpa kubah itu dirancang lebih karena persoalan dana yang terbatas. Membangun sebuah kubah, berarti harus menggunakan konstruksi beton sehingga biaya pembangunan masjid jadi mahal\--\pengalaman pertama yang begitu berkesan, sekaligus memantapkan Noe'man sebagai spesialis arsitek masjid tanpa kubah.

Pembangunan masjid berikutnya adalah Masjid Salman ITB. Konsep tanpa kubah pun diterapkan dalam bangunan ini. Pada bangunan berlantai dua dengan luas sekitar dua ribu meter persegi itu, selain menampakkan kekhasan desain arsitektur tanpa kubah, juga ada ciri khas lain, yakni tidak adanya tiang-tiang penyangga bangunan di dalamnya.

Konsep ini lagi-lagi didasarkan pada hadist Rosul yang mensyaratkan barisan jemaah harus lurus. Dengan adanya tiang-tiang penyangga seperti soko guru pada masjid-masjid yang dibangun pada jaman Wali Songo, maka sap-sap tidak akan lurus dan tiang-tiang itu dianggapnya mengganggu lurusnya sebuah barisan.

Konsep ini sempat memancing reaksi juga. Selain ketiadaan kubah yang tak lazim dalam budaya Islam di Indonesia, konstruksi bangunan besar dan luas tanpa tiang penyangga pun dipertanyakan keamanannya. Tapi ia mampu memberi jaminan, bila tiang penyangga yang letaknya dialihkan ke pinggir bangunan, tetap aman bagi para jemaah.

Ruang masjid tanpa tiang penyangga akhirnya menambah khazanah arsitektur masjid bagi Achmad Noe'man. Berpuluh masjid berikutnya yang dikonsepkannya, sebagian besar dirancang tanpa kubah dan tiang penyangga. Hanya beberapa masjid saja yang dibangun dengan kubah. Diantaranya adalah masjid Indonesia di Serajevo-Bosnia, yang dibangun dengan dua buah minaret di sisi kiri-kanannya, pada 1997. Kubah terpaksa didirikan, karena didesak tradisi bangunan masjid di sana.

Masjid At-Tin dan masjid Bimantara juga dirancang dengan kubah. Tapi kubah yang dibuat di kedua masjid itu tak menggunakan konstruksi beton, melainkan menggunakan sistem Space Frame. Masjid tanpa kubah dan Islam, adalah dua hal yang mengisi hari-hari ayah empat anak dan kakek tujuh cucu yang masih kelihatan energik dalam usia 76 tahun itu. Konsep arsitektur yang mengacu pada nilai-nilai Islami pula yang selalu menjadi ilham bagi Achmad Noe'man dalam seluruh desain arsitektur yang pernah dibuatnya.

Meski sudah puluhan masjid dan ratusan bangunan yang menggunakan desain arsitekturnya, Noe'man mengaku belum ada satu pun bangunan, terutama bangunan masjid, yang membuatnya merasa puas. Sebab, tak ada satu desain masjid pun yang merupakan ekspresi totalnya. Seringkali ia harus menekan selera dan citarasa masjid yang ada dalam angan-angannya, karena harus mengikut keinginan pemesannya. Contoh yang paling telak, adalah masjid di Bosnia, At-Tin dan Bimantara itu.
(TEMPO)

Sejarah atau Kesempurnaan Shalat

Tiang berjumlah 12 buah di Masjid Kramat Luar Batang adalah simbol sejarah. Tapi bagi Ahmad Noe'man, arsitek spesialis masjid yang punya pengetahuan agama Islam yang cukup mendalam, selusin tiang itu akan lebih baik dibuang. Nilai sejarahnya memang hilang, tapi nilai kesempurnaan shalat yang diukur dengan kerapatan shaf, akan terpenuhi. "Tiang ini seharusnya tak boleh dipasang lagi," kata Ahmad Noe'man.

Menurut Noe'man, sejarah 12 tiang itu bermula dari belum ditemukannya struktur bangunan modern pada waktu itu. Material beton yang terdiri dari unsur pasir, kerikil, semen, dan besi belum ada ketika masjid itu dibangun Alhabib Husein bin Abubakar Alaydrus, seorang perantau asal Yaman Selatan, pada 1716-1756. Agar bangunan kokoh berdiri, maka di tengah-tengah ruang shalat diberi penyangga berupa selusin tiang itu.

Padahal, sesuai hadits Rasul, shalat berjamaah harus rapat. Imam yang memandu shalat selalu mengingatkan makmum untuk merapikan barisannya, merapatkan shafnya. Karena itu, membiarkan 12 tiang tetap berdiri tegak di Masjid Kramat, yang hanya sekedar berdiri saja karena tak lagi difungsikan sebagai penyangga bangunan, tak memberi makna apa-apa. Nilai sejarah yang dipertahankan tak sepadan dengan berkurangnya nilai kesempurnaan shalat itu sendiri.

Ahmad Noe'man merujuk Surat Al Baqarah, ayat 170. Disana disebutkan: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk".

Menurut Ahmad Noe'man, ayat itu cukup memberikan penjelasan mengapa tiang yang merupakan warisan nenek moyang itu tak harus dipertahankan. Selain itu, tak ada ayat atau sunah nabi yang menjelaskan secara rijit bagaimana masjid harus dibuat. "Jadi, tak haram jika masjid tak memiliki tiang, atau juga tanpa kubah," katanya.
(TEMPO)

ADHI "Pengagum Arsitektur Vernakular"

Rumah yang baik adalah rumah yang mampu menjadi "rumah" bagi dirinya sendiri. Begitulah kira-kira konsep pemikiran Adhi Moersid mengenai arsitektur yang cocok untuk iklim di Indonesia. Maklumlah, sebagai kawasan tropis, hujan dan terik matahari adalah keseharian di negeri ini. Karena itu, desain rumah harus disesuaikan dengan iklimnya. Bila tidak, hujan yang sejuk dan matahari yang mampu menghangatkan tubuh bisa menjadi cuaca yang kurang bersahabat.

Arsitektur tropis adalah pilihan ideal bagi rumah-rumah di Indonesia, karena mampu melindungi dirinya sendiri dari hujan dan panas. Ciri arsitektur tropis dapat dilihat dari atap, misalnya, yang dikemas dengan bentuk yang tinggi dan panjang. Dengan desain seperti itu, tak akan terjadi tampias bila hujan datang. Ketika matahari sedang mencapai titik kulminasi, sinarnya juga tak langsung menyorot tembok. "Arsitektur tropis artinya arsitektur yang menyesuaikan diri dengan iklim tropis, dengan memanfaatkan angin dan alam yang ada, serta cocok sekali dengan lingkungan. Dalam semua bangunan, saya usahakan mengacu pada konsep itu," kata Adhi Moersid.

Di lingkungannya, Adhi memang dikenal sebagai arsitek yang menaruh perhatian tinggi pada desain tropis. Pendiri biro arsitek Atelier 6 ini mengaku, sejak menekuni dunia arsitektur\--\Adhi memetik pendidikan arsitekturnya di Institut Teknologi Bandung, angkatan 1959\--\ia sudah menyadari betapa pentingnya arsitektur tropis untuk bangunan di Indonesia. Pada awal karirnya, ia juga melihat karya arsitek saat itu kurang memiliki karakter. "Tak ada kepribadiannya," kata Adhi mengenang.

Mantan rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu lalu mulai mempelajari arsitektur-arsitektur daerah Indonesia\--\biasa disebut arsitektur vernakular. Ada arsitektur Jawa, Bali, Toraja, Aceh, Nias. Selain mengesankan ciri daerahnya masing-masing, menurut pengamatan Adhi, arsitektur daerah ternyata menyimpan konsep arsitektur tropis yang kental. Misalnya rumah-rumah adat Batak, Jawa atau Toraja yang dikemas dengan atap yang tinggi dan panjang, sehingga menyisakan ruang yang lega di dalamnya serta mampu menahan tampias dan sinar matahari.

Untuk mempelajarinya lebih mendalam, Adhi melakukan semacam safari. Berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya, untuk melihat dari dekat konsep arsitektur "pedalaman" itu. Ia juga melibatkan diri dalam berbagai penelitian arsitektur tradisional, seperti program dari Universitas Indonesia. Dengan banyak melihat langsung ke daerah-daerah, ia berpendapat bila khasanah arsitektur vernakular di Indonesia sebetulnya menyimpan potensi untuk dikembangkan dalam sebuah kreativitas baru.

Sebagai arsitek, Adhi tak memfokuskan diri pada satu bidang tertentu. Ia juga mengaku tak mengikuti aliran atau gaya tertentu. Karya-karyanya juga tak dipengaruhi oleh seseorang atau gerakan tertentu. "Arsitektur saya adalah arsitektur saya sendiri. Saya memulai karir saya dengan mengamati dan belajar memahami dengan cara berkeliling Indonesia," katanya.

Adhi mulai menjalani kehidupannya sebagai seorang arsitek pada 1968, dengan mendirikan biro arsitek Atelier 6 bersama lima rekannya. Bentuk bangunan pertama yang dirancangnya adalah rumah tinggalnya sendiri, yang dirancang dengan konsep arsitektur tropis yang kental. Pada awal kariernya, Adhi memang banyak membangun tempat tinggal. "Bangunan kecil-kecil seperti rumah atau suatu kompleks peristirahatan," katanya.

Hingga saat ini, sudah ratusan bangunan pernah dirancangnya. Semua bentuk bangunan yang pernah dibuatnya, mulai dari rumah tinggal, perumahan, mal, hotel, tempat peristirahatan, masjid, gereja juga kandang ayam, sama sulit dan menariknya. Ia mengaku tak pernah menganggap sepele terhadap sebuah desain yang diselesaikannya. Semua pekerjaan dianggapnya besar. "Maksudnya, semua pekerjaan kita lakukan sama sungguh-sungguhnya," katanya.

Salah satu pengalaman Atelier 6 adalah membuat kandang ayam. Menurut Adhi, ternyata membuat kandang ayam lebih sulit dibanding membangun gedung-gedung bertingkat. Arsiteknya harus memperhatikan kemiringannya sehingga kotoran mudah dibersihkan. Lalu tempat makannya juga harus disesuaikan agar ayam dapat makan dengan mudah. Dan juga bagaimana bau kotoran ayam itu agar tidak menganggu lingkungan, bukanlah pekerjaan yang mudah. "Kalau merancang gedung-gedung bertingkat, itu sudah biasa," katanya.

Salah satu rancangannya yang menarik adalah Gedung PBNU di Jakarta. Tapi yang paling berkesan adalah Masjid Said Naum di Kebonkacang, Jakarta Pusat, yang dibangun pada 1975. Adhi menyisipkan arsitektur tradisional Jawa, yang dikemas dalam sebuah bentuk yang modern. Rancangan ini kemudian memenangkan kompetisi yang diadakan Pemda DKI (1975), yang dianggap merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, cocok dengan lingkungan sekitar, dan menggunakan material lokal. Atas alasan itu pulalah bangunan masjid yang selesai pembangunannya pada 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan Award for Architecture pada 1986.

Adhi juga dikenal sebagai perancang Museum Migas di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia menjadi project architect di sana. Perencanaannya dilakukan bersama-sama dengan Baskoro Sardadi, associate di Atelier 6. Untuk mengesankan sebuah museum minyak dan gas, Adhi meminjam bentuk tangki-tangki minyak di lepas pantai. Karena itu, selain bentuk bangunannya yang membulat, di sekitar bangunan juga dibuatkan kolam air yang merefleksikan suasana pantai. Kolam ini ternyata juga dibutuhkan oleh TMII untuk menampung air pada waktu hujan besar. "Jadi kolam itu sekaligus menjadi bagian dari sistem pengelolaan air hujan di TMII," kata Adhi.

Museum ini terdiri dari gedung utama dan paviliun-paviliun. Bagian dalam museum dirancang bersama arsitek interior dan ahli membuat ekshibisi\--\biasanya arsitek interior dan arsitek grafis. "Kita memang membuat tim lengkap waktu merancangnya. Terus terang saja, dalam berkarya, kami selalu menyertakan para ahli. Merekalah yang mengerjakan hal-hal di luar kemampuan kita," katanya.

Kendati berpengalaman membangun banyak bangunan dan telah melakukan banyak riset arsitektur vernakular di pelosok Nusantara, ada satu keinginan yang masih mengganjal di benaknya: ingin membangun sektor kota. Ia sadar betul bila kota-kota di Indonesia sebagian dibangun tanpa rancangan yang jelas. Pembangunannya tidak terkontrol, karena tak ada rencana detail dan terintegrasi. "Saya ingin sekali membangun sektor kota, terutama suatu sektor kota yang masih penuh dengan bangunan lama. Saya ingin mempertahankan yang lama, menambah dengan yang baru, sehingga daerah itu menjadi daerah yang baru dalam keserasian yang baru," katanya.

Jakarta sendiri, di mata Adhi, adalah sebuah kota yang memiliki kawasan tua yang tak terpelihara. Padahal, Jakarta Kota atau Old Batavia adalah aset yang luar biasa mahalnya. Menurut Adhi, banyak contoh kota-kota tua dunia yang berhasil disulap menjadi berlian kembali. "Tapi apa yang dilakukan di Jakarta? Dari hari ke hari malah rusak. Besok mungkin sudah hilang lagi lima bangunan tua, besok lagi sepuluh," katanya. Sebuah fakta yang menyedihkan, yang mungkin hanya dirasakan oleh mereka yang menghargai sejarah dan budaya bangsa.
(TEMPO)

Arsitek Peka Lingkungan

Adhi Moersid adalah arsitek yang amat peka dengan Arsitektur Tropis. Artinya, ia banyak menggarap rumah atau gedung yang berorientasi pada kultur dan budaya masyarakat tropis. Maksudnya, ia tak membuat bangunan yang tak mampu melindungi bangunan itu sendiri dari iklim tropis seperti panas atau hujan. Karena itu, bangunannya selalu kaya dengan bentuk atap yang panjang, yang dapat membuat bayangan di dinding atau melindungi bangunan ketika turun hujan. Itu arti dari Arsitektur Tropis.

Ia pernah memenangkan AGA Khan Award, (penghargaan arsitektur dari Pangeran AGA khan untuk bangunan publik dan bangunan Islami). Aga Khan Award ini diakui secara international. Karyanya tersebut adalah Mesjid Said Na'um di Tanah Abang. Dia sekarang menjadi salah satu juri dari Aga Khan Award. Mantan Rektor IKJ ini juga dua kali menjabat ketua IAI. Dia dianggap sangat berjasa di IAI karena membangkitkan IAI kembali ketika hampir dua kali bubar. Sekarang ia menjabat Ketua Majelis Arsitek IAI. Ia juga pemilik Biro Arsitek Atelier 6 (AT6), perusahaan konsultan arsitektur yang dipimpinnya. Karya arsitektur lainnya, Kampus Stekpi Di Kalibata, Museum Minyak dan Gas di TMII.

Arsitek tropis inilah julukan yang cocok bagi pria yang ramah dan murah senyum ini. Adhi Moersid, telah memegang karakter ini sejak awal karirnya sampai saat ini. Arsitektur tropis berarti suatu bangunan digarap dengan menyesuaikan diri dengan iklim tropis, dengan memanfaatkan angin dan alam yang ada, serta cocok dengan lingkungan. Kecintaannya pada arsitektur tropis membuat Adhi berangan-angan selalu ingin mengembangkan pembuatan bangunan yang merefleksikan keadaan yang cocok dengan iklim dan budaya daerah setempat.

Perjalanan karir Adhi dititi bersamaan dengan penerimaan gelar Sarjana Arsitektur ITB-nya pada tahun 1968. Ia memulai dengan mengamati dan belajar memahami arsitektur Indonesia, dengan cara berkeliling Indonesia dan ikut dalam berbagai penelitian arsitektur vernakular-arsitektur daerah. Ketika itu ia menemukan penduduk Indonesia yang multikultural akan menjadi sumber hidup bagi arsitek Indonesia. Karenanya bangunan yang dirancang selalu menampilkan karakteristik tropis dan kultural.

Proyek awalnya dirintis bersama dengan kelima orang teman baiknya, antara lain berupa rumah tinggal dan perumahan. Rumahnya pun merupakan bagian dari proyek awalnya. Kemudian mereka membentuk sebuah biro arsitek yang dinamai Atelier 6(sekarang berupa PT).

Waktu itu ia melihat arsitektur yang ada belum berkarakter. Ini mendorong ia untuk membentuk karakternya sendiri tanpa meniru atau mengekori suatu gaya atau aliran tertentu. “Arsitektur saya adalah arsitektur saya,” katanya tegas.

Karya arsitekturnya sampai saat ini begitu banyak sampai ia sendiri tak dapat menghitungnya. Mulai dari rumah tinggal, perumahan, hotel, kantor, mall, museum, masjid, dan gereja. Ada juga sebuah monumen di TMP Kalibata yang dibangun bersama isterinya. Prinsip yang sama terus ia terapkan dalam bangunan-bangunannya.

Kerja kerasnya membangun Masjid Said Naum(di Tanah Abang) yang rampung tahun 1977 tidak sia-sia, karena karya arsitekturnya itu memenangkan penghargaan Internasional Aga Khan di Marrakesh, Marocco tahun 1986. Bangunan ini mengambil arsitektur vernakular Jawa, ia menampilkan perpaduan karakter arsitektur modern dan tradisional. Bangunan ini memenangkan Aga Khan Award karena pertimbangan perpaduan yang serasi antara arsitektur modern dan tradisional, cocok dengan lingkungan, dan menggunakan bahan material lokal, juga pertimbangan pengaturan udara yang masuk-keluar dapat dipenuhinya.

Ciri-ciri arsitektur vernakular yang menonjol dalam bangunannya Adhi tercermin dari bentuk atap dan struktur atau tulang-tulang bangunan yang dapat dilihat dari luar maupun dalam. Karakter lain yang ada dalam setiap bangunan yang dibuat oleh mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini, selain tropis dan kultural, yaitu menghargai lokalitas-potensi-potensi dalam lingkungan, menghargai kontekstualitas, dan menghargai situasionalitas. Yang tak kalah penting adalah kesahajaan dalam bangunan, maksudnya tidak bermewahan.

Sampai saat ini ada impian Adhi yang belum terwujud, ia mendambakan membangun sebuah sektor kota. Dambaan ini didorong oleh adanya kota-kota yang dibangun tanpa rancangan yang jelas, detail, rasa tanggung jawab dan kontrol yang baik.
“Saya tidak pernah menganggap suatu pekerjaan itu kecil, atau suatu pekerjaan itu besar, yang terpenting adalah saya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, inilah yang menjadi motto saya,” papar Adhi. Ini bukan motto yang hanya diucapkan atau yang menjadi kata-kata pemanis saja, ini terbukti dengan kesediaannya membangun sebuah kandang ayam. Namun dirasakan Adhi, membuat kandang ayam lebih sulit dibandingkan dengan mendirikan bangunan bertingkat. “Proyek apapun akan saya kerjakan sungguh-sungguh,” kembali menegaskan.

Adhi tidak selalu mengalami kejayaan dalam perjalanan karirnya, ada kalanya ia juga mengalami kegagalan atau ketidakpuasan, namun itu tidak membuat ia menyerah dan berhenti berkembang. Kegagalan dan ketidakpuasan membawanya untuk belajar dan terus mengembangkan karakter dan mematangkan dirinya. “Menjadi arsitek adalah tantangan dan proses,” ungkapnya .

Bentuk museum migas (TMII) diambil dari bentuk bangunan untuk pengeboran minyak di tepi pantai. Ini memperkuat imagenya sebagai museum migas. Ia juga membuat kolam disekitarnya dengan pertimbangan TMII membutuhkan kolam untuk menampung air sewaktu hujan besar. Berbentuk bulat sebagai simbolisasi bentuk tangki minyak.
(TEMPO)

Selasa, 15 Juni 2010

Biografi "OSCAR NIEMEYER"

Oscar Ribeiro do Almeida Niemeyer Soares Filho (lahir 15 Desember 1907) merupakan seorang arsitek berkebangsaan Brasil yang merancang berbagai macam bangunan utama di kota-kota di Brasil dan di dunia. Pada tahun 2007, dia merayakan ulang tahunnya yang ke-100 setelah 51 tahun jadi arsitektur.

Fidel Castro ingin seperti Niemeyer yang tetap berkarya di usianya yang senja. Dia sukses merancang bangunan terkenal di seluruh dunia.

Karya-Karya "Niemeyer"

The Palácio da Alvorada, Brasilia, Brazil


OSCAR NIEMEYER MUSEUM, Curitiba, Brazil


THEATER IN IBIRAPUERA PARK, São Paulo, Brazil

Kamis, 03 Juni 2010

KARYA-KARYA "GAUDI"

Casa Batló, Barcelona, Spain


LA SAGRADA FAMILIA, Barcelona, Spain

Selasa, 01 Juni 2010

BIOGRAFI "GAUDI"

Antoni Gaudi lahir di provinsi Tarragona di Catalonia selatan pada 25 Juni 1852. Meskipun ada beberapa sengketa mengenai dokumen resmi kelahiran menyatakan bahwa ia lahir di kota Reus, sedangkan yang lain mengklaim ia lahir di Riudoms, sebuah desa kecil 3 mil (5 km) dari Reus, bisa dipastikan bahwa ia dibaptis di Reus sehari setelah kelahirannya. Orangtua adalah orang seni, Francesc Gaudi Serra dan Antonia Cornet Bertran, keduanya berasal dari keluarga perajin tembaga. Semasa muda, Gaudi menderita banyak sekali penyakit, mulai dari demam, rematik yang umum pada saat itu. Penyakit ini menyebabkan dia menghabiskan banyak waktu dalam tempat terisolasi, dan juga membiarkan dia menghabiskan banyak waktu sendirian dengan alam.
Ini adalah alamiah, terpapar pada usia dini yang diperkirakan telah menginspirasi dia untuk memasukkan bentuk alam dan tema dalam pekerjaannya di kemudian hari yaitu sebagai seorang arsitek yang ternama

KARIR

1878–1879:
Lampposts for the Plaça Reial at Barcelona;
1878:
Showcase for glove manufacturer Comella. Via this work, used at the World's Fair in Paris, Eusebi Güell came to know the architect.
1878–1882:
Several designs for the Obrera Mataronense at Mataró. Only a very small part of these plans was built, but it shows Gaudí's first use of parabolic arches, here in a wooden structure.
1883–1885:
Casa Vicens;
1883–1885:
Villa "El Capricho" at Comillas (Cantabria);
1884:
Finca Güell: Entrance pavilion and stables for the palace at Pedralbes (first completed building for Eusebi Güell);
1884–1891:
Completion of the crypt of the Sagrada Família (the crypt had been started by the architect Francisco del Villar in 1882, who had to abandon the project in 1883);
1885–1889:
Palau Güell;
1887–1893:
Episcopal palace at Astorga;
1892-1893:
Casa de los Botines at León;.

SISI LAIN GAUDI

Gaudi adalah seorang Katolik yang taat, untuk menunjukkan bahwa setahun kemudian, ia meninggalkan pekerjaan sekuler dan mengabdikan hidupnya untuk Katolik dan itu dengan terbangunnya "Sagrada Família". Bangunan itu dirancang dengan memiliki 18 menara, sebuah implementasi yaitu 12 untuk 12 rasul, 4 untuk 4 penginjil, satu untuk Maria dan satu untuk Yesus. Segera setelah itu, keluarga dekat dan teman-teman mulai mati. Karya-karyanya lama kelamaan berhenti, dan sikapnya berubah. Salah satu anggota terdekat keluarganya keponakannya Rosa Egea meninggal pada tahun 1912, hanya diikuti oleh pengikut "setia", Francesc Berenguer Mestres, dua tahun kemudian. Setelah tragedi ini, Barcelona jatuh pada masa-masa ekonomi yang sulit. Pembangunan La Sagrada Família diperlambat; pembangunan La Colonia Güell berhenti sama sekali. Empat tahun kemudian pada tahun 1918, Eusebi Güell, pelindungnya juga meninggal.

(wikipedia.org)