Kamis, 28 Oktober 2010

Pecinan dan Sejarah Kecinaan

Pecinan sebagai sebuah locus warisan, dan dinamika budaya ‘asli’ Cina di Indonesia. Tulisan ini mempertanyakan ketepatan gencarnya citra-citra kecinaan yang dipertontonkan di hadapan publik kita dengan memaparkan serentang sejarah perkembangan Pecinan untuk dapat memberikan deskripsi dari sudut pandang yang lebih kritis.

Bila ditinjau dari sejarah perkembangannya, Pecinan menempati fungsi yang spesifik dan vital dalam pembentukan dan modernisasi kota-kota di Asia Tenggara. Istilah Pecinan sendiri sebenarnya problematik karena lebih merupakan sebuah kategori etnis atau rasial yang mulai berlaku ketat sejak pemberlakuan zone etnis di era kolonial Belanda (Wijkenstelsel, 1835-1915).

Pada era pra-kolonial, Pecinan merupakan kantong-kantong pendatang yang kosmopolit dan memainkan peran sebagai pusat pertumbuhan dan rantai penting ekonomi bagi kerajaan Nusantara di era perdagangan maritim di kawasan ini. Kantong-kantong kosmopolitan itu didatangi manusia dari berbagai penjuru dunia: Arab, India, Cina, Melayu, Bugis, dan lain-lain.

Dengan melimpahnya bukti-bukti artefak dan berbagai produk budaya, sinkretisme dan akulturasi budaya pesisir telah diakui mendominasi kehidupan di kawasan ini. Komposisi fisik kota-kota pesisir pra-kolonial ini secara garis besar didasarkan pada integrasi kelompok-kelompok etnis yang otonom namun interdependen. Secara budaya, menariknya, kelompok-kelompok tersebut berbaur sekaligus menjaga identitas kulturalnya dalam tahapan tertentu, tergantung dari dinamika demografis ketimbang desakan politis. Bahkan ekspedisi politis Admiral Zheng He (Cheng Ho, 1405-1433) ke Asia Tenggara juga terkait erat dengan misinya menyebarkan agama Islam, sehingga berhasil menciptakan komunitas Muslim di pesisir Jawa.

Pola penataan perkotaan ini juga menampilkan konfigurasi kosmis berdasarkan keyakinan budaya masing-masing, dipadukan dengan jiwa interdependensi dan toleransi masing-masing kelompok. Tempat-tempat ibadah ditempatkan berdampingan di letak yang ‘seharusnya’, demikian pula dengan fungsi-fungsi publik. Identitas yang ‘hibrid’ dijewantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukkan hingga bangunan-bangunan ibadah.

Serapan-serapan budaya seringkali tidak hanya berbentuk seni elite, tapi juga pada kehidupan sehari-hari yang sifatnya lebih ‘mendasar’, seperti gaya hidup atau konsep bermukim. Namun pada tingkatan lain, pembedaan identitas nampaknya tetap dibutuhkan dan ditunjukkan pula lewat berbagai atribut.

Menurut sosiolog perkotaan Hans-Dieter Evers, masyarakat Cina cenderung memperlakukan ruang dan lingkungan sebagai suatu yang terukur dan jelas batas fisiknya, sedangkan masyarakat Melayu cenderung lebih fleksibel dan cair. Bisa jadi hipotesis yang diutarakan benar pada tataran pengamatan fisik, namun perlu ditinjau lebih jauh mengenai konteks perbedaan konsep mengenai lingkungan tersebut dicetuskan.

Jika kita berpijak pada keyakinan akan relativitas budaya (Claude Levi-Strauss dalam Race et Historie, 1957), lebih beralasan rasanya perbedaan itu didasarkan pada peran dan fungsi sosial ekonomi politik masing-masing kelompok masyarakat di dalam sistem sosial yang ada ketimbang mencari penyebabnya dalam masing-masing budaya atau ras. Namun perbincangan mengenai kondisi pra-kolonial ini masih merupakan subjek kajian budaya yang selalu terbuka dan menarik untuk terus digugat seiring keterbatasan dan kreatifitas kita untuk membaca artefak-artefak sejarah.

Menurut pandangan multikulturalis, problem sesungguhnya dipupuk mulai dari kependudukan rezim kolonial dan berlakunya kategorisasi. Sejarahwan Onghokham (dan banyak pakar sosial politik lainnya) dengan tegas menyatakan bahwa kecinaan yang merupakan konstruksi politik kolonial, dibuktikan dengan seperangkat hukum dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial terutama semasa Tanam Paksa (Cultuurstelsel, 1830-1870). Mulai dari penentuan zona permukiman berdasar etnis (Wijkenstelsel), penerapan pas jalan (Passenstelsel, 1863), hingga penentuan atribut-atribut yang harus dikenakan golongan etnis tertentu, sehingga menciptakan batas-batas tegas identitas apakah seseorang itu Eropa, Pribumi, Arab atau Cina.

Batas-batas itu dipelihara dan direproduksi untuk terus mengingatkan kesadaran seseorang akan identitas rasialnya yang terasosiasi juga dengan peran ekonomi sosial dan politiknya dalam masyarakat kolonial. Batas-batas itu selain mengatur hak dan kewajiban administratif masyarakat Cina (agama, perkawinan, pendidikan, dan lain-lain) juga secara efektif mengatur model pakaian, potongan rambut, hingga aksesoris yang dibawa bepergian.

Meskipun tidak setegas aturan-aturan lain, Liem Thian Joe (Riwajat Semarang, 1933) mencatat bahwa ada seorang pengusaha Cina yang didenda karena membuat bangunan mirip bangunan Pemerintahan Kolonial di Semarang, yang menandakan bahwa kategorisasi ‘gaya arsitektur’ berdasarkan etnis/ras juga diterapkan. Pemerintah Kolonial juga mengatur tipologi ruang jalan dan lingkungan kota berdasarkan ras, sehingga kita secara visual dapat mengenali yang mana itu Pecinan, Kampung Melayu, Kampung Arab, dan lain-lain.

Pada kenyataannya, kategorisasi tidak selalu ditepati secara rigid. Penggunaan atribut identitas juga bukan merupakan tembok masif yang tegas dan tak bisa ditembus. Ada kelompok masyarakat yang berpijak di antara kategori itu, sehingga terjadi pencampuradukan atribut tersebut untuk menampilkan identitas ‘hibrid’ mereka.

Pemerintah Kolonial menciptakan kalangan elite Cina (juga demikian halnya dengan kelompok masyarakat lain) yang beridentitas kebaratan, sekaligus kecinaan. Arsitektur elite yang kadang ‘bernuansa Barat’ kadang ‘bernuansa Cina’ (atau campuran keduanya atau dari campuran dari banyak langgam), pun tampil kontras dari deretan ruko-ruko Cina yang rapat dan rumah-rumah sederhana Pribumi.

Tipologi vila, bangunan rumah tunggal yang dikelilingi halaman yang luas, akhirnya dipatok sebagai tipologi ‘kelas atas’, seperti juga banyak elemen gaya hidup tertentu yang dipicu oleh tuntutan hidup di rumah-rumah seperti itu. Pendirian bangunan/gedung baru merupakan berita tersendiri di komunitas-komunitas ini, sehingga mempertajam peran arsitektur dalam mendefinisikan identitas dan modernitas.

Klenteng-klenteng, karena peran sentralnya sebagai pusat komunitas masyarakat dan pelestarian budaya Cina, secara fisik dan ritual tampil konservatif, sehingga mampu tampil sebagai ikon identitas Cina yang dilestarikan dan direproduksi hingga kini. Sebagai contoh, keberadaan Kampoeng China di Cibubur dan Masjid H.M. Cheng Ho Indonesia di Surabaya juga akhirnya turut menggambarkan citra kecinaan dengan mengambil bahasa arsitektural yang kerap muncul di brosur pariwisata, majalah, atau siaran televisi.

Citra-citra sejenis, seperti Naga dan Barongsai, juga kerap ditampilkan pada era pasca-Orde Baru, seakan-akan merupakan satu-satunya cara menggambarkan kiprah kebudayaan Cina di Nusantara ini. Tanpa langsung disadari, sebenarnya kita selama ini mengkonsumsi gambaran kecinaan yang eksklusif dan orientalis ini, yang sebenarnya miskin pengertian akan sejarah masyarakat Cina di Indonesia yang penuh liku dan nilai. Pecinan sebenarnya merupakan saksi hidup sejarah yang masih menyimpan ritual, prosesi, dan mitos yang sebenarnya menggambarkan kekayaan khazanah budaya yang sedang digali lebih lanjut. Jika kita dapat melakukannya, tentu saja kita tidak lagi perlu mengimpor berbagai atribut kecinaan buatan Singapura, Taiwan, atau Hongkong. (TEMPO)

Sabtu, 23 Oktober 2010

Jangan Lupakan Rumah LONTIOK di Riau...

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan bangsa yang besar melestarikan budayanya. Perkembangan zaman dan arus modernisasi membuat sebagian masyarakat Indonesia melupakan sejarah dan tidak lagi menjaga warisan budaya leluhur. Salah satu warisan budaya yang terancam punah adalah rumah adat.

Rumah adat menjadi ciri khas suatu suku. Konstruksi bangunan, tata ruang, dan ornamennya mencerminkan nilai-nilai budaya dari masing-masing suku. Di provinsi Riau banyak terdapat jenis rumah adat, salah satu diantaranya adalah rumah adat melayu, rumah Lontiok.

Rumah lontiok memiliki arsitektur khas Melayu berbentuk panggung yang dilengkapi dengan tangga di bagian depan dengan anak tangga berjumlah ganjil. Rumah ini berdinding kayu Anggau atau Dangau. Dinding tersebut miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang yang melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan sesama. Di beberapa dinding terdapat ukiran khas. Atapnya melengkung keatas dan runcing. Dinding dan atap melengkung seperti perahu menyebabakan rumah tersebut disebut juga rumah Lancang. Rumah tersebut dibuat melebar dengan susunan tiga ruang ke arah belakang rumah. Ruang pertama bisa digunakan sebagai tempat berkumpul atau ruang tamu, ruang kedua sebagai ruang tidur dan ruang ketiga sebagai dapur. Di setiap rumah Lontiok biasanya dilengkapi dengan lumbung padi yang juga berbentuk panggung dan terbuat dari kayu, serta sumur yang bentuknya berbeda dengan sumur kebanyakan yang berbentuk bundar. Sumur di rumah Lontiok terbuat dari batu yang berbentuk prisma segi empat atau terlihat seperti bentuk rumah.
Saat ini, keberadaan rumah Lontiok sudah sulit ditemukan oleh karena itu, Pemerintah Riau menjadikan rumah Lontiok sebagai salah satu cagar budaya. Namun, dalam perjalanan ini, kami beruntung karena berhasil mengunjungi rumah Lontiok yang masih asli dan dihuni. Ada dua rumah yang masih tersisa di Desa Nago Beralih, Air Tiris, Riau. Rumah pertama adalah rumah Datuk Idris dan rumah kedua adalah rumah Datuk Tolak Sakti Laksamana yang diwariskan ke istrinya, Nurhayati. Kedua rumah tersebut berusia seratus tahunan. Saat ini, Datuk Idris masih menghuni rumah tersebut, sedangkan rumah kedua telah dikosongkan selama empat bulan terakhir.

Datuk Idris bercerita bahwa peneliti Malaysia yang meneliti rumahnya berkeinginan untuk membeli rumah tersebut. Datuk idris menolak tawaran itu. Menurutnya, rumah warisan leluhurnya terlalu berharga untuk ditukar dengan apapun. Itulah yang menjadi alasan kuat mengapa di usia tuanya ia tetap setia menjaga rumah tersebut. Datuk Idris telah memberikan pelajaran untuk kita semua agar menghargai dan memelihara warisan budaya leluhur. Mari Cintai Indonesia dengan melestarikan budayanya.(aci.detik.com)

MASJID KRAMAT LUAR BATANG - Mengembalikan Arsitektur Masa Silam

Dibangun pada abad ke-17, Masjid Kramat Luar Batang menyimpan banyak perpaduan budaya: Eropa, India, dan tentu Indonesia.

Dua belas tiang itu berdiri tegak tepat di tengah masjid. Tak ada beban yang mesti disangga sehingga bagian atas tiang itu tampak kosong. Tak satu pun yang menyentuh langit-langit bangunan, sehingga menyisakan bagian kosong antara ujung tiang dan bagian bawah atap. Bagian kosong itu kian tampak di bagian tengah karena atap bangunan didesain dengan bentuk kerucut. Dua belas tiang itu merupakan bagian terpenting dari masjid ini.
Masjid Kramat merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. Masjid ini membentangkan sejarah panjang. Masjid ini dibangun pada 1739 oleh Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, ulama keturunan Arab dari Hadramaut. Daya tarik arsitektur masjid ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan kampung Luar Batang itu sendiri.

Masjid ini terletak di tengah perkampungan Luar Batang, Jakarta Utara dan tak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Dulu kampung Luar Batang dikenal sebagai pemukiman orang Jawa di luar tembok kota Batavia. Pemukiman seluas 9,6 hektar ini menampilkan ciri khas Betawi pesisir, sedangkan Masjid Kramat menampilkan campuran arsitektur Eropa dan India.
Bangunan masjid ini mengalami perluasan pada 1827. Dalam perluasan inilah makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus masuk dalam kawasan masjid. “Semula makam itu ada di luar halaman masjid,” kata Abdullah bin Abubakar Alaydrus, generasi ketiga Habib Husein.

Layaknya bangunan model India, Masjid Kramat ini memanfaatkan banyak tiang ciri khasnya. Begitu pula dengan pintu gerbang yang memadukan gaya kubah dan bangunan tradisional India. Sedangkan nuansa Eropa dapat dilihat dari model tembok dan lengkungan pada setiap jendela.
Kini Masjid Kramat Luar Batang menampilkan corak baru setelah mengalami pembangunan ulang pada September 1997. Tidak semua wujud bangunan diubah karena ada beberapa sisi yang dipertahankan seperti aslinya. Salah satunya dalah dua belas tiang yang terletak di tengah bangunan masjid tadi. “Itu simbol 12 imam yang ikut menyebarkan agama Islam,” kata Abdullah, penghuni rumah tua dalam kompleks masjid.

Pembangunan yang diprakarsai pemda DKI Jakarta ini berusaha mengembalikan bangunan utama masjid. Karena itu 12 tiang tetap berada di titik tengah masjid, tepat di bawah bagian ujung atap yang berbentuk kerucut. Selain itu menara masjid di bagian luar tetap dipertahankan sebagaimana aslinya, yang berbentuk bulat dengan semi kubah di bagian atasnya. Model ini merupakan ciri khas menara daerah pesisir dengan dinding batu bata yang kokoh dan tebal.
Ketebalan tembok sebagai ciri khas bangunan pesisir terlihat pada beberapa bagian pula. Antara lain pada tembok pintu gerbang, sebagian pagar luar, tembok di ruang makam Habib Husein, sampai rumah tua yang dihuni Abdullah dan keluarga. “Ini memang ciri bangunan kuno yang berdiri di dekat pantai,” kata Abdullah sambil menunjukkan tembok rumahnya.

Model tembok tebal ini tidak lagi digunakan untuk bangunan utama masjid yang baru. Secara keseluruhan, masjid ini terbilang sederhana. Bentuknya tanpa kubah. Sebaliknya, dikemas atap berbentuk kerucut yang cukup tinggi, yang dirancang untuk meminimalisir hawa panas yang masuk ke dalam ruang. Melalui celah yang dibuat diantara bagian bawah atap dan tembok penyangga, angin mampu menerobos ke dalam masjid. Hembusan angin ini yang membuat suasana Masjid Kramat terasa adem.
Desain masjid Kramat sangat memperhitungkan kondisi alam kampung Luar Batang. Cahaya matahari dimanfaatkan sebagai penerang di siang hari melalui bagian atas jendela yang didesain berlubang-lubang. Dengan bentuk semi kubah pada bagian atas jendela, cahaya matahari praktis tak menemukan halangan. Dinding yang didominasi warna coklat muda ini menambah suasana sejuk.

Bagian dalam masjid cukup lapang karena tidak memanfaatkan tiang penyangga, kecuali empat sisi dinding. Hanya saja keberadaan 12 tiang itu terkesan mengurangi kelapangan masjid. Namun, hal ini tidak begitu menggangu karena posisi yang teratur. Dengan posisi berjajar 3 x 4 baris, masing-masing tiang berjarak sekitar 1 meter. Artinya ada lahan seluas 12 meter persegi yang digunakan untuk tiang-tiang tersebut.
Setelah direnovasi, Masjid Kramat tampak sebagai bangunan baru di tengah kompleks masjid yang penuh nuansa kuno. Lantai, dinding dan pintu misalnya, telah diganti dengan bahan terbaru. Kondisi ini tampak kontras dengan bangunan makam Habib Husein yang tetap bertahan seperti aslinya. Letak makamnya sendiri dikembalikan ke letaknya semula, yakni di bagian luar masjid. Tepatnya di depan pintu masuk utama bagian kiri sebelum melewati anak tangga.

Letak makam ini lebih rendah kira-kira satu meter dibanding lantai dasar masjid. Semula posisi makam dan lantai masjid berada pada ketinggian yang sama. “Kalau air laut sedang pasang atau banjir, menimbulkan persoalan,” kata Abdullah. Akhirnya lantai dasar masjid dibuat lebih tinggi untuk mencegah air masuk. Posisi lantai ini membantu makam Habib Husein terhindar dari terjangan air bah.
Dengan bentuk bangunan baru, mereka yang shalat dan berziarah tak berada di satu tempat yang sama. Mereka yang ingin ziarah bisa berlama-lama di depan makam tanpa mengganggu mereka yang sedang shalat. Teras depan masjid bahkan bisa difungsikan sebagai tempat orang-orang yang antri masuk ke makam Habib Husein, yang pekan-pekan ini ramai dikunjungi orang.

Nah, situasi teras yang hiruk pikuk itu turut memberi warna yang kontras, paling bila dibandingkan dengan bangunan masjid yang tampak bersih. Beberapa bagian dinding terasa terlihat mengelupas. Begitu pula atap teras bangunan makam yang terlihat koyak pada beberapa bagian ciri khas bangunan publik di Indonesia. Jika saja kompleks Masjid Kramat kampung Luar Batang ini ditata lebih rapi, bukan tak mungkin wisata spiritual dan sejarah, termasuk mengagumi arsitekturnya, kian digemari. (TEMPO)

Rabu, 20 Oktober 2010

JEJAK ARSITEKTUR ACROPOLIS NEGARA KOTA ZAMAN YUNANI KUNO

by. Krisen S. Emha
Panorama Acropolis adalah kuil-kuil bersejarah, pemandangan perbukitan yang indah, dan arsitektur kota yang tak berpihak kepada militerisme.

Demokrasi dalam bidang politik yang kita kenal pada saat ini merupakan salah satu sumbangan dari Dynasty Hellenislic (650-30 SM) pada zaman kekaisaran Yunani Kuno, dimana hak-hak sipil untuk menyampaikan pendapat secara bebas diakui. Hal ini terlihat dari tatanan kota-kota pada zaman Yunani Kuno yang berupa Negara kota, dimana terdapat ruang-ruang terbuka untuk aktifitas demokrasi dan ditandai dengan bangunan-bangunan Negara untuk pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif, salah satunya adalah Acropolis. Itulah tradisi athen yang tidak bertujuan kepada militerisme, sehingga kota-kota di zaman Yunani Kuno sering mendapat serangan dari bangsa-bangsa di sekitarnya, terutama dari Persia.

Berbeda dari tradisi Spartan yang banyak terdapat pada kota-kota abad pertengahan di kawasan Bavaria atau Jerman sekarang yang memang menunjukkan keunggulan bangsanya melalui kemenangan dalam peperangan. Konsep demokrasi tersebut dirumuskan kembali oleh ilmuwan Prancis setelah abad pertengahan, Montesquieu (1689-1755), dalam Esprit des Lois.

Acropolis dibangun pada masa kepemimpinan kaisar Pericles (495-429 SM) yang merupakan zaman keemasan Yunani di Athena. Acropolis terletak pada lokasi yang menarik pada sebuah perbukitan kota Athena, dan dari sini dapat dinikmati pemandangan kekawasan perdagangan Athena, Agora (sebuah pasar) yang merupakan pusat keramaian, sehingga Acropolis menyimbolkan dewi kebijaksanaan, keadilan, semangat dan inspirasi penduduk Athena.

Lingkungan utama komplek Acropolis terdiri dari kuil-kuil yang membentuk sebuah panorama kota, antara lain terdiri dari: Erichteion, Parthenon, Nike dan Propylaea. Erichteion adalah sebuah bangunan kuil yang masih baru dan sangat indah sebagai pengganti bangunan sebelumnya yang mengalami kehancuran pada 480 SM akibat peperangan dengan bangsa Persia yang dipimpin Salamis.

Kuil ini dibangun oleh arsitek Mnesicles antara tahun 421-405 SM dan memiliki ukuran yang kecil, tak beraturan, bertingkat dengan gaya kolom ionic. Kuil ini terletak pada tapak yang aneh yaitu dikelilingi oleh hutan keramat dan tanah perkuburan. Terdapat tiga ciri utama kuil ini, yaitu adanya beranda, jendela di setiap bagian dari pintu di beranda sebelah timur dan ornamen berbentuk gadis pada kolom yang berfungsi sebagai penopang atap beranda bagian selatan. Bentuk ini sedikit ramping dan berkesan seolah-olah sedang menjunjung beban berupa atap.

Parthenon adalah kuil yang merupakan tempat suci agung dimana terdapat sebuah patung yang sangat besar, yang terbuat dari gading dan emas. Parthenon merupakan bangunan yang sangat menonjol dan merupakan pusat dari Acropolis. Parthenon dibangun antara 447-438 SM sebagai karya dari arsitek Ictimus (Iktinos) dan Callicrates (Kallikrates) dan ahli pematung Phidias (Pheidias). Bangunan Parthenon dikatakan sebagai ‘kesempurnaan terbesar dari karya kuil Doric yang pernah di bangun', sebuah penampilan dengan proporsi sempurna yang dihasilkan oleh ahli maya-loka Athena.

Nike merupakan kuil terkecil yang bagi penduduk Athena dianggap sebagai kuil pembawa keberuntungan bagi kota Athena. Propylaea adalah bangunan berbentuk pintu gerbang karya arsitek mnesicless, tapi pembangunannya tak sempat diselesaikan karena terjadi peperangan dengan bangsa Peloponnesia. Puing-puing dari bangunan tersebut masih bisa dilihat sampai sekarang, tetapi ada beberapa bangunan yang benar-benar sudah hilang antara lain; Pinacotheca (sebuah gallery seni), Theater Dionysus, Odeon (sebuah ruang musik dari Herodes Atticus) dan Stoa (sebuah tempat berteduh dan tempat berpameran dengan colonnade dari Eumenes). Juga
terdapat patung Promachos karya Pheidias yang sangat besar dan terbuat dari perunggu dan mendominasi wajah kota.

Athena yang berpusat di Acropolis merupakan kota pertama pada zaman Yunani Kuno yang sampai sekarang masih bisa dilihat. Pada zaman inilah kayu mulai dipakai sebagai bahan konstruksi bangunan dan disebut dengan istilah Carpenty in marble. Arsitek Romawi Marcus Vitrivius Pollio banyak menulis tentang arsitektur yang bersumber dari sini, yang ditulis dalam bukunya De Architettura yang terdiri dari 10 buku.

Dalam buku itu terdapat prinsip simetri, harmoni dan proporsi yang merupakan perluasan dari prinsip proporsi, komposisi dan presisi dari zaman Yunani Kuno yang disebut Entasis. Konsep ini lebih rinci terlihat dalam bentuk orde (ornamen kolom) arsitektur yang ditemukannya.

Orde Doric dan Ionic berasal dari zaman Yunani Kuno yang mengambil nama dari dua kelompok suku bangsa Yunani, yaitu Doria (Turunan Italia dan Sicilia) dan Ionia (Turunan Asia Kecil), sebagai kelanjutan dari orde Corinthian yang berasal dari zaman Romawi. Dan karya Vitrivius inilah yang dikenal sebagai Histori Clasicisme dalam teori arsitektur Continental (Eropa daratan) yang berwujud 'greeko-Roman' setelah Renaissance.

Ada beberapa bangunan lainnya di Acropolis yang cukup menarik, antara lain: Boulenterion; bangunan legislative, Prytaneion; bangunan eksekutif, Haliaea; banguan yudikatif dan Mycenaean Megaron sebagai bangunan tempat tinggal atau rumah para pemimpin. Acropolis sampai sekarang tetap menjadi rujukan dalam Urban Design. Arsitektur Acropolis adalah acuan dari arsitektur berwujud Greeko-Roman yang pernah ditolak secara formal oleh gerakan Bauhaus di Jerman dan beberapa Negara lainnya di daratan Eropa pada awal 1900-an dimana telah menguasai daratan Eropa sejak abad pertengahan setelah Renaissance.

Sejatinya dasar teori arsitektur Greeko-Roman oleh sebagian besar sejarawan dan kritikus arsitektur dianggap sebagai ilmu arsitektur yang paling abadi karena muncul di sepanjang zaman, termasuk pada zaman modern sekarang ini.

Senin, 18 Oktober 2010

GALERI PIKITRA, Yang Teduh Diluar, Sejuk Di Dalam

Pikitra didesain dengan gaya arsitektur tropis yang kental. Bukan banguan baru, tapi didesain dengan konsep sematang bangunan tempo dulu.

Menikmati daerah Kemang yang teduh oleh pepohonan, rasanya kurang lengkap bila belum mampir ke Pikitra. Galeri yang berlokasi di Kemang Timur berseberangan dengan Australian International School ini tampak asri. Halaman parkirnya lega, dengan beberapa pohon besar yang siap menjadi peneduh. Wajah bangunannya pun merefleksikan keteduhan itu sendiri, karena didesain dengan konsep arsitektur tropis: atapnya tinggi dan panjang.

Suasana teduh dan sejuk semakin terasa ketika kita mulai memasuki halaman galeri yang tidak diberi pagar pembatas itu. Terdapat dua pohon besar yang rindang di muka halaman yang meneduhi sebuah gazebo yang terletak tepat di tengah-tengah area.

Sementara di tembok bagian kiri yang berbatasan langsung dengan bangunan di sebelahnya, terdapat beberapa buah pohon Palem Raja yang ditanam secara berderet. Di pojok kanan agak menjorok ke dalam terdapat sebuah ruang pamer terbuka yang berisi berbagai jenis kerajinan dari kayu.

Bentuk bangunan galeri itu sendiri merupakan perpaduan antara bangunan model dan bangunan khas Jawa. Hal itu dicirkan dengan adanya tiga buah atap berbentuk limas segitiga. Atapnya dibentuk bertingkat, menggunakan genteng tanah tradisional dan di atasnya terdapat sebuah menara tempat menyimpan bak air. Bagian atap dibuat menjorok ke depan, sehingga sinar matahari tidak langsung masuk ke dalam. Selain itu, ada pula tanaman merambat yang turut membuat suasana tambah segar. Bangunan ini semakin hidup dan menarik, berkat pemilihan kusen berwarna hijau.

Pikitra adalah galeri berlantai dua dengan luas sekitar empat ratus meter persegi. Bangunan itu sendiri berdiri di atas area seluas kira-kira seribu meter persegi. Bangunan ini memang didesain dengan nuansa yang teduh dan diciptakan seakan-akan menyatu dengan alam dan lingkungannya gaya khas rumah-rumah pedesaan.

Karena itu, dindingnya tidak dilapisi plester, sehingga bata-bata yang berwarna merah menjadi tampak menonjol. Agar bangunannya betul-betul membuat pengunjungnya merasa sejuk, langit-langitnya dirancang tinggi. Ia juga memperbanyak ventilasi dengan membuat banyak jendela pada galerinya, agar sirkulasi udara bertambah lancar.

Ada dua hal yang melatari desain seperti ini. Pertama, desain seperti ini tak membutuhkan investasi besar. Bangunan yang didirikan pada 1996 dan dikerjakan selama delapan bulan ini, hanya menghabiskan dana tak lebih dari Rp 100 juta. Biaya itu bisa ditekan karena menggunakan bahan baku murah. “Batanya adalah bata biasa dengan genteng tradisional. Sementara kayunya jenis kamper, tapi kualitas paling atas,” kata Harningsih.

Alasan kedua, tentulah sesuai dengan barang yang dipajang di dalam galerinya, yakni barang-barang etnik dan bernuansa pedesaan. “Kan nggak lucu kalau bangunannya beton, tapi isinya barang-barang,” katanya.

Mengenai penonjolan warna bata, menurut wanita kelahiran Sukabumi 63 tahun lalu ini, bata memiliki arti filosofis tersendiri. “Bata ibarat tanah tempat tumbuhnya pohon,” jelas Harningsih. Sementara warna hijau yang dibalutkan pada kusen pintu yang merupakan warna kegemarannya, melambangkan kesuburan, sehingga dua warna itu harus dipadukan. “Kalau pohon tidak ada tanah, pohon tidak bisa tumbuh. Sementara kalau tanah tidak ada pohonnya, akan menjadi gersang,” katanya menjelaskan.

Kesejukan gelari itu diakui arsitek senior Han Awal. Katanya, Pikitra adalah galeri yang didesain dengan gaya arsitektur tropis. “Teduh, banyak ventilasi, dan nyaman. Di dalamnya tak banyak kena sinar matahari, apalagi kalau siang hari,” ujar Han menjelaskan ciri-ciri umum arsitektur tropis. Selain itu, lanjut dia, arsitektur tropis juga dicerminkan oleh bentuk langit-langit yang tinggi, bentuk atap yang menjorok, dan dinding yang tebal.

Menurut Han Awal, sebagian besar bangunan lama di Indonesia yang merupakan peninggalan zaman Belanda, didesain dengan gaya arsitektur tropis. Jika dikaitkan dengan efisiensi biaya, arsitektur tropis tidak memerlukan banyak lsitrik. “Karena kita tidak memerlukan pendingin udara yang memakan banyak listrik,” kata Han. Mungkin alasan ini pula yang mendorong Harningsih mendesain galerinya dengan gaya arsitektur tropis. (TEMPO)

Minggu, 10 Oktober 2010

MUSEUM BATA, Kisah Manusia dari Jejak Sepatu

Meseum Sepatu Bata adalah museum sepatu yang terlengkap di dunia. Lebih dari 10 ribu pasang sepatu tersimpan rapi di museum yang didirikan pada 1995 itu. Selain sepatu aktor dan aktris Hollywood seperti Marylin Monroe dan aktor Robert Redford, sepatu para pemimpin dunia seperti istri mantan presiden Filipina Imelda Marcos atau sepatu milik mantan PM India Indira Gandhi juga tersimpan di meseum yang terletak di Toronto, Kanada, yang menghabiskan investasi hingga US$ 12 juta.

Sepatu koleksi Robert Redford misalnya, kebanyakan sepatu lars. Sepatu Imelda Marcos umumnya sepatu wanita dengan hak tinggi. Sepatu milik mantan PM India, Indira Gandhi adalah sepatu pantofel berhak rendah. Sepatu Marilyn Monroe, salah satunya yang menarik, adalah sepatu wanita berwarna merah menyala dengan hak tinggi yang kecil. Sepatu Elton John juga punya daya pikat tersendiri. Sepatu Elton dilengkapi sol berpermata, yang konon dulunya sangat disukai Elton meski tak pernah dipakai untuk bermain piano karena solnya yang tinggi sangat menyulitkan Elton bermain musik. Tapi daya tarik museum ini tak cuma koleksi sepatu bintang dunia, tetapi juga koleksi sepatu tradisional yang mencerminkan betapa jejak sepatu dapat mengungkap perjalanan hidup manusia.

Koleksi yang tertua berumur 5.000-an tahun. Koleksi sepatu yang tergolong bersejarah, adalah sepatu tenunan yang konon digunakan pada jenazah yang dimakamkan di kerajaan di Thebes kuno. Ada juga sepatu besi yang menjadi seragam baju zirah abad XV dari Jerman, sepatu lars Ratu Victoria dari Inggris, dan sepatu lars kulit bebek eider milik orang Inuit di Kutub Utara. Museum ini juga mengoleksi lukisan atau poster sepatu-sepatu zaman pra sejarah, yang dapat memberi gambaran lengkap soal kehidupan manusia dan sepatu pada zaman itu.
Dari koleksi sepatu yang ada di meseum ini, dapat disimpulkan bahwa sepatu adalah salah satu hasil karya atau keterampilan manusia yang tertua di dunia. Dari evolusi sepatu dan gambar serta informasi yang ada di museum ini, diketahui bahwa ternyata peralatan dan teknik membuat sepatu yang telah berusia ribuan tahun, hingga kini masih dipakai. Pada dasarnya, cara membuat dan mendesain sepatu tak pernah berubah sejak dahulu, meski gaya, bentuk, dan fungsi sepatu terus berubah, yang mencerminkan kehidupan pemakai dan lingkungannya.

Koleksi sepatu yang dipajang pada sudut Sepatu dan Agama di museum ini, juga menegaskan bahwa usia sepatu barangkali sama panjangnya dengan usia agama. Sebab, para pemimpin agama atau penganut agama pada masa lalu, ternyata juga telah mengenakan sepatu sebagai budaya dan kesehariannya. Salah satu buktinya, adalah sandal gading milik penganut agama Jain di India.

Ada pula lars coklat kusam bertali kulit kasar yang dibuat dengan bentuk yang tak kalah kasarnya, yang disebut sepatu halizah. Menurut adat Yahudi lama, seorang pria bujangan wajib menikahi janda saudara laki-lakinya, asalkan janda itu tidak beranak. Agar bebas, diadakan upacara di muka umum di mana si janda melepaskan ikatan tali dan melepaskan sepatu iparnya. Kisah sepatu lars coklat bernama halizah itu mencerminkan betapa sepatu telah ada ketika manusia mungkin baru belajar tentang bagaimana menyelenggarakan sebuah perkawinan, sebuah hidup yang paling awal.

Museum Bata didirikan oleh Sonja Bata, istri pengusaha sepatu Bata, Thomas Bata. Sonja mengumpulkan sepatunya dari banyak tempat, dari banyak negeri dan dari banyak kesempatan Sonja mulai mengumpulkan sepatu sejak 50 tahun lalu. Ketertarikan Sonja akan sepatu, diawali ketika ia mengunjungi pabrik-pabrik sepatu milik keluarga yang tersebar di seluruh dunia Bata mendirikan pabrik sepatu di Cekoslowakia pada awal abad ini dan mengembangkan bisnisnya dengan membuka pabrik di Toronto sejak 1939. Ternyata, di pabrik-pabrik yang dikunjunginya itu, tersimpan beberapa sepatu tradisional yang pernah mereka produksi, dengan aneka bentuk yang unik. Sepatu-sepatu itu lalu dikumpulkan Sonja.

Sonja sendiri rajin berburu sepatu ke berbagai belahan dunia, terutama tempat-tempat yang menjadi sejarah peradaban manusia seperti Tibet atau Kutub Utara. Salah satu pengalaman menariknya, adalah ketika berburu sepatu di Arktika, pada 1992. Kabarnya, di kawasan itu masih bisa dijumpai pembuat sepatu kamiks, sepatu lars dari kulit anjing laut, yang telah digunakan secara turun temurun. Pembuatnya, diantaranya adalah seorang wanita tua. Wanita itu memakai urat hewan untuk menjahit sepatu, bukan benang seperti yang umum dipakai sekarang. Dan untuk menarik benang yang dijahitkan pada sepatu, perajin sepatu selalu memanfaatkan giginya.

Informasi itu tak meleset. Pembuatnya memang seorang nenek yang sudah keriput. Menurut anak perempuan pembuat sepatu itu, kulit anjing laut keras yang menjadi material sepatu sangat keras. Itu berarti, ongkos pembuatannya sama dengan satu set gigi palsu baru, dan hal itulah yang membuat sepatu kamiks menjadi sangat bernilai di mata Sonja. Sepatu kamiks itu kini termasuk koleksi sepatu yang menarik di museum Sonja. (Tempo)

ABSURDITAS ARSITEKTUR BERGAYA MEDITERANIA

by_Krisen S. Emha
Beberapa waktu yang lalu bahkan sampai saat ini kita sering melihat dan mendengar iklan-iklan dari pengembang baik perumahan maupun apartemen yang diembel-embeli dengan 'Arsitektur Bergaya Mediterania'. Tapi ketika diminta penjelasan tentang 'Arsitektur Bergaya Mediterania', umumnya baik pengembang maupun arsiteknya tidak bisa memberikan penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan yang kita peroleh adalah cerita dongeng berupa bualan ilusionis yang mengecoh persepsi dan tidak punya urat arsitektur.

'Arsitektur Bergaya Mediterania' secara ilmiah dalam stream gaya arsitektur memang tidak dikenal. Dalam mengkritisi arsitektur dari penampilan fisik (ruang dan bentuk) ada dua parameter yang biasa dipakai yaitu dari 'gaya arsitektur' dan 'aliran arsitektur'.

Gaya arsitektur biasanya lahir dari tren-tren yang tampil dalam rentang waktu tertentu atau bersifat kontemporer, tidak memiliki ideologi tertentu, biasanya dipopulerkan oleh kritikus di bidang arsitektur dengan melihat ciri-ciri fisik dan kesamaan-kesamaan yang ditampilkan, misalnya arsitektur bergaya 'art-deco', 'post-modern', dan lain-lain.

Adapun aliran arsitektur biasanya lahir dengan mazhab-mazhab tertentu sehingga memiliki ideologi tersendiri, biasanya lahir dari lembaga-lembaga arsitektur, baik lembaga pendidikan maupun perkumpulan-perkumpulan arsitek, misalnya arsitektur beraliran 'bauhau's, aliran 'd' beaux art', aliran 'modern', dan sebagainya. Dan terminologi 'Arsitektur Bergaya Mediterania' tidak ditemukan dalam kedua kerangka tersebut. Ini sering dan masih jadi perdebatan dikalangan arsitek sendiri sampai saat ini.

Berdasarkan historinya, awal perkembangan arsitektur secara ilmiah memang terjadi di kawasan laut mediterania dengan letak geografis antara Benua Afrika, Asia dan Eropa yang dikenal sebagai kawasan Anatolia. Dimulai dari Mesir yaitu zaman Mesir Kuno (2800 - 600 SM) dengan arsitektur piramidanya dan tokoh yang menonjol arsitek Imhotep. Kemudian berlanjut dengan zaman Yunani Kuno dengan arsitektur Acropolis, di sini muncul orde dorik dan orde ionik dan tokoh yang menonjol arsitek Mnesicles.

Zaman Romawi dengan arsitektur Roman dan muncul orde corinthian dan tokoh yang menonjol arsitek Hadrian dan Marcus Vitrivius Pollio. Dengan posisi geografis yang demikian, kawasan mediterania tidak terpengaruh oleh gerakan Rainesans (Kelahiran Kembali) yaitu gerakan kembali ke seni budaya ' Greeko-Roman' pada abad 15 dan 16 mula-mula di Italia, kemudian ke seluruh daratan Eropa.

Le Corbusier adalah arsitek kawakan Prancis yang dalam karya-karya arsitekturnya secara anatomi bercirikan arsitektur bangunan-bangunan yang ada di kawasan mediterania. Hal ini berawal dari pengalamannya menjelajahi kawasan ini ketika dia secara pribadi ingin melepaskan diri dari kemapanan arsitektur di Eropa, terutama di Prancis yang berwujud 'Greeko-Roman'.

Corbu mungkin terinspirasi karya-karya sejarah otentik berisi kenangan-kenangan di daerah timur yang eksotik, yang tidak terpengaruh oleh gerakan Rainesans, dan ditulis dalam bentuk prosa oleh penyair-penyair Perancis yang melakukan perjalanan ke timur. Diantaranya adalah Jainville, Froissart dan Villehardouin pada abad pertengahan (Moyen Age). Corbu melakukan perjalanan yang dinamakan dengan 'Voyage d' Orient' (Perjalanan ke Timur), terutama ke negara-negara mediterania.

Hal inilah yang mempengaruhi rancangan-rancangan Corbu selanjutnya ketika dia kembali ke Paris. Karya-karya Corbu tersebut dinamakan l'Espirit Noveau yang memiliki lima prinsip dan disebut 'cinq points' yaitu; tiang-tiang, taman dalam ruang, jendela lebar dan panjang, tampak depan dan ruang-ruang yang terbuka.

Hal ini merupakan perumusan dari ciri-ciri arsitektur yang ada di kawasan mediterania yaitu mulai dari Al hambra, Granada, Spanyol di Barat sampai ke Istambul, Turki di Timur terutama dari arsitektur mesjid yang beragam bentuknya di kawasan ini. Dan Corbu berhasil menarik benang merah dari kesamaan yang ada, yaitu bentuk jendela yang lebar, tiang-tiang dan ruang terbuka atau taman di dalam bangunan.

Baik Corbu maupun para kritikus di bidang arsitektur tidak berani mempopulerkan terminologi Arsitektur Bergaya Mediterania, tetapi di Indonesia terminologi ini menjadi kemasan mujarab bagi para pengembang dalam memasarkan barang dagangannya. Arsitektur dijadikan semacam alat pemberi status ukuran kekayaan materi, termasuk dengan kemasan Arsitektur Bergaya Mediterania.

Ukuran-ukuran ilmiah telah diabaikan dalam kondisi kapitalisme disegala bidang di masyarakat saat ini. Para arsitek yang terlibat dalam melahirkan desain-desain semacam ini, yang kebanyakan terlibat dengan pengembang telah menenggelamkan identitas diri dan melahirkan karya arsitektur yang anonimitas, yang pada akhirnya diberi label Arsitektur Bergaya Mediterania.

Realitas sosial pemukiman yang ada dalam iklim konsumerisme telah menjadikan arsitektur sebagai ukuran keberhasilan dalam mengumpulkan kekayaan materi, sehingga arsitektur diposisikan sebagai alat pemuas sensual semata. Ini ditangkap oleh sebagian besar pengembang yang berorientasi hedonisme arsitektur dimana desain arsitektur dibebaskan dari kewajiban-kewajiban pengujian ilmiah dan tanggung jawab sosial, yang penting masyarakat menyukainya.

Fenomena Arsitektur bergaya Mediterania ini muncul seiring pertumbuhan proyek-proyek perumahan dan apartemen di Indonesia periode 1990-an. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh munculnya perumahan-perumahan di sepanjang pantai Teluk San Fransisco ( seperti di Brentwood, Napa Valley, Baverly Hills, Malibu, Hollywood Hills dan Sausalito), California, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an.

Penampilan arsitektur di California ini kebayakan berwujud sama dan memiliki kemiripan dengan bentuk-bentuk rumah di kawasan Mediterania yang secara geografis dan topografis memang mirip dengan kawasan Mediterania, walaupun secara konseptual tidak begitu jelas. Bentuk-bentuk bangunan berarsitektur seperti ini sampai ke Indonesia melalui film-film dan acara-acara di televise yang kebanyakan produksi Amerika Serikat dan diproduksi dikawasan ini dimana dalam kehidupan orang sekarang dalam mengatur tingkah laku dan sikap hidup selalu merujuk pada televisi, termasuk dalam menentukan bentuk rumah yang ingin dimiliki.

Padahal perwujudan arsitektur bangunan-bangunan rumah tinggal di California tersebut juga sudah bercampur-baur segala macam gaya arsitektur antara bentuk rumah-rumah di kawasan Mediterania, model Spanyolan sampai yang bergaya Post-Modern. Diantaranya yang sangat gigantik yaitu bangunan The Team Disney Building karya arsitek Michael Graves yang bergaya Post-Modern. Yang terjadi di Indonesia adalah pentransformasian bentuk-bentuk kulit luar tersebut melalui cara penjiplakan dan peniruan secara absurd dan dikatakan sebagai Arsitektur Bergaya Mediterania.

Pada dasarnya wajah arsitektur di Indonesia saat ini didominasi oleh wajah arsitektur kota pada proyek-proyek perumahan dan apartemen yang ditangani oleh pengembang pengusaha. Arsitektur yang muncul merupakan hasil aliansi kekuasaan para pengusaha dan birokrat dalam semangat hedonis kaum elit, melalui iklan penawaran-penawaran desain yang dapat memberi kepuasan sensual dan bisa menarik perhatian khalayak.

Hal ini terjadi sebagaimana di negara berkembang lainnya karena tidak seimbangnya percepatan perkembangan arsitektur didunia yang didominasi oleh Amerika Serikat dengan kemampuan masyarakat kita dalam memahami arsitektur, baik didalam lingkungan masyarakat awam maupun dalam lingkungan masyarakat akademis arsitektur sendiri.

Dalam terminologi Arsitektur Bergaya Mediterania, kemiripan tropis semata dijadikan dasar untuk menghadirkan arsitektur asing, padahal secara konseptual tidak menghasilkan gagasan-gagasan baru baik tentang 'ruang' maupun 'lingkungan'. Yang tampil hanyalah sekedar arsitektur yang pesolek pada perwajahannya dan sulit dipertanggung jawabkan secara historikal maupun kultural. Inilah hasil dari karakter-karakter yang dibangun atas orientasi konsumerisme, epikurisme, hedonisme, elitisme dan westernisme semata, sehingga yang terjadi adalah dramaturgi pelecehan arsitektur. (TEMPO)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Seorang "Andi Siswanto" Penyelamat Kota Lama

Nama Andi Siswanto identik dengan Kota Lama Semarang. Dibenak masyarakat Kota Lumpia itu, pria kelahiran Wonosobo, 5 November 1954 ini adalah salah satu sosok penyelamat kawasan bersejarah Kota Lama yang kondisinya sekarat. Andi mulai menggarap Kota Lama, pusat Kota Semarang yang menjadi sentra perdagangan di masa silam, dari 1997 hingga 2002.

Ia melihat Kota Lama ibarat kota yang ditinggal penghuninya. Orang tidak berani lagi membangun di sana. Pemiliknya banyak yang keluar dari kawasan itu dan membangun lagi di tempat baru. Setelah proyek konservasi itu dirampungkan, kini para pemiliknya mulai kembali berdatangan dan tinggal di sana. "Dulu mereka tidak menghargai bahwa bangunan itu penting dan bersejarah. Kini mereka sudah merasa cinta dengan bangunan kolonial," katanya.

Bagi Andi, Kota Lama adalah proyek spesial. Minatnya di bidang konservasi, desain dan pembangunan kota terpuaskan di proyek ini. Karena itu, pekerjaan ini dilakukannya dengan cermat, teliti dan penuh semangat. Tak mudah membangun kembali kota tua. Apalagi, saat itu sudah ada rencana tata kota Semarang bahwa bangunan tua di Kota Lama harus mundur beberapa meter.

Andi semakin tertantang. Ia berupaya keras mengegolkan proyek ini. Yang dramatis, menurut pengakuan Andi, sejak proyek ini digodok hingga 1995, tak satu investor pun yang berminat menanamkan investasi di kawasan peninggalan penjajah Belanda itu. Sementara itu, infrastrukturnya rusak berat. Banjir bertubi-tubi telah mengoyak permukaan Kota Lama. Ruang-ruang kota terkesan kusam dan tak berarti. "Tapi justru saya terinspirasi untuk memulai dari sana," katanya.

Andi mulai bekerja dengan cara menyakinkan para pemilik rumah bahwa kawasan akan menjadi lebih indah bila ditata kembali. Andi bicara panjang lebar hingga akhirnya membuat Yayasan Kota Lama. Andi juga melobi pemerintah daerah bahwa Kota Lama adalah aset kota yang harus diselamatkan. "Anda bisa bayangkan, apakah kita bisa membangun kembali puluhan gedung dengan nilai sekarang yang harganya miliaran rupiah seperti Gereja Blenduk, Gedung Jiwa Sraya dan lainnya?" ujar Andi.

Kota, termasuk Kota Lama, bagi Andi adalah museum berskala 1:1. Jika ingin mendidik bangsa Indonesia, maka kita harus tahu sejarahnya. Dan sejarah itu bisa dilihat, diraba dan dirasakan dalam skala 1:1 di dalam sebuah kota, seperti halnya Kota Lama. Untuk itu, Andi membuat plan berupa bangunan yang ditata kembali sesuai aslinya, seperti ruang kota dan bentuk jalannya.
Paradoc plan-nya yang dikembalikan, dinding gedung dikembalikan sebagaimana aslinya dulu.

"Konsep ruangnya adalah sosial space yang membuat orang bisa memegang gedung, menikmati gedung, bersandar dan sebagainya. Lain dengan di Jalan Thamrin Jakarta, misalnya. Baru masuk saja kita sudah dibatasi pagar, trotoar, ini dan itu. Berbeda dengan Gereja Blenduk. Anda bisa bersahabat dengan gereja, Anda bisa menyentuh, boleh melihat detailnya, foto-foto dan lain-lain," jelas Andi.

Sebagai arsitek yang menggemari bidang urban design, Andi banyak menelurkan karya tata kota. Salah satunya adalah konservasi pemukiman kumuh Bandarharjo Semarang yang digarap pada 1994. Di kawasan kumuh itu Andi mengembangkan konsep pengembangan sosial, ekonomi dan pendidikan. Permukimannya dibuat bervariasi, teduh, nyaman dan mendorong efektifitas rumah. Penggarapannya diakui Andi cukup berat, apalagi kawasan itu merupakan daerah tergenang. Tanahnya jelek sekali karena bekas rawa.

Andi dan tim memperbaikinya dan membuat halte, jalan-jalan dan sanitasi. Kini Bandarharjo merupakan salah satu kawasan yang mendapatkan penghargaan Dubai Award, sebuah penghargaan terbaik di bidang pemukiman dunia yang disponsori PBB.

Karya lain yang cukup menarik adalah desain sekolah SMA Karangturi Semarang, yang dirampungkan pada 1992. Menurut Andi, bangunan SMA di Indonesia umumnya terlalu standar dan menggunakan pedoman-pedoman yang sangat mengikat. Padahal, sebuah sekolah seharusnya tempat terjadinya pembentukan watak, memberikan kesempatan bahwa sekolah itu rumah kedua, bukan tempat murid berkewajiban sekolah. Sekolah adalah rumah kedua untuk menimba ilmu. Karena itu bentuk dan desainnya harus menarik dan fungsional.

Makanya, dalam perencanan sekolah itu, Andi membuat desain lengkap dengan perpustakaan yang tidak sekedar ruang tempat pinjam buku terus lari, tapi bisa baca, bermain, kantin yang bagus, dan ada tempat olahraga. "Site-nya sempit, tapi saya buat agar bisa menampung semua kegiatan," katanya.

Selain menggarap Semarang, Andi juga banyak menggarap proyek kota di beberapa kawasan lain di Indonesia. Di Batam misalnya, ia adalah arsitek Pasar Rakyat di Nagoya. Di Balikpapan, ia turut mengembangkan pembangunan kota bagian barat. Di Pekanbaru, karyanya antara lain penataan dan pemberdayaan masyarakat Kawasan Sungai Siak. Ia juga terlibat dalam Rencana Pembangunan Kota Baru dan Kawasan di Tarakan, Rekonstruksi Taman Ujung Karang Asem, Bali, Revitalisasi Kawasan Bersejarah Tenggarong, Kutai, Pusat Pemerintahan Baru, Bontang, Desain Kota Baru di Cengkareng, Jakarta, Kemayoran Office Towers, Apartment and Commercial Development, Jakarta, Rencana dan Program Revitalisasi Kawasan Lama di Indonesia dengan Pendekatan Ekonomi Lokal.

Andi Siswanto mulai mengenyam pendidikan arsitektur di :
1. STSRI-Asri,
2. Universitas Gadjah Mada (UGM), lalu melanjutkan
3. Pendidikan di Urban History & Design-Oxford Politechnic Master of Science in Urban & Regional Planning (MSc, University of Wisconsin, Madison),
4. Master of Architecture (M. Arch, University of Wisconsin, Milwaukee), dan
5. PhD in Housing & Urbanism (Architectural Association Graduate School, London).

Aktifitas internationalnya, antara lain :
1. Konsultan ADB untuk Neighbourhood Upgrading and Shelter Sector Project (2002-2003),
2. Konsultan dan Partner untuk UNCHS/Urban Management Program-Asia (2002-2003), Memberi saran untuk konservasi kawasan bersejarah "Old Hanoi" (Goethe Institute/Hanoi Municipality, November 2002). Ia juga memberi saran untuk manajemen konservasi World Heritage kota Hoi An dan
3. Rekonstruksi World Heritage "candi" Mai Son (Unesco/Central Government of Vietnam, 2001), memberi saran pemecahan "development vs conservation" untuk kasus Acheen Street, Penang, Malaysia (Badan Warisan Malaysia-Unesco, 2002).

Sebagai arsitek, Andi mengaku mendalami aliran regionalisme dan neo modernisme. Modernisme, kata Andi, merupakan reaksi dari neo klasik, tradisonalisme dan lainnya. Eksperimen dari modernisme ini sangat menarik dan menghadirkan sesuatu yang indah seperti di Belanda dan Jerman. "Modernism sebenarnya mencoba mencari idiom-idiom dan teknik desain baru yang cocok dengan masyarakat modern," katanya. (TEMPO)