Senin, 11 April 2011

Mendalami Bali di Pedalaman Bali.....

Desa Tenganan Pengrisingan, Bali

Taman Tirtagangga, Karangasem, Bali

Taman Ujung Soekada, Karangasem, Bali

KOMPAS.com - Awal Desember 2010 adalah waktu yang tepat bagi saya untuk pergi mendalami Pulau Bali, dikarenakan belum masuknya peak season, namun sudah cukup ramai juga sih sebetulnya terutama turis mancanegara yang biasanya cukup lama tinggal di beberapa daerah di Bali. Jadi bisa dibilang cukup ramai, namun tidak terlalu bila dibandingkan dengan akhir bulan Desember sampai dengan awal bulan Januari.

Saya sebenarnya cukup sering liburan ke Bali. Dalam kurun waktu 1 tahun, pasti ada saja saya niatkan untuk kembali mereguk keindahan dan kedamaian di pulau tersebut. Saya pergi dengan teman saya. Kami cukup gandrung dengan traveling ala backpacker. Kami memutuskan untuk tinggal di Bali selama kurang lebih 8 hari, 7 malam, cukup lama memang, tapi tentu saja tidak disatu daerah di Bali saja kita habiskan waktu, salah satunya di Kabupaten Karangasem.

Kabupaten Karangasem berada di belahan timur Pulau Bali. Ternyata setelah saya browsing (sebelum saya memutuskan untuk menyambangi tempat ini) ada banyak sekali tempat – tempat pariwisata yang tidak kalah indahnya dari tempat pariwisata di daerah Kuta, Denpasar, Ubud. Namun bagi saya, setiap daerah pasti mempunyai ciri khas yang berbeda dari setiap daerah, begitupun Karangasem. Di kabupaten ini ada beberapa tempat yang saya akan ceritakan; Taman Soekada Ujung (Water Palace), Taman Tirtagangga, dan Desa Tenganan Pengrisingan.

Saya memutuskan untuk menyewa mobil untuk mencapai Karangasem, dikarenakan jarak yang cukup jauh dan memakan waktu kurang lebih 2 – 3 jam dari kota Denpasar. Saya menyewa Karimun Estillo, selain saya hanya pergi berdua dan juga mobil ini sangat irit bahan bakar. Jadi menurut saya inilah mobil yang pas untuk menemani kami mendalami Karangasem.

Saya berangkat dari Kota Denpasar pukul 11,00 WITA dan tiba di Kabubaten Karangasem kira-kira pukul 3 siang WITA, sebelumnya saya makan siang di Pantai Sanur, karena Pantai Sanur salah satu rute yang searah menuju Kabupaten Karangasem. Kami makan di Warung makan Mak Beng, konon warung ini sangat terkenal akan kelezatan sop ikan laut dan ikan gorengnya.

Begitupun yang pernah makan di warung inipun banyak orang-orang terkenalnya lho. Terlihat dari foto – foto yang dipajang oleh pemilik warung. Setiap pergi ke Bali, rasanya tidak sah kalau tidak mampir ke Warung Makan Mak Beng. Letaknya di pintu masuk Pantai Sanur, tanya saja tukang parkir, mereka pasti tahu. Lalu setelah perut penuh terisi ikan laut, perjalanan lanjut dengan rute yang lumayan jauh namun rute yang dilalui cukup mudah, apalagi pemandangan yang disuguhkan selama perjalanan sangat indah.

Pura Goa Lawah
Setibanya kami di Karangasem, kami memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu, supaya kami bisa bertanya dengan orang lokal sekitar tentang rute – rute yang akan saya lalui untuk menuju tempat – tempat pariwisata esok hari. Namun sebelumnya, saya sempat berhenti di sebuah pura yang terletak di desa Pesinggahan, kecamatan Dawan, Klungkung. Pura Goa Lawah atau Pura Goa Kelelawar merupakan Pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut.

Saya tertarik untuk mengabadikan beberapa moment dari kegiatan di goa tersebut. Dan benar saja, didalam komplek pura tersebut banyak orang sedang bersembahyang maupun yang sedang menyiapkan sesajen untuk sembahyang. Ada juga lho turis mancanegara yang ikut bersembahyang. Sebelumnya ketika dipintu masuk, kami di haruskan memakai kain, dan untuk wanita yang sedang haid atau datang bulan tidak diperbolehkan memasuki area pura untuk menjaga kesucian tempat ibadah. Untuk biaya masuk per orang dikenakan Rp 6,000.

Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.

Setelah puas mendapat sedikit cerita mengenai sejarah Goa Lawah dan tentu saja gambar – gambar menarik yang saya sudah abadikan dalam kamera digital saya, maka kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan didaerah Candi Dasa. Penginapan kami cukup sederhana namun sangat asri dan tentu saja bersih, dengan harga Rp 125,000 per malam, kami menginap 2 hari 1 malam.

Tadinya kita mau kamar yang menghadap langsung kelaut, karena penginapan ini memang mempunyai fasilitas sea view, namun karena full book, jadi ya kami harus puas dengan kamar yang ada. Dengan di pandu oleh pegawai penginapan, kami melalui jalan setapak berbatu untuk menuju kamar kami. Kami cukup puas dengan fasilitas dan kebersihan penginapan kami. Setelah sebentar melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat – tempat wisata, karena waktu sudah sore, kami memutuskan untuk mendatangi satu tempat wisata saja yakni Taman Tirtagangga

Taman Tirtagangga
Terletak di Desa Abang, Kecamatan Abang hanya 6 km sebelah Utara Amlapura. Tirtagangga didirikan pada tahun 1948 oleh Raja Karangasem terakhir yang digunakan sebagai tempat istirahat keluarga raja. Arsitekturnya merupakan panduan antara Eropa, Cina dan arsitektur tradisional Bali. Dikelilingi oleh panorama yang sangat indah membuat Tirtagangga merupakan tujuan yang sangat penting untuk dikunjungi.

Arsitektur taman peninggalan Raja Karangasem ini sangat indah untuk dijadikan obyek foto landscape. Oya karena sejarahnya taman ini adalah tempat pemandian para putri-putri raja, jadi para wisatawan pun diperbolehkan untuk mandi dan berenang di kolam pemandian. Sayangnya, saya tidak membawa perlengkapan mandi jadi saya tidak bisa menikmati sejuknya air yang langsung dari pegunungan tersebut.

Akhirnya waktu makan malam tiba. Kami makan disalah satu restoran di Jl. Raya Candi Dasa, yang letaknya hanya kurang lebih 500 meter dari penginapan kami. Restoran ini menyuguhkan tarian Legong ketika kita sedang menyantap makan malam. Sayangnya, kebanyakan restoran di Candi Dasa ini menawarkan menu internasional, mungkin karena kebanyakan yang menyambangi tempat ini adalah turis mancanegara yang menginginkan suasana berbeda dari sisi lain pulau Bali.

Hari kedua di Kabupaten Karangasem saya memulai hari dengan menikmati sarapan dengan pemandangan laut dari penginapan. Pemandangan yang jarang sekali akan saya temukan di Jakarta. Setelah sarapan kami memutuskan untuk sekalian check out dari penginapan, karena kami akan mendatangi 2 tempat wisata, dan akan langsung kembali ke Denpasar, lalu setelah semua administrasi beres kami mulai memacu Karimun Estillo sewaan menuju tempat wisata pertama di hari kedua, Taman Soekada Ujung.

Taman Ujung Soekada
Atau Taman Ujung didirikan tahun 1919 oleh Raja Karangasem terakhir,I Gusti Bagus Jelantik, terletak di Desa Tumbu, yang waktu itu digunakan sebagai tempat perisitirahatan Raja Karangasem. Taman Ujung dibangun untuk menyambut dan melayani tamu – tamu penting dan raja – raja dari negara tetangga, disamping sebagi tempat untuk raja dan keluarga kerajaan. Karena keindahannya Taman Ujung di sebut sebagai "Istana Air".

Konstruksi arsitektur Taman Ujung memiliki kemiripan dengan Taman Air Tirtagangga dan Puri Agung Karangasem. Yang membedakan Taman Ujung dengan Taman Tirtagangga adalah luas taman dan tempat tinggal Raja pada saat itu. Kamar – kamar di Taman Ujung yang ditempati oleh keluarga besar Raja Karangasem berasitektur Bali-Eropa. Namun tentu saja keindahan di taman ini tidak kalah indah dengan Taman Tirtagangga, bahkan kalau boleh saya bilang, Taman Ujung ini sangat indah sekali pemandangannya. Ada satu tempat tertinggi di taman ini yang asumsi saya adalah tempat Raja untuk bertemu dengan

para rakyatnya, dimana kita harus menaiki anak tangga kurang lebih 150 anak tangga untuk menuju tempat tersebut, dari tempat tinggi ini kita bisa melihat pemandangan laut yang mengagumkan dengan hutan yang menghijau, keindahan Gunung Agung yang dikombinasikan dengan persawahan yang hijau. Setelah puas mendokumentasikan bangunan-bangunan bersejarah di Taman Ujung, saya melanjutkan perjalanan saya ke sebuah desa yang terletak sekitar 5 Km sebelah Utara Candidasa.

Desa Tenganan Pengrisingan Tenganan
adalah Desa Bali Asli yang dikenal sebagai Bali Age. Terletak sekitar 5 Km sebelah Utara Candidasa. Tenganan sangat terkenal dengan budaya dan adat istiadat tradisional Bali. Ritual keagamaan berdasarkan kalendar yang merka susun sendiri dan berbeda dengan kebanyakan masyarakat Bali lainnya. Desa ini juga merupakan tempat satu-satunya dimana orang akan menjumpai kain yang disebut sebagai Ikat Gringsing yang proses pewarnaanya menggunakan warna tradisonal.

Sayangnya ketika saya datang, mereka sedang tidak memproses kain – kain tersebut, kami hanya melihat hasil dari tenunan dan pewarnaan tradisional. Namun kami masih banyak melihat keragaman budaya Bali yang masih asli di desa ini. Seperti seorang Bapak setengah baya yang terus menerus memainkan alat musik tradisional Bali, beliaupun memperihatkan hasil karya alat musiknya kepada kami, ternyata tidak hanya itu, di dalam rumahnya yang kami fikir kecil dan sempit, ternyata ketika kita masuk lebih dalam disana ada banyak hasil – hasil kain batik Bali yang jumlahnya puluhan.

Kami sekilas dijelaskan bagaimana mereka membatik dengan gaya tradisional Bali dan juga motif – motif yang beragam, seperti contohnya ada kain batik yang motifnya bercerita tentang cerita Ramayana. Tidak hanya itu, setelah saya keluar dari rumah Bapak pemain musik tadi (saya lupa menyanyakan siapa namanya) saya melihat remaja yang sedang melukis.

Uniknya mereka melukis diatas daun lontar dan tidak menggunakan pinsil, atau alat tulis pada lazimnya, melainkan menggunakan mata cutter, lalu goresan dari mata cutter tersebut yang sudah di goreskan diatas daun di oles kluwek, bahan untuk memasak rawon yang hitam dengan tangan dan hasil akhirnya timbulah goresan – goresan dari mata cutter tadi. Kerajinan yang sangat unik bagi saya. Saya beli lho salah satu karya dari mereka, walaupun bukan yang besar ukurannya, karena cukup mahal juga harga lukisan tersebut.

Arsitektur dilingkungan ini masih sangat asli, rumah – rumahnya hanya terlihat pintu untuk muat satu orang saja, tetapi jika kita sudah masuk kedalam, luasnya bisa tidak terkira. Tanah didesa ini juga berbentuk terasering, jadi perjalanan kami naik turun seperti mendaki bukit. Oya, ada satu keunikan lagi di desa ini. Umumnya jika kita memelihara hewan kerbau, mereka berada didalam kandang, namun tidak didesa ini. Kerbau-kerbau tersebut dibiarkan di halaman rumah mereka, dan saya lihat anak-anak yang tinggal didaerah tersebut kerap kali bermain-main dengan kerbau-kerbau ini. Mereka menungganginya tanpa rasa takut sedikitpun.

Untuk masuk ke desa ini akan ditarik biaya secara sukarela, seikhlasnya saja. Mungkin untuk kepentingan pembangunan desa.

Hari sudah beranjak sore, lalu kamipun kembali ke Denpasar. Sekali lagi menikmati udara yang sejuk yang jarang kami dapatkan di Jakarta, kami memutuskan tidak memakai AC selama perjalanan. Sebenarnya masih banyak lagi tempat-tempat wisata di Karangasem, namun kami berpacu dengan waktu, tapi kami cukup puas dengan perjalan kali ini ke Karangasem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA