Senin, 30 Agustus 2010

GREKO-ROMAN, Teori Arsitektur Yang Muncul Sepanjang Zaman

Oleh: Krisen S. Emha
Selain ruang, bentuk dan fungsi berupa pendekatan metafisika dalam arsitektur teori arsitektur yang abadi dan muncul sepanjang zaman dalam konteks seni bangunan adalah Klasikisme Arsitektur.

Membicarakan Klasikisme Arsitektur berarti membicarakan Historism dalam arsitektur yang terjadi di daratan Eropa pada beberapa putaran zaman, yaitu dari zaman Yunani dan Romawi.

Sempat tenggelam pada abad pertengahan yaitu zaman mulai jatuhnya kekaisaran Romawi Bagian Barat tahun 476 M sampai direbutnya Constantinopel (Istambul) oleh bangsa Turki tahun 1453 M, sepuluh abad yang memisahkan Zaman Kuno dengan Zaman Dunia Baru dengan dimulainya pelayaran menemukan dunia baru dan ditemukannya Benua Amerika oleh Christopher Columbus tahun 1492. Kemudian kembali muncul setelah perang Italia dengan kelahiran Gerakan Renaissance gerakan kembali kesenian-budaya Yunani dan Romawi pada abad 15 dan 16 yang bermula di Italia, kemudian ke seluruh daratan Eropa.

Sejatinya sebelum Renaissance, pada tahun 1334 Arsitektur telah dikatakan sebagai "Ibu dari Seni" dan telah muncul tokoh Renaissance pertama di bidang arsitektur yaitu Filippo Bruno leschi (1377-1446) seorang arsitek, pelukis, pematung, ahli teknik dan ahli matematika. Tahun 1413 Brunoleschi menemukan teknik penggambaran perspektif di Florece yang diterapkan pada desain 'Florence Katedral' (Santa Maria del Fiore) dengan bentuk kubah yang sangat kental dengan sentuhan Renaissance dan Gothic.

Dasar Klasikisme Arsitektur ini juga telah dirumuskan oleh Marcus Vitrivius Pollio pada abad pertama sebelum masehi. Karya asli yang berjudul 'De Architettura Libri Dacem' ini pernah hilang. Pada tahun 1414 Pagio Bracciolini menemukan manuskrip asli Vitrivius ini di perpustakaan Saint Gall Monestry. Oleh Bracciolini temuan manuskrip ini diserahkan kepada Leone Batista Alberti, seorang arsitek, ahli sastra dan budaya klasik Yunani. Pada tahun 1485 Alberti menerbitkan kitab yang berdasarkan karya Vitrivius itu dengan judul De Re Aedificatoria (Masalah tentang arsitektur) sebagai karya posthumous di Florence.

Leone Batista Alberti merumuskan bahwa arsitektur Greko-Roman itu terdiri dari bentuk dasar, berpediment, bentuk lengkung, kubah dan kolom-kolom. Salah satu karya arsitektur dari Alberti adalah Gerja St. Andrea di Mantua, Italia, tahun 1472. Pada tahun 1564 Giocomo Barozi di Vignola mengembangkan pengetahuan ini.

Kitab Leone Batista Alberti ini sangat popular ketika Andrea Palladio (1508-1580) mengembangkan isinya pada tahun 1570 di Vicenza yang berjudul 'Quattro Libri di Architectura' yang terdiri dari 4 buku. Pada abad XVII gaya arsitektur yang terinspirasi dari karya Andrea Palladio (1508-1580) ini popular di Inggris yang dikembangkan oleh arsitek Inggris kawakan, Inigo Jones (1573-1652) yang pernah belajar pada Palladio, kemudian di Amerika sehingga dikatakan sebagai aliran Palladianism.

Salah seorang murid Palladio, Vicenzo Scamozzi (1552-1616) mengembangkan ajaran Palladio tersebut dalam bukunya 'Idea de l'Architectura Universale' tahun 1615. Ajaran ini juga merujuk kepada tulisan Giorgio Vasari Le Vite de'piu eccelenti Architetti, Pittori, et Scultori Italiani (Lives of the Painters, Sculptors and Architects) yang terbit tahun 1550. Vasari dikenal sebagai teman dekat dari Leonardo da vinci.

Dalam tulisan Vasari ini juga diungkapkan tentang lukisan Mona Lisa yang monumental. Lukisan ini diselesaikan oleh Leonardo da Vinci selama 4 tahun (1503-1507) yang merupakan pesanan. Mona Lisa adalah istri dari Florentine Francesco del Giocondo. Leonardo da Vinci mengatakan bahwa lukisannya tersebut belum selesai sebagaimana dengan banyak lukisan dia lainnya dan dia membawanya ke Perancis dan dibeli oleh Francis I untuk dipajang di Louvre.

Menurut Vitrivius ada tiga unsur yang merupakan faktor dasar dalam arsitektur yaitu strength (kekuatan), beauty (keindahan) dan convenience (kenyamanan) yang akan mempengaruhi efek estetis dalam seni bangunan. Vitrivius juga merumuskan kembali prinsip-prinsip proporsi, komposisi dan presisi dari zaman yunani kuno yang disebut Entasis.

Sumber inspirasi utama Vitrivius adalah ornamen-ornamen arsitektur pada bangunan-bangunan zaman Yunani Purba yang banyak dibangun pada masa kepemimpinan Kaisar Pericles (495-429 SM) di Athena dari Dinasty Hellenislic.

Ciri-ciri yang menonjol secara fisik dari teori arsitektur klasikisme ini adalah berupa ornamen-ornamen yang terdapat pada kolom-kolom pada bangunan. Dimana bentuk kolom-kolom tersebut dalam arsitektur disebut sebagai Orde. Ada lima Orde dalam arsitektur yang dikenal sampai sekarang yaitu, Tuscan, Doric, Ionic, Corinthian dan Composit. Orde Tuscan, berasal dari kuil-kuil Etruscan yang merupakan bentuk paling primitif dari ornamen kolom.

Orde Doric, berasal dari kelompok suku bangsa Doria (turunan Italia dan Sisilia), bentuk dari orde doria keliatan kokoh, kuat, sebagai lambang kekuasaan. Orde Ionoc, berasal dari suku bangsa Ionia (Turunan Asia Kecil). Orde Korinthian, merupakan hasil ambisi dari kaum aristokrat kota Korhintia yang kaya dan makmur pada abad 5 SM. Orde Komposit, merupakan perpaduan dari Orde Korhintian dan Ionic sehingga keliatan lebih mewah dan anggun.

Pemakaian orde-orde inilah yang merupakan ciri utama bangunan bergaya Greko-Roman yang selalu muncul sepanjang zaman bahkan sampai kini, dan ini bisa dilihat dari perjalanan perkembangan arsitektur dari zaman ke zaman dari situs-situs arsitektur yang masih ada sampai sekarang. Walaupun diselingi oleh kemunculan Gaya Gothic, Romanesque, Victorian, Moderns sampai Gaya Deconstruction (1989), tapi daya tarik Greko-Roman ini selalu muncul kembali dan hampir melanda seluruh permukaan bumi. Sehingga pengaruh Greko-Roman ini dikatakan sebagai 'Teori Historism dalam Arsitektur'.

Istilah Greko-Roman lahir pertama kali atas kesepakatan kongres para arkeolog di Caen, Perancis tahun 1825 dengan sebutan 'Grieken Romaneschestijl'. Pengaruh terakhir dari Greko-Roman ini terhadap perkembangan gaya-gaya arsitektur terjadi pada periode Gaya Postmodern dalam arsitektur, sehingga sering juga disebut sebagai 'Postmodern-Classicism Architecture'.

Beberapa bangunan terkenal sepanjang masa yang banyak memakai orde-orde ini antara lain; Colloseum dan Pantheon di Roma, Mesjid Sulaymanae di Istambul Turki, Le Lovre di Paris. St, Peter's di Roma, Bahkan Gedung Putih di Washington dan tak ketinggalan Istana Negara di Jakarta. Greko-Roman dengan tampilan orde-orde ini adalah ornamen arsitektur yang tidak mengenal batas-batas kultural dan menembus zaman. Mulai dari bangunan Keagamaan, Istana Pemerintahan, bahkan sampai kerumah-rumah penduduk di pelosok.

Di Indonesia, pengaruh Greko-Roman terjadi pada pertengahan Abad XVII dimana mulai dibangunnya rumah-rumah mewah dan besar (Landhuizen) milik para pejabat tinggi VOC. Arsitektur rumah-rumah tersebut berbentuk bangunan Indhies dengan pemakaian kolom-kolom berorde pada fasade bangunan.

Ada beberapa bangunan peninggalan colonial ini yang masih terlihat sampai sekarang yang umumnya memakai kolom-kolom berorde dorik antara lain; Istana Merdeka merupakan bekas Istana Gubernur Jenderal di Riswijk, Gedung Juang 45, Istana Bogor, Klenteng Sentiong, Gedung Pancasila, Museum Nasional (Museum Gajah), dan juga di beberapa kota besar lainnya di Indonesia.

Sedangkan yang berornamen kolom orde komposit yang merupakan gabungan dari orde korhintian dan ionic dapat dilihat pada kolom-kolom bangunan Keraton, seperti pada Gedung Agung Yogyakarta, Gedung Pagelaran Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Ornamen pada kolom-kolom jati ini terbuat dari besi cor dan dibawa lansung dari jerman yang merupakan produksi dari pabrik Kupp.

Pengaruh Greko-Roman dalam arsitektur ini tidak mengenal batas-batas golongan masyarakat dan sangat bersifat egaliter dan menembus segala zaman. Mulai dari bangunan-bangunan Negara,istana, bangunan keagamaan bahkan pada rumah-rumah penduduk yang terdapat digang-gang sempit. Inilah peradaban manusia pertama yang sangat mendunia, jauh sebelum era blue-jeans, Coca-cola dan Mc-Donald!. (TEMPO)

Slamet Wirasonjaya "Dari Monas Memotret Masa"

Dia arsitek yang juga dosen ITB. Karyanya umumnya berbentuk plastis, dan kebanyakan bangunan publik a.l. Bandung Islamic Center, Sasana Budaya Ganesha (Gedung Konvensi Termegah di Bandung), Monumen Yogya kembali, dll. Ditilik dari karya-karyanya itu, kita bisa katakan bila Slamet Wirasonjaya adalah arsitek spesialis gedung publik.

Studio arsitek di jalan Dipatiukur, Bandung, itu lebih tepat disebut sebuah bengkel, karena kondisinya yang tampak kumal. Kesan itu tercermin dari cat yang sepertinya tidak pernah dipoles ulang selama beberapa tahun. Isi dalam ruang berukuran 7 x 10 meter itu pun tergolong sederhana, yakni tiga unit komputer, satu buah mesin printer, dan sembilan meja gambar. Di sudut ruang bertebaran masterplan bangunan dan tumpukan kertas-kertas. Yang unik, dari sembilan meja gambar itu, empat unit diantaranya adalah model lawas, buatan tahun 1950-an. Mereknya Libra dan Kuhlmann.

Alhasil, kesan tua dan tak terurus itu semakin kuat. Tapi bila kita tahu siapa pemiliknya, bayangan bengkel yang suram itu akan berubah menjadi sebuah pemandangan yang patut dibingkai di dalam format sejarah. Betul. Profesor Slamet Wirasonjaya, pemilik studio arsitek itu, adalah pria yang banyak melahirkan bangunan legendaris di Indonesia. Ia termasuk arsitek yang merancang desain Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta, serta Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat dan Sasana Budaya Ganesha keduanya di Bandung.

Sejumlah masjid berdesain unik pernah pula lahir di atas meja-meja gambar itu, diantaranya Masjid Islamic Center di Bandung, Masjid Agung di Tasikmalaya dan Masjid Agung di Tangerang. Ditilik dari karyanya, Slamet memang lebih getol merancang bangunan publik, ketimbang membangun rumah, misalnya. “Meski tidak mengkhususkan diri,” kata arsitek kelahiran 25 November 1935, yang mengaku selalu kehabisan ide jika bekerja dalam suasana formal.

Arsitektur ruang publik memang selalu menjadi sebuah angan-angan yang ingin diwujudkan menjadi sebuah bangunan bagi seorang Slamet. Ruang publik sepertinya memberi makna yang berbeda dibanding, misalnya, merancang sebuah gedung perkantoran. Menurutnya, ruang publik adalah tempat yang dapat dinikmati orang banyak. Rakyat tanpa batasan sosial bisa menikmatinya secara bersama-sama. Sampai hari ini misalnya, Monas masih menjadi tempat yang sip bagi arena kumpul-kumpul warga Jakarta.

Berangkat dari filosofi itu, Slamet membagi resep keberhasilannya dalam merancang ruang publik, sebuah karya yang dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat banyak. Katanya, karena ruang publik dirancang untuk kebersamaan, maka merancangnya pun harus dilakukan secara “bersama-sama” pula. Artinya, sebuah ruang publik harus selaras dengan kondisi sekitarnya. Ruang publik harus muncul berdasarkan realitas di sekitar lokasi.

Ia punya pengalaman bagus soal ini. Suatu hari, ia mengamati sebuah air mancur yang megah di tengah kota. Di kolam itu, tampak beberapa anak berenang dan bermain air dengan riangnya. Sementara itu, ibu-ibu mencuci baju dengan memanfaatkan percikan airnya yang deras. Ia juga melihat beberapa tukang becak mencuci kayuhannya, juga dari air mancur itu. Ditilik dari pengalaman itu, kisah yang dituturkan Slamet mengingatkan kita pada air mancur di depan stasiun Beos, Jakarta, yang beberapa tahun lalu memang selalu menjadi arena bermain bagi anak-anak kampung yang tinggal di sekitarnya.

Tapi yang dipersoalkan Slamet bukan mengenai lokasi air mancur itu, tapi soal kebersamaan ruang publik itu dengan lingkungannya, kebersamaannya dengan kenyataan. Membangun air mancur di tengah masyarakat yang kesulitan air, akan menghasilkan pemandangan yang jauh panggang dari api. Maunya memperindah suasana, tapi hasilnya malah sekumpulan anak yang berenang di kolam kota. Karena itu, kalau masih banyak orang yang kesulitan air di tempat itu, ya jangan membuat air mancur di sana. “Karya arsitektur harus mempunyai fungsi yang kuat bagi kebutuhan lingkungannya,” katanya.

Slamet mengaku memperoleh resep kebersamaan itu, antara lain melalui pengalamannya mengamati arsitektur bangunan publik abad pertengahan, seperti jaman Renaisance dan Barok. Bentuknya sangat sederhana, tapi hasilnya luar biasa. Ia mencontohkan bangunan-bangunan di Roma Italia, Prancis dan beberapa negara di Eropa lainnya yang cukup berwibawa tapi tetap hangat bagi masyarakat sekitarnya.

Dari segi desain bangunannya, gedung atau ruang publik yang dibangun itu tak bergantung pada material bangunan. Tapi arsiteknya mampu meramunya menjadi sebuah karya seni yang mempesona, meski terkesan seadanya. “Untuk melakukan segala sesuatu, kita memang harus bekerjasama,” katanya mengenai pentingnya prinsip kebersamaan dalam dunia arsitektur, termasuk merancang bangunan atau ruang publik.

Dalam prakteknya, Slamet mengaku selalu bersikap koorperatif. Ia selalu bekerja sama dengan semua manusia dan semua benda yang sama-sama sedang bekerja dengannya. Tentang bahan-bahan bangunan yang tersedia, atau tentang lokasi geografis yang terhampar di depan mata, semuanya harus dirangkul dan dihitung dengan cermat. Ia bahkan tak menaruh hati kepada material yang mewah. “Yang penting fungsinya,” kata arsitek berambut putih ini.

Sama dengan benda-benda yang selalu diperlakukan dengan baik, manusia yang bekerja di lingkungan Slamet juga diperlakukan tak kalah baiknya. Semua kolega kerjanya diperlakukan sederajat. Bebas berfikir dan berkreasi. Contohnya pekerja bangunan. Slamet sering kali tunduk pada opini pekerja bangunan. Ia beranalogi, anak kecil pun selalu paling tahu tempat yang menyenangkan untuk bermain, karena anak-anak itu memang selalu bermain di sana, misalnya di kolong meja. Orang tua tak akan pernah tahu apa enaknya bermain di tempat itu, seperti halnya orang tua yang tak pernah paham mengenai isi kepala anak kecil, mengapa suka bermain. Begitu pula dengan pekerja bangunan mengenai pekerjaan mengaduk semen atau menata batu, misalnya. “Mereka pasti lebih tahu,” katanya.

Slamet Wirasonjaya memperoleh pendidikan arsitekturnya dari Institut Teknologi Bandung (1962) dan memperoleh gelar Master dari Harvard University (1965). Karya arsitektur ruang publik pertamanya adalah real estate di Marina City di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. Untuk menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, Slamet merancang kompleks perumahan itu tanpa pagar sesuatu yang masih jarang ketika itu. Penghuni rumah yang satu dengan lainnya dapat saling melihat. Orang yang sedang berjalan di depan rumah, juga bisa melirik ke orang yang berada di dalam rumah. “Terciptalah ruang publik,” kata Slamet.

Karya berikutnya adalah Masjid Agung di Tasikmalaya. Slamet mengedepankan konsep gabungan antara pusat pemerintahan dan tempat beribadah. Khusus masjid, halaman depan dirancang dengan akses masuk yang lega, sehingga mudah dimasuki umat yang ingin beribadah. Konsep ini lahir dari riset di kalangan ajengan atau kyai di Tasikmalaya yang kerap mengeluhkan soal akses masuk masjid yang kerap tersendat-sendat. Slamet lalu mencoba menangkap keinginan pemuka dan masyarakat di sana dengan konsep masjid terbuka.

Diantara sejumlah karyanya, Slamet sangat terkesan dengan bangunan Masjid Islamic Center di Bandung, yang digarap pada 1995. Di tempat yang akrab disebut Pusadai (Pusat Dahwah Islam Bandung) itu, Slamet mencurahkan seluruh pengalamannya selama menjadi arsitek. Pusadai adalah sebuah masjid dengan banyak ruang terbuka. Bangunan ini tak hanya dihampiri orang-orang yang ingin beribadah, tapi juga disenangi anak-anak yang ingin bermain, orang-orang yang hendak berdiskusi, atau orang-orang yang ingin berjualan barang dan makanan. Semua tumplek blek di sana. Banyak sekali aktivitasnya. Bangunan ini memang dikonsep berdasarkan kebersamaan lingkungan, gagasan yang dihasilkan dari kerjasamanya dengan kenyataan, bahwa lingkungan di sekitar masjid membutuhkan tempat yang dapat digunakan untuk berinteraksi: kepada Allah maupun sesama umat-Nya. (TEMPO)

Senin, 23 Agustus 2010

"Mohammad Danisworo" Ahli Menata Kota

Sekitar 50 tahun yang lalu, udara kota Bandung masih sejuk. Di sana sini pepohonan rindang setia menghiasi kota. Di taman kota, tepatnya di Taman Maluku, meluncur seorang pemuda bersama sepeda kumbang dengan asiknya. Siapa dia? Rupanya seorang mahasiswa arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hendak menuju jalan Ganesha, kampus tempat dia menimba ilmu.

Pendapatnya, bersepeda di dalam kota saat itu bukanlah soal. Suasana masih mendukung para pengguna sepeda atau pejalan kaki. Jalan belum dipadati kendaraan bermotor. Pusat pertokoan seperti Braga masih menghargai ruang bagi pejalan kaki. Hutan kota pun masih ada. “Bahkan di Taman Maluku, saat itu saya masih melihat rusa berkeliaran,” kisahnya.

Setengah abad telah berlalu. Rusa itu lenyap entah kemana. Pejalan kaki tersudutkan haknya di trotoar. Jalanan berlubang. Papan reklame telah merangsek kota. Pemandangan menjadi sumpek. Pemuda bersepeda kumbang tadi bukan mahasiswa lagi. Pria yang bernama Mohammad Danisworo itu telah menjelma menjadi seorang profesor dan mengajar di ITB, tempatnya menimba ilmu dulu.

Pengalaman indah Bandung masa silam begitu melekat dan mempengaruhi warna arsitektur Danisworo. Filosofinya, hidup di perkotaan perlu berwawasan lingkungan, fungsional, dan secara visual harus sedap dipandang mata. Tiga faktor inilah yang hingga sekarang digunakan Danisworo untuk mengaplikasikan ilmunya di bidang arsitektur. Bahkan, melalui karya-karyanya, dia dikenal sebagai arsitek perkotaan atau populer dengan sebutan urban arsitektur.

Filosofi sebuah kota bagi Danis panggilan singkatnya tak terlepas dari pengalaman dia bersama dosennya, Prof Hasan Purbo. Purbo memberi pemahaman kepada Danis bahwa sebuah gedung tak berdiri sendiri. Ada dua faktor lingkungan yang memberi banyak pengaruh terhadap keindahan arsitektur itu sendiri, yakni lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan fisik, jelas berkisah dengan sesuatu yang tampak seperti beton, pohon, dan benda lainnya. Lingkungan non-fisik harus mampu menampung secara sinergi kekuatan sosial dan budaya.
Yang non-fisik ini, menurut Danis, sering dilupakan arsitek masa kini.

Banyak gedung dan jalan dibangun hanya berorientasi pada mobil saja. Hasilnya? Jangan salahkan kantung-kantung pedagang kaki lima (PKL) dan pejalan kaki yang berjalan hampir mepet ke jalan raya. Jangan salahkan pula bila ada kantung-kantung kumuh di kolong jembatan, bahkan di tempat parkir gedung pencakar langit muncul komunitas sosial para sopir dan penjual makanan minuman yang berkesan tak kalah kumuhnya. “Itu semua karena mereka yang sering dituduh kumuh tidak mendapat tempat dalam rancangan arsitek kebanyakan. Padahal, jika ditata sejak awal, persoalan klasik perkotaan seperti itu tidak akan terjadi,” katanya.

Faktor selanjutnya adalah visual. Tiap karya arsitektur pasti disyaratkan bercita rasa seni. Enak dipandang atau bahkan dinikmati dengan cara lain. Faktor visual memegang peranan yang tak kalah penting dan menjadi penarik hati manusia. “Tapi faktor ini sangat subjektif,” ujarnya.

Faktor fungsional dalam desain urban juga tak kalah pentingnya. Katanya, untuk apa membangun sesuatu yang ternyata tidak berguna dan tak sesuai dengan kebutuhan. Ini akan sia-sia. Jika dilihat tata kota sekarang, banyak kota seperti di Bandung yang bangunannya kehilangan arti fungsional.

Lihat saja trotoar sempit nun kumuh yang habis disikat pedagang kaki lima. Lihat pula tepi jalan yang dikerumuni parkir mobil penghasil asap. Walhasil, kawasan Kosambi Bandung dan Cicadas misalnya, terkenal dengan kemacetan dan polusinya. Sejatinya, dalam konsep Danisworo, ruang kota harus ditata secara harmonis dan tidak terlalu berorientasi pada penggunaan mobil, misalnya membuat jalan yang lebar dan saking lebarnya, harus mengalahkan ruang trotoar. Pejalan kaki atau pedestrian perlu juga diberi hak menikmati karya arsitektur dengan nyaman dan aman. Selama ini, pejalan kaki selalu tersisihkan haknya. “Menurut saya ini tak adil,” katanya.

Untuk itu, Danis memberi resep yang dapat menyenangkan para pejalan kaki. Dalam konsepnya, lebar trotoar setidaknya berlebar lima meter. Itu belum termasuk pohon di tengah-tengahnya. Jika konsep ini diterapkan secara konsisten, kenyamanan bagi semua level kelas sosial akan terjamin. Si empunya mobil bisa namyan berkendaraan, si pejalan kaki pun semakin sehat saja karena penghijauan dan ruang yang segar. Pedagang kaki lima juga leluasa berjualan karena tersedia ruang yang ideal untuknya.

Mewujudkan trotoar lebar memang tak mudah bagi sebuah kota yang telah terbentuk dengan trotoar sempit. Tapi bukan berarti menyerah. Salah satu pengalamannya, Danis dan timnya pernah membujuk para pemilik halaman rumah di jalan Satrio, Jakarta, untuk merelakan sebagian ruas halamannya untuk dijadikan trotoar, dan berhasil. Konsepnya, tidak mengambil alih. Kepemilikan masih di tangan pemilik rumah.

Begitu pentingnya arti trotoar, menurut Danis, pemilik lahan harus diberi pengertian yang lebih mendalam. Kalau perlu diberi bonus. Misalnya, supaya pemilik lahan lebih tertarik, bagi mereka yang menyediakan tanah untuk ruang publik berupa pelebaran trotoar yang indah, akan diberi hadiah dari pemerintah berupa pembebasan pajak atau keringanan lainnya. “Tapi ini baru usulan,” ujar Danis.

Para pejalan kaki memang mendapat porsi yang cukup besar dalam konsep urban design yang disodorkan Danis. Sektor formal dan informal layaknya pedagang kaki lima harus bisa hidup berdampingan tanpa masalah seperti saat ini. Sektor formal pun dikritisinya. Lihatlah kota-kota besar, misalnya Bandung. Di sana ada kota yang digempur pesan-pesan iklan atau propaganda sebuah produk atau jasa. Bandung, yang dulu masih memungkinkan bagi rusa untuk hidup di taman kota, kini luluh lantak tanpa aturan jelas. Jalan Juanda, misalnya, dipadati papan reklame. Billboard di jembatan penyeberangan dipasang dengan seenaknya. Dengan scenario urban design yang ditawarkannya, Bandung dan juga kota-kota di Indonesia yang mempunyai permasalah serupa akan tetap indah meski telah berubah menjadi sebuah kota bisnis yang hiruk pikuk.

Mohammad Danisworo lahir di Semarang, 2 April 1938. Ilmu arsitekturnya dipetik dari ITB (1965). Dia juga meraih banyak gelar dari universitas di luar negeri seperti Special Program in Urban Studies, University of Kentucky, USA (1966), Master of Architecture, major in Urban Designe, University of California, Berkley, Amerika (1968), Master of Urban Planing, with Certificate in Urban Designe, University of Washington, Seatle, USA (1982). Ia juga meraih gelar Doktor of Philosophy (Ph.D) dari Urban Environmental Planning, University of Washington, Seatle, USA (1984).

Senior partner PT Encona Engineering Incorporation ini memang sangat serius menggarap arsitektur urban. Karyanya yang cukup dikenal, diantaranya adalah Stasiun Gambir, Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan Terminal Pelabuhan Udara Makassar. Dia juga menggarap pembangunan di bekas lapangan udara Kemayoran, Jakarta Pusat, yang dikatakannya sangat ideal. Kawasan itu disulap dengan skenario yang menguntungkan segala lapisan masyarakat: pejalan kaki, pedagang kaki lima dan pengendara mobil. Kemayoran akan dibuat beberapa blok berdasarkan jalan yang sudah ada. Di dalam blok itu dibangun gedung-gedung dengan trotoar selebar 10 meter yang akan menjadi dambaan pejalan kaki.

Beberapa gedung atau lokasi strategis dibuat saling berjauhan, jadi memikat setiap orang untuk menjelajah dari satu lokasi ke yang lain. Konsep ini mengingatkan kita pada konsep tata ruang Jakarta yang dicetuskan Soekarno saat membangun Jakarta, seperti penempatan bundaran Hotel Indonesia, Gelora Bung Karno, Monas dan Masjid Istiqlal yang simetris. Penataan seperti itu dipindahkan pula ke kawasan Kemayoran. Dengan demikian, jalan tidak akan sepi. Tetap bernuansa lingkungan dan teduh karena ada sebagian dinding gedung melindungi pejalan kaki dari sengatan matahari. Di antara blok ada ruang publik, tempat para pedagang kaki lima. Di sana juga dibuatkan sesuatu yang menarik pejalan kaki. Konsep ini, menurut Danis, diyakini akan menggoda pengguna mobil untuk memarkirkan kendaraannya dan memilih berjalan di dalam blok yang menyenangkan itu. (TEMPO)

Sabtu, 21 Agustus 2010

Masjid "Kebon Jeruk" Jakarta Kota

Mungkin tak banyak orang yang tahu kalau daerah Kota di utara Jakarta menyimpan sejumlah kekayaan sejarah Islam Indonesia, berupa bangunan masjid, langgar bahkan makam. Uniknya, bangunan-bangunan tersebut tidak saja didirikan oleh penduduk pribumi yang beragama Islam, tetapi juga oleh bangsa-bangsa pendatang yang menghuni sebagian wilayah Jakarta sejak jaman dahulu kala. Sebagai contoh, Masjid Annawir di jalan Pekojan yang didirikan oleh seorang berkebangsaan Arab. Lalu Masjid Krukut dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh komunitas Cina-Muslim di Jakarta.

Salah satu bangunan yang cukup menarik bentuk dan sejarahnya dan masih berdiri hingga kini adalah Masjid Kebun Jeruk yang terletak di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Masjid ini didirikan pada 1786 oleh Kapten Tamien Dosol Seeng atau Tuan Tschoa, seorang Kepala komunitas Cina-Muslim di Batavia antara tahun 1780-1797.

Mungkin bila dilihat sekilas tak ada yang terlalu ‘aneh’ dari bangunan bercat putih-hijau ini. Selain bentuk atapnya yang bertumpang dua, tak ada yang begitu tampak berbeda jika disandingkan dengan masjid-masjid tua lainnya. Denahnya berbentuk segi empat dan memiliki atap limasan bertingkat dua. Namun keunikan masjid ini akan tampak begitu kita melihat sebuah batu nisan yang berdiri di halaman belakang masjid.

Bentuk batu nisan tersebut menyerupai kepala naga khas Cina dan terdapat beberapa tulisan beraksara Cina. Namun selain itu, juga terdapat pertanggalan Arab pada nisan dan jika dilihat dari arah hadapnya, maka terlihat bahwa nisan tersebut menunjuk arah kiblat di Mekkah. Dari hasil pembacaan inskripsi, maka diketahui nisan tersebut merupakan penanda makam istri Kapten Tamien Dosol Seeng yang bernama Fatimah Hwu. Boleh dibilang nisan inilah yang kemudian menjadi trade mark Masjid Kebun Jeruk. Ahli sejarah dari Belanda, Adolf Heuken, dalam bukunya yang bertajuk Historical Sites of Jakarta sampai menyebutnya sebagai ‘sesuatu hal yang sungguh unik dan tak lazim!’.

Secara garis besar sebenarnya banyak yang sudah berubah dari arsitektur asli Masjid Kebun Jeruk. Bangunan ini sempat beberapa kali mengalami pemugaran dan perluasan hingga kini agak sulit melihat bentuk aslinya. Yang masih tersisa adalah jajaran tiang persegi empat yang menopang kokoh atap limasan bertumpang dua dan jendela ukir diatas pintu-pintu tua, yang kini berada di bagian dalam mesjid yang telah diperluas.

Pada bagian dalam masjid terdapat empat buah tiang penyangga yang terletak di sudut-sudut dinding dan enam buah tiang yang menyebar di tiga sisi masjid. Keempat tiang penyangga menyatu dengan dinding masjid. Jika diamati sepintas, sepertinya tiang itu hanya berfungsi sebagai bidang hias belaka, tapi jika diperhatikan jajaran balok penopang gantung di bagian atas masjid barulah terlihat fungsi tiang sesungguhnya, yaitu sebagai titik penahan beban konstruksi atap.

Hiasan asli dari Masid Kebun Jeruk yang masih dapat terlihat terdapat pada dinding tiang masjid dan puncak atap, atau mustoka. Hiasan-hiasan dinding dan tiang masjid banyak terdapat pada bagian sebelah dalam ruangan masjid. Pada badan tiang, di setiap sisinya dihiasi dengan galur-galur yang berjumlah enam buah. Ventilasi yang terletak diatas kusen pintu sisi utara dan selatan dihiasi dengan silang-silang kayu, membentuk bujur belah ketupat.

Ini berbeda dengan hiasan ventilasi kusen pintu sisi timur, yang dihiasi dengan hiasan ukiran pohon hayat yang dikelilingi ukiran bungan dan dedaunan yang berwarna kuning keemasan. Hiasan lainnya adalah kelopak bunga yang tumbuh dari lengkungan pada bagian atas dua pintu pengapit. Jika dilihat dari perbedaan hiasan ini, maka tampaklah bahwa pintu timur merupakan pintu masuk utama menuju ruang masjid.

Suasana kekunoan begitu terasa ketika mengamati dinding masjid bagian dalam, yang walaupun berdiri kokoh tapi terlihat kusam oleh proses penuaan. Begitupun jejeran kayu pada kusen-kusen pintu dan jendela yang tampak tua dimakan usia. Maka bersembahyang atau mengeja ayat-ayat suci dari balik dinding-dinding tua yang menyimpan sejuta cerita ini akan terasa semakin syahdu dan menyejukkan hati.

Masjid Kebon Jeruk termasuk jajaran masjid tua di Jakarta. Desainnya merupakan perpaduan Arab dan Cina.
Kalau bicara mengenai kemasyhuran dan keunikan, masjid ini mungkin salah satunya. Masjid ini bukan saja terkenal di Jakarta saja, tapi masyarakat dari berbagai daerah cukup banyak yang mengenalnya, bahkan tidak sedikit jamaahnya berasal dari penjuru dunia. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Kebon Jeruk. Letak masjid ini berada di Jalan Hayam Wuruk No. 85 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Masjid Kebon Jeruk merupakan masjid pertama di kawasan perdagangan dan keramaian bisnis ibu kota, yakni Glodok.

Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Tionghoa Muslim, Chau Tsien Hwu di tahun 1786. Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat.

Setelah sampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tionghoa mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk. Alasan diberinya nama Masjid Kebon Jeruk, menurut petugas Istiqbal (humas-red) Masjid Kebon Jeruk, Abdul Salam, karena memang pada waktu itu di daerah ini ditumbuhi banyak pohon jeruk. “Kata orang-orang dulu, awalnya daerah ini bagus, banyak ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Nggak kayak sekarang, bising dan banyak polusi,” ceritanya kepada SH.

Mesjid Jami’Kebon Jeruk terletak di pinggir Jalan Hayam Wuruk. Menurut sejarahnya didirikan pada tahun 1718. Jauh sebelumnya, tahun 1448 Masehi, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid kecil, yang lebih tepat disebut surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui.

Pada tahun 1718, datanglah seorang Cina bernama Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu ke daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Rupanya mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha.

Oleh karena itu mereka tidak berniat lagi untuk kembali ke negri leluhurnya, mereka bermukim di sini. Lalu Mendirikan mesjid di lokasi bekas mesjid mungil tersebut tadi. Itulah Mesjid Kebun Jeruk yang sekarang ini.

Menaranya sudah lama runtuh karena memang telah sangat tua. Mimbarnya yang antik terbuat dari kayu kembang, kini masih tersimpan di Museum Fatahillah.

Fatima hwu wafat tahun 1792, dimakamkan di halaman belakang mesjid. Pada nisan bergaya Cina, terdapat pahatan enam aksara cina yang berbunyi :”Hsienpi Chai Men Tsu Mow”, yang berarti “Inilah makam wanita dari keluarga Chai”.

Sedangkan Chan Tsin Hwu, menurut sejarah wafat di Cirebon dan dimakamkan di gunung Sembung. Tidak berbeda dengan masjid-masjid tua yang lain di nusantara. Di halaman masjid ini juga terdapat sebuah makam. Seorang yang dimakamkan di tempat ini adalah Fatimah Hwu, istri dari Chiau Tsien Hwu. Namun yang unik dari makam ini adalah bentuk nisannya. Nisan ini berbentuk naga dengan tulisan Cina dan pertanggalan Arab.

Selain nilai historisnya, masjid ini menjadi terkenal karena Masjid Kebon Jeruk sebagai pusat kegiatan tabligh dan dakwah Islam di Indonesia. “Seluruh jamaah kami berkumpulnya di sini, lalu kami jadikan masjid ini sebagai markas kegiatan kita untuk wilayah Indonesia,” jelas Abdul Salam.

Ia menjelaskan kegiatan jamaahnya adalah melakukan penyebaran Islam dengan mengunjungi berbagai tempat di seluruh nusantara dan banyak negara. “Kami sama sekali tidak berniat politis. Kami hanya menjalankan kegiatan ini semata-mata mencari ridho Allah,” paparnya.

BIODATA "ZAHA HADID"

Hadid lahir pada tahun 1950 di Baghdad, Irak. Dia menerima gelar di bidang matematika dari Universitas Amerika di Beirut sebelum pindah untuk belajar di Sekolah Dasar Arsitektur Arsitektur di London. Setelah lulus dia bekerja dengan mantan guru-nya, Rem Koolhaas dan Elia Zenghelis di Kantor untuk Metropolitan Arsitektur, menjadi mitra pada tahun 1977. Itu adalah dengan Koolhaas bahwa dia bertemu dengan insinyur Peter Rice yang memberi dukungan dan dorongan awal, pada saat pekerjaannya sepertinya sulit untuk membangun.

Pada tahun 1980 ia mendirikan praktek sendiri yang berbasis di London. Selama tahun 1980-an ia juga mengajar di Arsitektur Asosiasi. Dia juga mengajar di lembaga bergengsi di seluruh dunia, ia memegang Kenzo Tange Kursi di Graduate School of Design, Harvard University, Ketua Sullivan di University of Illinois di Chicago School of Arsitektur, profesor tamu pada Hochschule für Bildende Künste di Hamburg, Knowlton Sekolah Arsitektur, di Universitas Negeri Ohio, Studio Master di Columbia University, New York dan Profesor Tamu Eero Saarinen Desain Arsitektur di Yale School of Architecture, New Haven, Connecticut. Selain itu, ia diangkat sebagai Anggota Kehormatan American Academy of Arts dan Sastra dan Fellow Kehormatan dari Institut Arsitek Amerika. Dia telah berada di Dewan Pembina Yayasan Arsitektur. Saat ini ia adalah Profesor di University of Applied Arts Vienna di Austria.

Pemenang dari kompetisi internasional, secara teoritis berpengaruh dan inovatif, sejumlah desain Hadid menang pada awalnya tidak pernah dibangun: terutama, The Peak Club di Hong Kong (1983) dan Cardiff Bay Opera House in Wales (1994). Pada tahun 2002 Hadid memenangkan kompetisi desain internasional untuk desain masterplan Singapura satu-utara. Pada tahun 2005, desain-nya memenangkan kompetisi untuk kasino kota baru Basel, Swiss. Pada tahun 2004 Hadid menjadi penerima wanita pertama dari Pritzker Architecture Prize, setara arsitektur tentang Hadiah Nobel. Sebelumnya, ia telah dianugerahi CBE untuk jasanya kepada arsitektur. Dia adalah anggota dewan redaksi Encyclopædia Britannica. Pada tahun 2006, Hadid mendapat kehormatan dengan retrospektif mencakup seluruh pekerjaan-nya di Museum Guggenheim di New York. Pada tahun itu ia juga menerima Gelar Kehormatan dari Universitas Amerika di Beirut.

Perusahaan desain arsitektur Zaha Hadid - Zaha Hadid Architects - adalah lebih dari 350 orang yang kuat, yang berkantor pusat di London.

Pada tahun 2008, ia peringkat 69 dalam daftar Forbes dari "100 Dunia Wanita Paling Kuat". Pada tanggal 2 Januari 2009, ia menjadi editor tamu pagi radio BBC program unggulan berita, Today.

Pada tahun 2010 dia juga diberi nama oleh majalah Time sebagai pemikir berpengaruh di TIME 2010 100 masalah.

Hadid adalah desainer dari Dongdaemun Desain Plaza & Taman di Seoul, Korea Selatan, yang diharapkan akan menjadi pusat dari perayaan untuk sebutan kota ini sebagai Modal Desain Dunia 2010. Kompleks ini dijadwalkan akan selesai pada tahun 2011.

PENGHARGAAN

Kamis, 19 Agustus 2010

Meramu Cita Rasa China "Masjid Agung Sumenep"

Menghadap ke Taman Kota, yang berada di sebelah Timurnya. Dengan gerbang besar, pintu kayu kuno, yang berdiri kokoh menghadap matahari terbit. Masjid Agung Sumenep, yang dulu dikenal dengan nama Masjid Jami’, terletak ditengah-tengah Kota Sumenep.

Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep, sebagai inisiatif dari Adipati Sumenep, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M). Dalam perkembangannya, masjid laju tidak mampu lagi menampung jemaah yang kian banyak.

Setelah keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasar catatan di buku Sejarah Sumenep (2003) diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).

Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787 M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”

Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya menganut eklektisme kultur desain.
Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pada masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh.
Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas, yaitu antara arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina menjadi satu di bangunan yang istimewa ini. Mungkin pula berbagai etnis yang tinggal dan hidup di Madura lebih banyak lagi, sehingga membentuk struktur bangunan lengkap dengan ornamen yang menghias bangunan ini secara keseluruhan.

Kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sangat mungkin mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata, terdapat sejumlah modifikasi yang berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama. Memperhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa.

Struktur bangunan secara keseluruhan menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rumit di saat itu. Jalinan hubungan antaretnik yang hidup di Madura dapat disaksikan dari bangunan utuh dari sosok masjid Agung Sumenep ini.

Pada bagian depan, dengan pintu gerbang yang seperti gapura besar, beberapa orang berpendapat juga menampakkan adanya corak kebudayaan Portugis. Konon, masjid Agung Sumenep merupakan salah satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia dengan corak arsitektur yang khas.

Perkembangan Islam di tanah Jawa, pula menjadi bagian dinamika kehidupan masyarakat Madura. Perkembangan ajaran Islam di Pulau Madura, tak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pergumulan masyarakat Jawa yang secara gegrafis terpisah dengan Selat Madura. Perkembangan Islam di Ampel dan Giri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Pada jamannya, tugas dakwah yang diemban para wali meliputi seluruh daerah, termasuk Jawa dan Madura.

Dalam perkembangan Islam di Madura tak lepas dari para pedagang yang datang dari Gujarat (India) serta para perantau yang berasal dari jazirah Arab. Mereka yang berhasil mendarat di Madura juga memberi kontribusi akibat interaksi, baik budaya maupun tata kehidupan.

Model akulturasi budaya yang ada di masa silam, secara jelas masih bisa dinikmati sekarang. Yaitu dengan melihat kekayaan detil arsitektural yang ada di masjid Jami’ Sumenep. Walaupun pada sekitar tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan kirinya. Namun demikian tidak mengurangi eksotismenya hingga sekarang.
Pintu gerbang berwarna kuning kemerah-merahan itu berdiri tegak sejak dua setengah abad silam. Posisinya menghadap ke arah timur, seperti ingin menangkap sinar matahari yang datang di pagi hari. Gerbang itu juga menghadap alun-alun yang menghubungkannya dengan bekas keraton Sumenep. Di masa silam, Panembahan Sumolo dan keluarga selalu meniti jalan di tengah alun-alun ini untuk sampai ke masjid keraton.

Pintu gerbang berdaun pintu setebal 5,5 sentimeter itu menjadi bagian penting dari Masjid Agung Panembahan Sumolo, yang terletak di Sumenep, Madura. Pintu gerbang itu menjadi bagian dari arsitektur sejarah, hasil perpaduan antara budaya Cina dan Jawa. Ciri perpaduan itu tampak pada pilihan warna cerah yang menjadi ciri keduanya. Begitu pula dengan lekukan dindingnya, seperti yang banyak ditemukan pada bangunan Cina kuno.

Kedekatan rasa inilah yang memungkinkan hadirnya arsitektur Masjid Agung Panembahan Sumolo di Sumenep. Semula masjid ini lebih dikenal dengan Masjid Agung Sumenep saja. Namun, sejak sepuluh bulan silam berganti dengan nama pendirinya. "Untuk menghormati dan mengenang pendiri masjid," kata Raden Bagus Abdul Muthallib, ketua takmir masjid.

Masjid yang terletak di jantung kota Sumenep itu dibangun pada 1763 oleh Panembahan Sumolo. Raja Sumenep ke-31 bergelar Pangeran Aryo Natakusuma I atau Asriruddin ini memerintah Sumenep sejak 1762 sampai 1811. Kisah hadirnya arsitektur bergaya Cina tak lepas dari sang arsitek sendiri, Lou Ping Aw. Ia seorang Cina yang datang ke Madura danRata Penuh memeluk Islam. Panembahan Sumolo memberinya kepercayaan merancang bangunan masjid.

Sebagai arsitek yang memahami budaya, Lou Ping Aw rupanya sadar lingkungan. Ia harus menyertakan unsur lokal dalam rancangannya. Kesamaan itu ia temukan pada paduan warna cerah dan bentuk bangunan berkubah. Ciri ini biasanya digunakan di gerbang masjid tempo dulu. Dominasi warna oranye ini ditempatkan pada pintu gerbang, sementara bagian dalam masjid lebih menonjolkan warna hijau muda dan hijau tua, terutama pada daun pintu dan jendela.

Bukan hanya warna yang menjadikan arsitektur masjid ini bercorak Cina dan Jawa. Sudut dinding gerbang mengingatkan orang pada bangunan Cina kuno. "Kesan Cina memang kuat pada dinding-dinding masjid yang tebal," kata Abdul Muthallib, keturunan keenam Panembahan Sumolo. Sedangkan bangunan utama masjid lebih mendekati arsitektur masjid di Jawa.

Ciri yang paling menonjol adalah 13 buah tiang yang menyangga kubah dan atap. Maklumlah, gaya arsitektur masa itu belum menemukan kuda-kuda penyangga tanpa tiang seperti sekarang. Maka, jangan heran jika menemukan banyak tiang berdiri tegak di tengah masjid kuno. Masjidnya sendiri berdiri di atas tanah seluas 1,2 hektare. Sejatinya, masjid ini menjadi tempat ibadah yang lega. Sayang, 13 tiang berdiameter sekitar 50 sentimeter tadi menyita kelapangan itu.

Kesan arsitektur bergaya Jawa diperkuat dengan hadirnya kubah ala masjid di Jawa, berbentuk segitiga layaknya kubah Masjid Agung Demak yang dibangun di masa Sunan Kalijaga. Kubah ini menyembul di antara atap yang terbuat dari seng. Salah satu keunikan kubah ini adalah kemampuannya menangkal petir berkat batu giok yang disematkan di ujung kubah. Pemakaian batu giok biasanya hanya digunakan pada bangunan tertentu di Cina, dan Lou Ping Aw memanfaatkan untuk karyanya di negeri perantauan.

Aroma budaya Jawa kian terasa jika melongok setiap daun pintu dan kusennya. Aneka ukiran huruf Arab dan Jawa membentuk satu hiasan yag sedap dipandang mata. Kesan klasik dapat dilihat pada ketebalan daun pintu dan jendala. Ukiran huruf tadi bukan sekadar hiasan, tapi pesan kebajikan. Pada daun pintu utama Panembahan Sumolo meninggalkan pesan yang diukir dengan dua huruf tadi. Isinya imbaun agar masjid ini menjadi tempat jihad di jalan Allah melalui shalat.

Bagian yang tergolong mewah untuk masanya adalah ruang mihrab, tempat imam memimpin shalat, berlapis dinding keramik warna biru. Panembahan Sumolo mendatangkannya dari Belanda. Ruang mihrab ini pernah menyimpan kisah. Pada 1960 para takmir masjid menilai posisi mihrab belum mengarah kiblat secara benar. Seharusnya agak condong ke utara. Mereka bilang kurang ke tengah. Lalu para takmir menambah dinding agar posisi mihrab mengarah agak ke utara. Setelah arah kiblat berubah, spontan masjid sepi dari jemaah. Kenyataan ini memprihatinkan. Daya tampung sebesar empat ribu jamaah ini melompong. Posisi kiblat harus tetap benar agar jamaah datang, "Akhirnya dinding serong tadi ditutup dengan babut," kata Munthalib.

Ruang utama masjid itu terpisah dengan ruang beranda depan yang terbuka tanpa dinding. Diantara keduanya berdiri tujuh buah pintu masuk. Tiga buah pintu di bagian depan dan dua pintu pada sisi kiri dan kanan. Sisi kanan biasanya digunakan jamaah wanita yang langsung berbatasan dengan tempat wudhu.

Sejak pertama dibangun masjid ini belum pernah dipugar. Tak sekerat dindingnya rontok atau hancur. Jika ada bagian yang diganti hanya lantai yang semula terbuat dari tegel tanah liat berwarna merah selebar 1 meter persegi, menjadi marmer pada 1995.

Kekokohan bangunan ini tak lepas dari pemilihan material pembangunan dua setengah abad silam. Padahal Lou Ping Aw hanya menggunakan bahan dasar pasir, batu alam, dan kapur. Untuk membangun dinding digunakan batu yang diambil dari gunung kapur di sekitar Madura. Hingga kini bahan ini masih digunakan oleh masyarakat Madura sebagai pengganti batu bata sejak berabad silam.

Sebagai bangunan yang berada di daerah berhawa panas dan bercuaca pantai, bahan dasar tadi harus dicampur dengan tetes gula. Fungsinya untuk merekatkan adonan pasir, kapur dan batu bata. Selain itu untuk menetralisir dampak air laut. Perekat ini terbuat dari gula siwalan yang belum membeku. Pohon siwalan memang menjadi salah satu ciri khas Madura. Selain untuk bahan dasar gula, buah siwalan bisa dinikmati sebagai sajian buka puasa. Hampir semua bangunan kuno di Madura memanfaatkan perekat ini seperti Asta Tinggi, makam keluarga Raja Trunojoyo.

Selain membuat bangunan utama tadi, atas permintaan Panembahan Sumolo, Lou Ping Aw juga membangun tempat peristirahatan yang disebut pesanggrahan, yang berdiri di sisi kiri dan kanan, tepat di depan beranda. Fungsinya sebagai tempat istirahat musafir yang ingin shalat. Di depan pintu gerbang masjid membentang jalan utama, yakni jalan Trunojoyo. Pesanggrahan kanan khusus untuk kaum pria dan wanita di pesanggrahan kiri. Semula pesanggarahan ini tak berdinding. Hanya cungkup untuk bernaung. Namun, sejak 1990 pesanggrahan ini diberi dinding kaca.

Masjid yang kini berada di jalan Trunojoyo nomor 6 ini dikelilingi tembok setinggi empat meter dengan tiga pintu gerbang. Gerbang utama merupakan gerbang terbesar yang menghadap alun-alun kota dan selalu terbuka, sedangkan dua gerbang di pojok kiri dan kanan lebih kecil dan tak pernah dibuka lagi. Lewat pintu gerbang utama di bagian tengah inilah Panemabahan Sumolo bersama keluarga memasuki masjid.

Pintu gerbang ini sengaja dihadapkan langsung pada alun-alun karena letak keraton berada di seberang. Jaraknya tak lebih dari 500 meter. Di jalan yang membelah alun-alun itu pernah dijadikan tempat menampung zakat fitrah. Sayang, sejak 15 tahun silam tempat itu berubah menjadi taman dan air mancur. Menurut Bagus Rachman, pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumenep, perubahan itu karena kebijakan Pemda.

Selama Ramadan, pintu masjid dibuka 24 jam. Jumlah jamaah meningkat sampai seribu orang, melonjak lima kali lipat dibandingkan dengan hari biasa sebuah pemandangan hangat yang tak pernah berubah, mungkin sejak dua setengah abad silam. Hal lain yang tetap bertahan sejak didirikan Panembahan Sumolo adalah khutbah Jumat yang menggunakan bahasa Arab. Hingga hari ini.

Rabu, 18 Agustus 2010

Kepuasan Sebuah Rumah Menurut Seorang "Mustafa Pamuntjak"

Mustafa Pamuntjak, ayah kandung penulis Laksmi Pamuntjak, termasuk arsitek senior Indonesia. Seperti biasa, kita akan menuliskannya dalam bentuk profil. Isi tulisan mengenai kiprahnya di dunia arsitektur, membahas karya-karya fenomenalnya, dan yang paling penting, dari hasil wawancara, kita bisa mengetahui lebih jauh tentang arsitek yang menggemari desain seperti apa dia itu. Misalnya, seperti kita tahu, rajanya arsitek masjid adalan Ahmad Noe’man, jagonya arsitektur tropis adalah Adhi Moersid, yang piawai melakukan renovasi bangunan tua adalah Han Awal.

Di sebuah kelas arsitektur, seorang profesor mengajukan pertanyaan sederhana kepada mahasiswanya: apa pertanyaan pertama yang seharusnya diajukan sang arsitek kepada kliennya? Seorang mahasiswa menjawab apakah surat tanahnya lengkap. Mahasiswa yang satu lagi mengajukan pertanyaan soal dana yang tersedia, sementara mahasiswa yang lain sepakat pertanyaan soal luas rumah adalah hal yang terpenting. Seluruh jawaban itu ternyata dianulir oleh sang profesor. Dan jawaban yang benar adalah: “Apakah saya boleh menginap barang seminggu saja?”

Mustafa Pamuntjak dan beberapa mahasiswa lain yang berada di kelas itu menjadi terhenyak. Apa hubungannya kegiatan arsitektur dengan keinginan untuk menginap? Tapi suasana kelas yang terjadi lebih dari 50 tahun silam itu masih melekat dengan sempurna di dalam benaknya, bahkan perjalanan kariernya pun selalu diisi dengan keinginan untuk “menginap” di rumah kliennya. “Jawaban profesor itu adalah kiasan yang mengandung arti yang mendalam. Seorang arsitek harus mengerti dan mengalami bagaimana cara keluarga itu hidup. Bagaimana hubungan antar anggota keluarga. Arsitektnya harus menyelami kehidupan kliennya,” katanya.

Setelah memahaminya, barulah sebuah rancangan arsitektur dapat digarap. Begitu juga dalam merancang kantor. “Kalau kita tidak pernah kerja di kantor bertingkat tinggi, bagaimana? Bagaimana kita bisa membuat hotel yang baik kalau kita tidak pernah menginap di hotel? Jadi membuat rumah untuk masing-masing orang itu berbeda karena budaya hidup masing-masing orang kan juga berbeda,” kata Mustafa Pamuntjak, arsitek senior yang masih segar dalam di usianya yang telah memasuki 70 tahun.

Bagi Mustafa Pamuntjak, yang juga dikenal sebagai ayah kandung penulis Laksmi Pamuntjak, sebuah rancangan arsitektur menjadi bernilai bila penggunanya mengalami kepuasan total, bila penggunanya merasa senang dan nyaman menempati hasil rancangannya selama bertahun-tahun. Sebagai seorang arsitek, ia mengaku mendapat kepuasan ekstra bila merancang rumah. Katanya, mendesain rumah dengan mendesain bangunan lain itu sama sekali lain. Kalau bangunan umum seperti hotel atau kantor, penggunanya adalah banyak orang dengan tingkat turn over (keluar masuk) yang juga tinggi, sehingga sukar mengukur nilai kepuasannya. Sedangkan pada rumah, yang menggunakannya adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kepuasan anggota keluarga terhadap tempat tinggalnya menjadi sensitif.

Ada pepatah dari seorang Jepang yang terkenal soal arsitek, yang mengatakan bila awal arsitektur adalah rumah dan akhir arsitektur adalah rumah juga. Pengaturan ruang-ruang dalam rumah itu harus mencerminkan perilaku para penghuninya. Banyak keluarga yang menjadi tak serasi karena pengaturan ruang yang tak sesuai dengan pola hidup penghuninya. Rumah bukan sekedar bangunan dengan serangkaian ruang untuk kegiatan makan atau tidur, tetapi rumah adalah tempat mengasih, mengasuh dan mengasah antar anggota keluarga penghuni rumah tersebut. “Dan bukan sekedar bagus dan dari luar kelihatan hebat. Wah, itu sih nomor sekian. Yang pentinng adalah kenyamanan setiap penghuni. Rumah menjadi tempat saling berkomunikasi antara anak dengan orang tua. Adik dan kakak tidak saling mengganggu. Tinggal di rumah harus menjadi saat-saat yang menyenangkan,” katanya.

Mustafa Pamuntjak memetik pendidikan arsitekturnya dari Technische Higeschool, Delft (1952-1957) dan dilanjutkan ke Technische Unversität, Fakultät fur Architektur, Berlin Barat (1957-1960) untuk memperoleh gelar Diplom Inginieur (Dipl Ing). Pengalaman kerjanya dimulai di Jerman Barat, dengan bekerja di biro arsitek. Proyek-proyeknya, selain merancang gedung, juga mendesain rumah-rumah.

Arsitek yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Jerman dan Belanda) ini memulai kehidupannya di Indonesia dengan bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Beberapa pekerjaannya, antara lain merancang desain urban untuk kawasan Pekanbaru, Palangkaraya, Malang, Karawang, pusat rekreasi Ancol, kawasan wisata Puncak dan melakukan studi untuk jalan tol Jagorawi. Sebagai pegawai negeri, pengalamannya, kepulan asap dapurnya kurang pekat. Karena itu, pada awal dasawarsa 1980-an, ia kembali menekuni kegiatan arsitekturnya dan meninggalkan baju Korpri.

Sejak 1982 hingga saat ini, katanya, ratusan bangunan telah lahir dari pemikirannya. Mulai dari hotel, gedung-gedung hingga perumahan. Meski mengaku seluruh bangunan yang dirancangnya memiliki nilai yang sama, tapi Mustafa tetap lebih sreg merancang rumah. Alasannya ya itu tadi, karena rumah memiliki nilai kepuasan yang berbeda dengan bangunan lain.

Puluhan tahun mengguti arsitektur, menyebabkan Mustafa Pamuntjak tak sekedar berpengalaman dalam membuat sebuah gagasan di atas kertas kerja. Lebih dari itu, ia juga memiliki pemahaman yang mendalam soal profesinya. “Arsitek itu istilahnya psikolog amatiran,” katanya.

Artinya, seorang arsitek harus mengerti keinginan kliennya, tapi belum tentu keinginannya itu bisa menguntungkan kliennya dalam format pemakaian. Karena itu, seorang arsitek harus bisa menjadi seorang diplomat yang mampu berbicara baik, menyampaikan dengan baik, serta memberi nasihat. “Jadi arsitek itu tidak boleh meletakkan kehendaknya, bahwa pendapatnyalah yang terbaik, kepada si pemberi tugas atau si pemakainya. Sebaliknya, jangan terlalu mengikukti keinginan pemberi tugas. Jalan yang terbaik adalah bagaimana mencapai kesepakatan,” katanya.

Dari pengalamannya merencanakan sebuah gagasan arsitektur, Mustafa mengaku selalu mengalami aneka pertentangan, terutama ketika membuat rancangan rumah. Kalau membuat kantor dan bangunan lain seperti hotel, pertentangan seperti itu kurang terasa karena yang memberi tugas bukan satu orang. Tapi kalau merancang rumah, perbedaan pendapat itu langsung terasa karena arsiteknya berhadapan langsung dengan pemilik rumah. “Makanya banyak arsitek yang menghindari membuat rumah. Ditambah lagi penghasilan dari rumah dibanding proyek yang 30 lantai kan tidak ada apa-apanya,” kata Mustafa. (TEMPO)

"MINANGKABAU" dan FILOSOFI

Minangkabau kelompok etnis merupakan salah satu suku Indonesia yang tinggal di dataran tinggi Sumatra Barat, Indonesia. Mereka biasanya disebut sebagai Orang Padang. Dalam sebaliknya dengan kelompok etnis Batak, Minangkabau dibentuk berdasarkan budaya matrilineal dalam jangka waktu perkawinan, warisan dan cara hidup dan mereka adalah masyarakat matrilineal terbesar di dunia.

Tanggal kembali ke sejarah, Minangkabau datang dari Luhak Nan Tigo, yang meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Lima Puluh Kota Kabupaten. Kemudian budaya itu menyebar ke garis pantai di wilayah barat dan timur. Berdasarkan sejarah itu, sekarang kita dapat mengatakan bahwa hidup orang Minangkabau di Sumatra Barat, Riau Barat, bagian selatan Sumatera Utara, Jambi Timur, Bengkulu Utara dan lainnya berada di Negeri Sembilan, Malaysia dan Aceh Barat.

Nama Minangkabau dianggap sebagai gabungan dari dua kata, minang yang dimaksud menang dan kabau atau kerbau. etimologi ini yang datang dari salah satu sejarah masa lampau ketika orang-orang Minangkabau adalah serangan oleh kerajaan tetangga. Dan menghindari perang, keduanya membuat kesepakatan untuk menggunakan melawan kerbau untuk menentukan perang atau tidak. Untungnya, banteng Minangkabau memiliki menang kemudian orang yang bernama sebagai Minangkabau.

Jauh sebelum masuk Islam, Minangkabau juga suku yang memegang kepercayaan animisme dan menjadi komponen penting dari budaya Minangkabau. Dalam kepercayaan animisme bahwa mereka memiliki dua jiwa, jiwa yang nyata dan jiwa yang dapat menghilang disebut "Semangat". Semangat merupakan vitalitas hidup dan dikatakan harus dimiliki oleh semua hewan dan tumbuhan.

Dalam pola warisan adat dan properti untuk anak-anak, menggunakan pola matrilineal Minangkabau yang berbeda dari masyarakat utama yang biasanya pegang sistem patrilineal. Oleh karena itu, ada kontradiksi antara adat tradisional dan konstitusi Islam. Oleh karena itu, dalam pola pewarisan Minangkabau, ada warisan tinggi dan warisan rendah.
Tinggi warisan adalah properti turun-temurun diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu. Sedangkan warisan adalah kekayaan pendapatan rendah berdasarkan hukum Islam.

Sepertinya orang-orang Cina, masyarakat Minangkabau juga menyebar ke seluruh negeri. Mereka berimigrasi ke daerah lain di beberapa tujuan, salah satu penyebabnya adalah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, kontrol warisan dipegang oleh perempuan, sementara hak-hak laki-laki dalam hal ini cukup kecil.
Alasan lainnya adalah datang dari budaya hati, yang semangat untuk mengubah nasib dengan pengejaran pengetahuan dan kekayaan. Hal ini juga didasarkan pada kata-kata Minangkabau, "Karatau Madang dahulu, babuah babungo alun, dahulu Bujang marantau, asam di Balun paguno Rumah" yang berarti akan lebih baik untuk berimigrasi daripada menjadi sia-sia.

Segala sesuatu tentang Minangkabau jaman sekarang ini yang menjadi terkenal dengan keunikan mereka, seperti makanan dan minuman. makanan Padang di mana-mana yang identik dengan rasa panas dan pedas.

Melihat dari arsitektur mereka, orang Minangkabau Rumah Gadang, atau rumah Gadang. Rumah Gadang dilayani menjadi ruang untuk pertemuan, kegiatan upacara, dan karena itu sistem matrilineal terus, rumah dimiliki oleh perempuan dan diteruskan ke putri.

Dengan dunia yang semakin modern saat ini, masyarakat Minangkabau yang masih memegang tradisi mereka melacak tua untuk menghadapi modernisasi. Mereka mungkin tidak tinggal di aula Rumah Gadang bukan rumah klasik modern, tetapi semangat dan budaya masih berpikiran landasan di atas segalanya.

Selasa, 17 Agustus 2010

Gereja Imanuel Depok - Jabar, Warisan Kolonial Belanda

Lebih dari dua ratus tahun berdiri, Gereja Immanuel Depok telah mengalami perubahan. Desain asli tetap dipertahankan.

Ada apa saja di Depok? Mungkin kini sebagian orang akan langsung mengidentifikasi Depok sebagai 'kota pelajar' dengan banyaknya kampus-kampus yang tersebar di daerah tersebut, salah satunya adalah Kampus Universitas Indonesia (UI) yang tersohor itu. Namun ingatkah Anda akan celetukan "Bule Depok" yang kerap terdengar dari mulut orang? Tak salah memang jika guyonan itu pernah akrab di telinga. Bertahun-tahun yang lampau, pada masa kolonial, kota Depok memang pernah menjadi kawasan komunitas orang Belanda. Mereka tinggal dan membangun daerah Depok, mendirikan rumah, sekolah dan juga tempat-tempat peribadatan.

Salah satu gereja kuno yang merupakan peninggalan dari masa kolonial di wilayah Depok adalah Gereja Imannuel Depok. Gereja ini mempunyai peran yang sangat penting pada sekitar abad 18 Masehi, terutama jika dikaitkan dengan pengkristenan orang-orang Depok pada masa itu. Bahkan boleh dibilang gereja ini merupakan cikal bakal komunitas Kristen Depok yang banyak berperan dalam perkembangan daerah Depok dikemudian hari.

Konon pada tahun 1700 seorang tokoh Belanda di Depok bernama Cornelis Chastelein mendirikan sebuah gedung gereja untuk dihadiahkan kepada dirinya dan para budaknya yang telah menganut agama Kristen. Pada awal pendiriannya gereja tersebut hanya dibuat dari bahan kayu, bambu dan beratap rumbia. Dalam perkembangannya gereja itu mengalami beberapa kali pengembangan dan perubahan bentuk, termasuk didirikannya bangunan permanen pada tahun 1854 yang sebagian bangunannya masih berfungsi dan dipertahankan hingga kini.

Gereja Imannuel Depok terletak di Jl. Pemuda, Depok Lama. Sebelum Indonesia merdeka, namanya Kerkstraat atau Jalan Gereja. Kalau dilihat sepintas memang tak ada yang terlihat istimewa dari bangunan itu. Luas bangunannya hanya 360 meterpersegi, sehingga bentuknya relatif mungil dan bersahaja, apalagi jika dibandingkan dengan gereja-gereja kuno di Jakarta. Mungkin bentuknya akan mengingatkan kita pada gereja-gereja kecil bercorak renaissance di pedesaan Belanda dan Jerman. Tidak terdapat bentuk atau hiasan yang berkesan mewah dan raya dalam arsitektur gereja Imannuel. Yang ada hanya jalinan rapi permainan garis simetris dan bentuk lengkungan pada tiap-tiap elemen bangunan, hingga membentuk suatu kesatuan yang sederhana namun anggun.

Gereja Imannuel memiliki sebuah menara yang berdiri membumbung melalui atap bangunan. Keberadaan menara ini merupakan salah satu ciri bangunan gereja. Lalu jika kita masuk menuju ruang ibadah melalui pintu utama yang terletak di bagian muka gereja, akan langsung terlihat sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Kuno. Isinya mengenai peringatan kematian Carolus Chastelein dan pendirian bangunan gereja. Prasasti itu tertera pada dinding yang berdiri tepat dihadapan pintu masuk utama. Mungkin fungsinya sebagai penghalang pandangan langsung dari orang-orang yang berada diluar gereja.

Jendela maupun pintu pada gereja juga berbentuk bujursangkar dengan lengkungan yang melancip di bagian atasnya. Yang unik, kini gereja Imannuel memiliki masing-masing 6 buah pintu di sisi kiri dan kanannya. Pada tiap daun pintu itu tertulislah nama dari masing-masing budak Mr. Chastelein yang mengembangkan agama Kristen di Depok.
Ruang ibadah Gereja Imannuel sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian bawah yang biasa menampung lebih banyak jemaat dan balkon yang berada di atas ruangan. Konon sebagian dari kursi-kursi yang terdapat di ruang ibadah itu merupakan kursi peninggalan abad 18. Di dalam ruang itu juga terdapat dua buah dinding yang membagi ruangan menjadi 3 bagian. Masing-masing dinding terdapat bingkai pintu berbentuk bujursangkar dengan lengkungan lancip di bagian atasnya. Dulu pada bingkai-bingkai itu terdapat daun pintu, tapi karena terjadi perluasan bangunan gereja ke arah sisi kiri dan kanan, maka dibangunlah dua dinding baru berikut pintunya di sisi luar dinding berbingkai tersebut. Hingga kini 2 dinding berbingkai itu masih tersisa dan berfungsi sebagai penopang atap dan balkon.

Sayangnya, karena sudah beberapa kali dipugar dan diperluas, kini nyaris tak tampak ciri-ciri kekunoan pada bangunan Gereja Imannuel. Mungkin karena sudah lapuk dimakan usia, banyak bagian-bagian bangunan yang sudah diperbaharui seperti lantai, pintu, jendela, kaca, atap dan sebagainya. Yang masih nampak kini hanya bentuk-bentuk dasar seperti dinding bangunan utama atau bingkai-bingkai pintu dan jendela. Namun patut dihargai walaupun dipugar dan diperluas, bentuk dasar itu masih tetap dipertahankan, juga pembuatan pintu-pintu baru yang diusahakan untuk menyerupai bentuk aslinya.

Kesederhanaan bentuk Gereja Imannuel yang jauh dari kesan 'wah' dan raya seperti gereja-gereja besar yang kita temui di Jakarta mencerminkan kesederhanaan komunitas pendiri gereja itu yang jauh dari ingar bingar pusat kota. Tidak seperti Gereja Sion atau Tugu dari abad 18 yang tentunya dibangun dengan bantuan pemerintah pusat Hindia Belanda, Gereja Imannuel Depok didirikan secara pribadi oleh seorang Belanda dan budak-budaknya untuk melayani komunitas masyarakat kala itu yang masih kecil. Namun secara historis keberadaan gereja tak kalah penting sebagai salah satu peninggalan sejarah kolonial Indonesia yang dimiliki kota Depok. (TEMPO)

Sabtu, 14 Agustus 2010

"EIFFEL" Sang Perancang Menara Paris

Apa yang kita kenal dari Prancis? Menara Eiffel? Ya. Prancis memang masyhur oleh menara yang pada mulanya didirikan sekedar untuk dijadikan simbol Paris, ibu kota Prancis, tapi di kemudian hari menara ini sangat diperlukan bagi kepentingan aviasi dan meteorologi. Tapi tahukah kita siapa arsitek di balik pendirian Eiffel?
Adalah Gustave Eiffel, yang punya gagasan mendirikan menara yang terletak di pusat kota Paris. Dibangun sebagai menara yang dapat dijadikan simbol pada Pameran Dunia dan perayaan Revolusi Perancis, menara dengan bendera yang berkibar di puncaknya itu kemudian diresmikan pada 31 Maret 1889.
Saat itu, tak semua orang bersorak-sorai atas pendirian menara. Kecaman dan protes keras datang dari penduduk Paris dan kalangan intelektual, bahkan telah terjadi sepanjang pembangunannya. Menara yang menghabiskan dana jutaan dolar AS itu dianggap sebagai pemborosan dan lambang kecongkakan. Apalagi, saat itu Prancis dan negara-negara lain di dunia sedang mengalami krisis. Eiffel menjadi kurang populer.
Tapi Gustave berusaha meyakinkan pemerintah dan masyarakat Prancis bahwa menara itu tak sekedar sebuah simbol, melainkan dapat dimanfaatkan untuk berbagai penelitian meteorologi, radiotelegrafi dan aerodinamika, termasuk radio dan kegiatan aviasi. Ringkasnya, sepuluh tahun setelah menara itu diresmikan, kegiatan radio yang pertama sudah dapat dimulai. Eugene Ducreate, yang bekerja di pusat penelitian di Pantheon, Paris, menerima sinyal yang pertama dari Eiffel.
Gustave Eiffel membangun menara Eiffel dibantu oleh, antara lain, para insinyur Maurice Koechlin dan Emile Nouguier serta Stephen Sauvestre sebagai arsitek. Rencana proyek itu dimulai pada 1884. Pembanguanannya sendiri dimulai pada 1887 dan selesai 26 bulan kemudian. Sesuai rencana, menara ini akan dirobohkan setelah berlangsungnya pekan Pameran Dunia 1900. Akan tetapi, berkat argumentasi Gustave mengenai aneka kegunaan yang dapat dipetik dari menara itu, terutama setelah percobaan awal transmisi radio yang dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Prancis, menara Eiffel akhirnya berhasil dipertahankan.
Gustave banyak belajar mengenai angin dan cuaca sebelum mendirikan menara Eiffel, termasuk teknik pendulum. Hal ini berguna agar menara dapat berdiri kokoh, tetap tegak meski dihantam badai dan hujan lebat sekalipun. Selain itu, Gustave juga banyak mempelajari teknik konstruksi karena menara ini membutuhkan kerangka yang rigid dan kuat.
Untuk itu, Gustave merancang besi baja yang dikaitkan dalam bentuk persilangan yang diperkuat dengan 2,5 juta buah paku. Kerangka Gustave terbukti tahan dari serangan angin dan walaupun bahannya dari besi, berat menara hanya 7.300 ton. Pada mulanya, ketinggian menara dari tanah sampai tiang bendera tingginya 312.27 meter. Saat ini, ketinggian menara menjadi mekar hingga 324 meter karena di atasnya terdapat antena televisi. Banyak perusahaan televisi Prancis yang memanfaatkan Eiffel sebagai tempat memasang alat transmisi, hal ini menjadi pembuktian lain tentang betapa menara ini memiliki banyak kegunaan di kemudian hari.
Saat ini menara Eiffel dimiliki oleh Pemerintah Daerah Paris dan dikelola perusahaan swasta, Société Nouvelle de l'Exploitation de la Tour Eiffel. Kerangka besinya direnovasi setiap tujuh tahun sekali dan warnanya diputar dengan 50 ton cat. Renovasinya digarap oleh pekerja yang menguasai olah raga alpinis dan akrobatis. Agar menara tampil cantik, menara itu kini diterangi oleh 352 projektor berkekuatan 1.000 watt dan berkedip setiap setengah jam pada malam hari, dengan 20.000 bola lampu dan 800 lampu disko. Supaya lebih hidup, 4 lampu laser xenon berkekuatan 6.000 watt berputar secara permanen di puncak menara.
Alexandre Gustave Eiffel lahir di Dijon, Prancis, pada 1832. Ia memetik pendidikan formalnya di Ecole Centrale des Arts et Manufactures, Paris, pada 1855 dan bergabung dengan perusahaan Belgia dengan spesialisasi peralatan kereta api. Ia mulai berdikari dan mendirikan firma sendiri pada 1864, setelah memantapkan kariernya sebagai engineer-contractor. Atas dedikasinya di dunia konstruksi dan rancang bangun, Eiffel dikenal sebagai master konstruksi berat. Sepanjang kariernya, ia banyak membangun jembatan dan pembangunan berkonstruksi besi lainnya, termasuk Menara Eiffel. Gustave Eiffel meninggal di Paris pada 1923. (TEMPO)