Kamis, 11 November 2010

Perpustakaan Alexandria : Perpaduan Masa Silam dan Depan

Pada Suatu ketika Presiden Mesir Hosni Mubarak berdiri tegak di atas sebuah podium, ia berbicara di depan ribuan undangan. Presiden Prancis Jacques Chirac, Ratu Sofia dari Spanyol, Ratu Tania dari Yordania, dan Presiden Yunani Costis Stephanopolous tampak duduk di bangku terdepan. Siang itu Mubarak sejenak melupakan masalah Israel yang terus menyerbu Palestina. “Tempat ini adalah sumber ilmu pengetahun dan pertemuan budaya,” katanya.
Tempat yang di maksud Mubarak bukan kampus tertua di dunia Universitas Al Azhar. Bukan pula terusan Suez atau bangunan Piramid yang menyimpan legenda. Tempat yang ditunjuk Mubarak adalah Perpustakaan Alexandria. Setelah 16 abad “punah”, peninggalan Ptolemeus I Soter ini dibangun kembali. Inilah perpustakaan tertua di dunia, yang dibangun kira-kira 295 tahun sebelum masehi oleh Ptolemeus sebagai penerus Alexander Agung.

Perpustakaan yang semula menyimpan 500 ribu buku ini sempat luluh-lantak diserbu tentara Kerajan Romawi kala menaklukkan Mesir. Hanya bangunan utama yang tersisa, dan sayangnya hanya bertahan hingga abad ke-4 masehi. Peninggalan semata wayang itu sirna pula ketika api melalap seisi bangunan tak lama kemudian. Sejak itu Perpustakaan Alexandria praktis tinggal nama. “Sekarang kebanggaan Mesir ini resmi dibuka,” kata Mubarak. Rabu siang itu Perpustakaan Alexandria lahir kembali di bumi Paraoh.
Ide membangun kembali Perpustakaan Alexandria, mulanya muncul dari akademisi Universitas Alexandria Mesir pada awal 1970-an. Pemerintah Mesir menyambut hangat, tapi gagal merealisasikannya. Keinginan serupa muncul kembali pada pertangahan 1980-an, tapi realisasinya setali tiga uang. Memasuki era 1990-an, ide sejenis kembali digulirkan, sampai akhirnya UNESCO turun tangan mendeklarasikan dukungan pembangunan bersejarah ini.

Ini adalah proyek prestius. Melibatkan banyak negara untuk mendukung dana. Maklum, semula anggaran yang dibutuhkan hanya US$ 160 juta, tapi belakangan membengkak sampai US$ 230 juta. Melonjaknya dana yang harus ditanam itu berkaitan dengan kemegahan bangunan. “Ini bukan bangunan biasa,” kata Mohsen Zahran, mantan wakil presiden Bank Dunia yang ditunjuk menjadi manajer proyek.
Untuk memperoleh desain yang ideal, panitia mengadakan kompetisi internasional. Dari 523 peserta, karya firma arsitektur Snohetta dari Norwegia yang hasilnya sangat dinikmati Mubarak itulah pemenangnya. Firma ini bekerja sama dengan konsorsium Hamza Associated dari Kairo Mesir. “Konsep dasarnya adalah bangunan yang memancarkan ilmu pengetahuan dan budaya,” kata Cristhop Kappelar, koordinator arsitek Snohetta.
Letak Perpustakaan Alexandria tak jauh dari gedung Fakultas Seni Universitas Alexandria di wilayah Shatby. Perpustakaan ini menghadap kearah utara, tepat di bibir laut Mediterania. Secara garis besar, bentuk keseluruhan banguan menyerupai lingkaran sederhana untuk merepresentasikan sinar Mesir. Diameter bangunannya 160 meter cukup luas. Konsep lingkaran ini ditetaskan sebagai simbol Mesir menerangi dunia dan peradaban manusia, yang sesuai dengan visi Alexandria.
Salah satu bentuk peradaban manusia yang direkam perpustakaan ini, dapat dilihat pada dinding luar yang terbuat batu granit Zimbabwe seluas delapan ribu meter persegi. Dinding yang disusun dengan batu berukuran 2 x 1 meter itu dipahat aneka huruf dari berbagai bahasa, yang pernah dikenal manusia selama 10.000 tahun lebih dari 500 kebudayaan di dunia. Di sini timbul kesan yang amat kuat tentang betapa tingginya peradaban manusia di bidang tulis menulis.

Di dekat dinding batu itu, sengaja diletakkan sebuah kolam air. Dengan demikian, ketika matahari sedang “menyala” dengan hebatnya, pantulannya dibelokkan oleh dinding dan air di kolam menuju beberapa bagian ruang perpustakaan sebuah efek yang kontras dan harmonis, yang meninggalkan kesan sebuah pertumbuhan geologis.
Perpustakaan Alexandria memang “terampil” memanfaatkan cahaya alam untuk menerangi ruangan. Selain mengandalkan duet dinding dan air kolam, atapnya yang terbuat dari kaca itu juga didesain mampu meloloskan sinar matahari. Hanya saja, agar tak menyilaukan penghuni perpustakaan berlantai delapan ini, atapnya dibuat landai dan berlereng-lereng. Filterisasi cahaya juga dilakukan oleh langit-langitnya yang juga berundak-undak. Hasilnya, selain tak membuat penghuninya menjadi silau, cahaya yang menerobos isi ruangan akan membentuk siluet pada langit-langit setinggi 17 meter dari lantai itu. “Seperti lukisan di atas kanvas,” kata Kappelar.

Kelebihan lain dari atap kaca itu adalah pemandangan laut yang dapat dinikmati penghuni perpustakaan, khususnya di ruang baca yang menyediakan dua ribu tempat duduk. Ruang bacanya sendiri tak kalah istimewanya. Ruangan ini menyita separuh dari total ruang, yang berbentuk amphiteater. Arsitek Norwegia yang merancangnya cukup jeli melihat setiap sudut bangunan, termasuk pemilihan furnitur yang merupakan bagian integral dari keseluruhan bangunan.
Ruang baca utama di bagian tengah bangunan dibuat berjenjang. Meja baca, kursi, dan rak buku didesain berjajar untuk mendapatkan pemandangan yang menarik. Jika dilihat dari balkon, letak furnitur di ruang ini dapat dibaca sebagai “bagian muka horizontal”. Desain ruang ini sangat memperhitungkan aspek ergonomis, kemiringan dinding dan atap kaca, sebuah kalkulasi yang merupakan refleksi artistik dari sejarah desain Mesir.

Sebagai bagian dari sejarah, bangunan yang begitu memukau Presiden Mubarak mungkin juga Anda, bila berkesempatan melongoknya dari dekat tetap mempertahankan planetarium berbentuk bulat di bagian luar gedung. Planetarium ini adalah simbol kemampuan manusia ketika mendaratkan kaki pertama kali di bulan beberapa tahun silam. Bersama bangunan perpustakaan yang menjadi bangunan utamanya, genaplah cita-cita arsiteknya yang ingin memadukan kebudayaan masa silam dan masa depan. (TEMPO)

ANDA PENGUNJUNG KE :