Tampilkan postingan dengan label Realitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Realitas. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 November 2011

Pakar: Rusun Ditinggalkan Karena Kesalahan Perencanaan


Balikpapan (ANTARA) - Pakar Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang, Prof Eko Budihardjo mengatakan, sebanyak 72 dari 74 rumah susun di Indonesia berakhir mangkrak dan ditinggalkan para penghuninya, karena kesalahan perencanaan dan perancangan.

"Masak rumah susun untuk nelayan jauh dari laut," ungkap Prof Eko Budihardjo, yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Undip di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (24/11).

Contoh lain, katanya, fasilitas umum di rumah susun kerap tak terpelihara atau digunakan dengan semena-mena. Lift misalnya, bisa dijadikan anak-anak sebagai toilet sehingga berbau pesing.

"Di Singapura yang sudah sangat berpengalaman dengan rumah susun, dikembangkan alarm khusus yang mampu mendeteksi urin atau air kencing itu, sehingga bila ada yang buang air di lift, langsung alarm berbunyi dan liftnya terkunci otomatis," kata Prof Eko.


Di Jakarta, menurut dia, banyak rumah susun yang tidak memelihara fasilitas yang dimilikinya dengan baik sehingga membuat penghuni tidak betah, dan akhirnya keluar meninggalkannya.

Menurut dia, tinggal di rumah susun memang sangat berbeda dengan tinggal di rumah biasa yang langsung di atas tanah. Penghuni rumah susun harus biasa dengan lingkungan serba terbatas dan serba dipakai bersama di rumah susun.

Karena itu, katanya, agar tak banyak potensi positif masyarakat hilang karena mengalami perubahan budaya dari tinggal di rumah biasa dengan tinggal di rumah susun, pemerintah harus menyiapkan masyarakat bagaimana cara tinggal dan hidup di rumah susun atau apartemen tersebut.

"Bisa diawali dengan membangun rumah susun setinggi empat atau lima lantai saja sehingga tidak perlu lift," kata pengajar di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Undip tersebut.

Pendapat Prof Eko dikuatkan Endy Subijono, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).

Menurut Endy, karena keterbatasan lahan perumahan, tinggal di rumah susun menjadi pilihan yang tidak terelakkan bagi masyarakat Indonesia di masa depan.

"Harga tanah akan semakin mahal sehingga bagi pengembang akan lebih menguntungkan membangun rumah susun ketimbang rumah biasa," kata Endy di sela acara Musyawarah Nasional (Munas) XIII IAI di Hotel Novotel, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Di sisi lain, pengembangan rumah susun juga membawa manfaat penghematan lahan. Lahan yang sedianya untuk pemukiman bisa dijadikan hutan kota, atau lahan terbuka hijau, atau pembangunan fasilitas-fasilitas umum lainnya.

"Tentu saja, bila berada di kawasan yang tepat, bisa dibangun fasilitas-fasilitas bisnis yang menguntungkan kota," ujarnya.

Sabtu, 30 April 2011

Dari Gedung Lahir Perilaku

Oleh Edi Purwanto

POLEMIK terkait dengan rencana pembangunan gedung baru DPR makin meluas dan terbuka. Berbagai argumentasi mengemuka dari pihak yang pro dan kontra (SM, 31/03/11). Selama ini rencana pembangunan gedung DPR dinilai tidak transparan oleh sementara pihak. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), yang punya kompetensi terhadap desain arsitektural pernah meminta pimpinan DPR untuk mengadakan sayembara desain gedung baru itu namun tidak ditanggapi secara serius.

Legitimasi sayembara desain proyek-proyek pemerintah dituangkan dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, dan ditegaskan lagi melalui penggantinya, Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Perencanaan pembangunan melalui sayembara dapat dilakukan tanpa menghentikan keterlibatan dan tanpa memutus kontrak kerja konsultan perencana yang sudah ada.

Sekadar menyegarkan ingatan pembaca, awal 1960-an, gedung lama DPR dengan bentuk atapnya yang unik (dulu bernama gedung Conefo, akronim dari Conference of New Emerging Forces, yang juga merupakan hasil sayembara tahun 1965) menjadi tempat berkumpulnya arsitek, ahli sipil bangunan, dan insinyur disiplin ilmu lainnya, untuk merancang dan mengawasi pembangunan bersama-sama di bawah pimpinan arsitek Soejoedi Wiroatmojo Dipl Ing.

Adapun desain gedung baru DPR yang berbentuk gerbang atau huruf U terbalik, disebutkan mencerminkan filosofi latar belakang anggota DPR yang beragam daerah dan budaya. Gerbang juga menyimbolkan metafora dari harapan bagi kemakmuran bangsa dengan dua pilar kokoh di atasnya. Jika kita mengamati seksama maket dan sketsa gambar yang dipublikasikan maka terlihat rancangan baru itu melemahkan eksistensi gedung lama (dengan bentuk atap yang unik) sebagai bangunan monumental. Skala bangunan baru yang sedemikian besar mendominasi kawasan.
Desain Serupa Hal ini berbeda dari pembangunan Manggala Wanabakti, yang merupakan ‘’perluasan’’ kantor Departemen Kehutanan tahun 1980-an. Konsep desain gedung baru berlantai 14 itu justru sangat menghargai dan memberi penguatan posisi gedung DPR/ MPR, yang berada di blok yang sama. Kini, rancangan gedung baru DPR selain berkesan mewah, juga angkuh dan tidak ramah sehingga tidak welcome bagi rakyat kecil yang ingin menyampaikan aspirasinya. Psikologi ruang itu bisa makin menjauhkan jarak hubungan antara rakyat dan wakilnya. Rancangan gedung baru itu juga tidak memenuhi asas kepatutan dikaitkan dengan situasi keuangan negara.

Berdasarkan maketnya, model huruf U terbalik bukanlah desain orisinal, setidak-tidaknya ada beberapa gedung di negara lain yang mirip itu, seperti Gedung Kongres Chili, hanya beda ketinggian, dan gedung Grand Arch di Le Defence, yang malah sangat mirip, di Champs de Ellysee, jalan yang panjang dan terkenal di Paris.

Desain gedung baru DPR juga cenderung mengadopsi konsep arsitektur modern, yang lahir di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat tahun 1960-an, kelanjutan dari revolusi industri setelah digunakannya baja sebagai bahan bangunan. Padahal konsep arsitektur modern itu sudah ditinggalkan oleh para arsitek karena dianggap punya banyak kelemahan, di antaranya menjadikan wajah berbagai kota menjadi tunggal rupa, dan cenderung tidak mempunyai rasa dan makna bagi penghuninya.

Mudah-mudahan arsitek perancang gedung baru DPR menyadari kekeliruannya, bahwa kasus-kasus kegagalan penerapan konsep arsitektur modern di beberapa bangunan berlantai banyak yang terbukti berdampak pada penyimpangan perilaku sosial, budaya, dan psikologis penghuninya. Dalam konteks ini berarti anggota DPR, penghuni gedung tersebut.

Di sinilah pentingnya pembelajaran arti berdemokrasi dalam mendesain, terutama untuk perancangan gedung yang punya orientasi publik dan menggunakan dana besar dari rakyat. Pelibatan sedini mungkin pemangku kebijakan dalam proses perencanaan dan perancangan akan memberi manfaat dengan didapatkannya masukan berupa ide dan gagasan konstruktif dan positif. (10)


— Dr Ir Edi Purwanto MT, Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur Undip

ANDA PENGUNJUNG KE :