Dia arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di negeri ini. Bung Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Friedrich Silaban, seorang penganut Kristen Protestan yang taat kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, wafat dalam usia 72 tahun pada hari Senin, 14 Mei 1984 RSPAD Gatot Subroto Jakarta, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.
Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi demikian, namun begitulah memang gambaran toleransi beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim. Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan mesjid yang sangat monumental tersebut.
Pekerjaan karya besar demikian, memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan jiwa besarnya tadi. Sebab dengan perbedaan latar belakang kepercayaan tersebut, maka ia harus terlebih dahulu mampu menjawab pertanyaan yang timbul dalam hati nuraninya sendiri. Pertanyaan dimaksud adalah pantaskah ia sebagai seorang pemeluk Agama Kristen Protestan membuat desain sebuah mesjid?
Sedangkan mesjid dalam hal ini bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap genting, dengan dinding batu bata semata. Melainkan merupakan bangunan yang disucikan sebagai tempat umat Islam beribadah dan melakukan kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi mesjid disini adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).
Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara dijamannya. Karenanya, bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan tahun kelak.
Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara dijamannya. Karenanya, bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan tahun kelak.
Pencetus ide pembangunan mesjid ini sendiri adalah KH Wahid Hasyim yang kala itu menjabat sebagai Menteri Agama RI pertama. Selanjutnya, pada 1950 ayah KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat) ini bersama-sama dengan H Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman melembagakannya dengan membentuk Yayasan Mesjid Istiqlal.
Lembaga ini kemudian dikukuhkan di hadapan notaris Elisa Pondang pada tanggal 7 Desember 1954. Yayasan Mesjid Istiqlal mengharapkan adanya mesjid yang kelak dapat menjadi identitas bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Gagasan dimaksud, juga mendapat dukungan dari Ir. Soekarno, Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden bersedia membantu pembangunan mesjid.
Demi mendapatkan hasil terbaik, desain mesjid sengaja diperlombakan. Untuk itu dibentuklah tim juri yang beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi. Hamka, H. AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Lembaga ini kemudian dikukuhkan di hadapan notaris Elisa Pondang pada tanggal 7 Desember 1954. Yayasan Mesjid Istiqlal mengharapkan adanya mesjid yang kelak dapat menjadi identitas bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Gagasan dimaksud, juga mendapat dukungan dari Ir. Soekarno, Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden bersedia membantu pembangunan mesjid.
Demi mendapatkan hasil terbaik, desain mesjid sengaja diperlombakan. Untuk itu dibentuklah tim juri yang beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi. Hamka, H. AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Istana Negara dan Istana Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri memutuskan desain kreasi Silaban yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya.
Sedangkan lokasinya diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak di mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai ABRI turun bahu-membahu bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu pertamapun dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.
Pembangunan mesjid ini memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun. Panjangnya waktu ini karena pembangunannya memang sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Disamping itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan monumen lainnya, seperti Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.
Bahkan meletusnya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI pada 1965, mengakibatkan pembangunannya sempat berhenti total. Dan baru dimulai kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusanpun diganti dan ditangani langsung oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.
Mesjid dengan arsitektur bergaya modern yang memiliki luas bangunan sekitar empat hektar dengan luas tanah mencapai sembilan setengah hektar dan terbagi atas beberapa bagian, yakni gedung induk dan qubah, gedung pendahuluan dan emper penghubung, teras raksasa dan emper keliling, menara, halaman, taman, air mancur, serta ruang wudhu itu akhirnya terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.
Di Mesjid ini, beragam kegiatan diselenggarakan, diantaranya kuliah zuhur, taklim magrib, pengajian kaum ibu, pengajian bulanan, bimbingan qiro atul Qur’an, pengajian tinggi Istiqlal, pusat perpustakaan Islam Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.
Pergulatan Hati Silaban.
Menjawab pertanyaan hati nuraninya mengenai pantas tidaknya dirinya membangun sebuah mesjid, maka sebelum Silaban mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal tersebut, ia minta nasehat dari Monsigneur Geisse, seorang uskup dari Bogor. Dan terutama memohon petunjuk dari Tuhan Allahnya sendiri.
“Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta. Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara”, begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.
Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba), Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa ketika hendak mengikuti sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Tuhan mengijinkannya, maka iapun mengikuti. Begitulah akhirnya hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.
Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal tersebut serta penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami kedalamnya, membuat desain Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang berdaya tampung 100.000-an tersebut.
Kisah dengan Bung Karno.
Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan apa yang sudah diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga menggoreskan kenangan manis dalam perjalanan hidupnya. Sifat pendirian yang konsisten itu telah membuat hubungannya dengan Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita dimaksud diungkapkannya pada Solichin Salam dalam satu wawancara pada bulan Pebruari 1978.
Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya dengan Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering berselisih pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam perselisihan pendapat itu, katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus terang bahwa beliau yang salah dan Silabanlah yang benar.
Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora (ibu), ini pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya sampai mati. “Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah kompleks Bangunan Olah Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan”, kata Silaban saat itu.
“Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu ‘sport complex’ yang berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah jalan raya yang nanti akan menjadi jalan raya yang tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut manajemen dan organisasi, ini akan menyulitkan secara terus menerus dan berganda. Betul saya lihat di sini (gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di bawah jalan Jenderal Sudirman, tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.
Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus kebanjiran, sehingga membutuhkan pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya. Tenaga listrik untuk itu dan untuk penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya, sehingga cukup untuk sebuah kota menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan saya. Keberatan terbesar adalah masalah lalu-1intas. Duku Atas terlalu dekat kepada bundaran Jalan Thamrin seperti tadi saya telah katakan, maka jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila ada ‘sport festival’di ‘Asian Games Complex’ itu” katanya.
Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton pertandingan pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00 (siang) kalau tidak, mereka tidak akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden mau jalan, selalu didahului ‘voorrijders’ dengan sirenenya, sehingga tidak pernah mengalami apa yang harus dihadapi oleh rakyat.
“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat untuk Asian Games itu, maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas pada hari-hari ada acara sport di Asian Games Complex, di jalan itu akan macet total. Kalau Presiden tokh mempertahankan tanah Duku Atas itu dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya lihat, maka saya khawatir, bahwa kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu”, begitu kritik Silaban dengan jujur kepada Bung Karno ketika itu.
Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, “Ya, Presiden Soekarno yang salah dan Silaban yang benar”. Itulah kenangan yang tak pernah dilupakannya sampai akhir hidupnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di H.I.S. Narumonda, Tapanuli tahun 1927, Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta pada tahun 1931, dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, Ia kemudian bekerja menjadi pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937) dan sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.
Di zaman kolonial, ayah dari 10 orang anak dan kakek 5 orang cucu, ini sudah menunjukkan prestasi-prestasi yang gemi1ang, seperti misalnya ia berhasil memenangkan sayembara perencanaan rumah Walikota Bogor (1935) dan beberapa hotel. Dalam sayembara-sayembara tersebut, hanya dialah satu-satunya arsitek pribumi. Karyanya dalam membuat monumen mengenang orang-orang Belanda yang gugur melawan Nazi Jerman di masa Perang Dunia II, membuatnya mendapat pujian dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Telah banyak karyanya yang sungguh mengagumkan, diantaranya adalah Mesjid Istqlal, Monumen Nasional, Gelora Senayan dan lain-lain.
Karya-karyanya itu jualah yang menobatkannya menjadi orang yang dianggap pantas mendapat penghargaan-penghargaan, baik dari bangsanya sendiri maupun dari luar bangsanya. Penghargaan dimaksud antara lain berupa tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang disematkan oleh Presiden Sukarno pada tahun1962. Penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. Di samping itu Qubah Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat sebagai hak ciptanya, sehingga disebut sebagai “Si1aban Dom”, atau qubah Si1aban.
Tokoh yang dijuluki Bung Karno sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal, ini akhirnya tutup usia di RSP AD Gatot Subroto Jakarta, pada hari Senin, 14 Mei 1984, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.
Ia pergi dengan hati bangga, karena hasil karya besarnya telah menjadi kenyataan. Silaban yang sampai akhir hayatnya masih tetap menjabat sebagai Wakil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid Istiqlal Jakarta itu akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai arsitek dari Mesjid Istiqlal. Sebuah mesjid yang termegah di Asia Tenggara pada jamannya.
Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Tapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman.
(Sumber: Wajah-wajah Nasional oleh: Solichin Salam dan berbagai sumber lain.)
Sedangkan lokasinya diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak di mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai ABRI turun bahu-membahu bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu pertamapun dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.
Pembangunan mesjid ini memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun. Panjangnya waktu ini karena pembangunannya memang sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Disamping itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan monumen lainnya, seperti Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.
Bahkan meletusnya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI pada 1965, mengakibatkan pembangunannya sempat berhenti total. Dan baru dimulai kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusanpun diganti dan ditangani langsung oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.
Mesjid dengan arsitektur bergaya modern yang memiliki luas bangunan sekitar empat hektar dengan luas tanah mencapai sembilan setengah hektar dan terbagi atas beberapa bagian, yakni gedung induk dan qubah, gedung pendahuluan dan emper penghubung, teras raksasa dan emper keliling, menara, halaman, taman, air mancur, serta ruang wudhu itu akhirnya terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.
Di Mesjid ini, beragam kegiatan diselenggarakan, diantaranya kuliah zuhur, taklim magrib, pengajian kaum ibu, pengajian bulanan, bimbingan qiro atul Qur’an, pengajian tinggi Istiqlal, pusat perpustakaan Islam Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.
Pergulatan Hati Silaban.
Menjawab pertanyaan hati nuraninya mengenai pantas tidaknya dirinya membangun sebuah mesjid, maka sebelum Silaban mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal tersebut, ia minta nasehat dari Monsigneur Geisse, seorang uskup dari Bogor. Dan terutama memohon petunjuk dari Tuhan Allahnya sendiri.
“Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta. Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara”, begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.
Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba), Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa ketika hendak mengikuti sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Tuhan mengijinkannya, maka iapun mengikuti. Begitulah akhirnya hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.
Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal tersebut serta penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami kedalamnya, membuat desain Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang berdaya tampung 100.000-an tersebut.
Kisah dengan Bung Karno.
Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan apa yang sudah diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga menggoreskan kenangan manis dalam perjalanan hidupnya. Sifat pendirian yang konsisten itu telah membuat hubungannya dengan Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita dimaksud diungkapkannya pada Solichin Salam dalam satu wawancara pada bulan Pebruari 1978.
Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya dengan Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering berselisih pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam perselisihan pendapat itu, katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus terang bahwa beliau yang salah dan Silabanlah yang benar.
Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora (ibu), ini pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya sampai mati. “Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah kompleks Bangunan Olah Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan”, kata Silaban saat itu.
“Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu ‘sport complex’ yang berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah jalan raya yang nanti akan menjadi jalan raya yang tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut manajemen dan organisasi, ini akan menyulitkan secara terus menerus dan berganda. Betul saya lihat di sini (gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di bawah jalan Jenderal Sudirman, tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.
Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus kebanjiran, sehingga membutuhkan pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya. Tenaga listrik untuk itu dan untuk penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya, sehingga cukup untuk sebuah kota menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan saya. Keberatan terbesar adalah masalah lalu-1intas. Duku Atas terlalu dekat kepada bundaran Jalan Thamrin seperti tadi saya telah katakan, maka jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila ada ‘sport festival’di ‘Asian Games Complex’ itu” katanya.
Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton pertandingan pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00 (siang) kalau tidak, mereka tidak akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden mau jalan, selalu didahului ‘voorrijders’ dengan sirenenya, sehingga tidak pernah mengalami apa yang harus dihadapi oleh rakyat.
“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat untuk Asian Games itu, maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas pada hari-hari ada acara sport di Asian Games Complex, di jalan itu akan macet total. Kalau Presiden tokh mempertahankan tanah Duku Atas itu dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya lihat, maka saya khawatir, bahwa kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu”, begitu kritik Silaban dengan jujur kepada Bung Karno ketika itu.
Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, “Ya, Presiden Soekarno yang salah dan Silaban yang benar”. Itulah kenangan yang tak pernah dilupakannya sampai akhir hidupnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di H.I.S. Narumonda, Tapanuli tahun 1927, Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta pada tahun 1931, dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, Ia kemudian bekerja menjadi pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937) dan sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.
Di zaman kolonial, ayah dari 10 orang anak dan kakek 5 orang cucu, ini sudah menunjukkan prestasi-prestasi yang gemi1ang, seperti misalnya ia berhasil memenangkan sayembara perencanaan rumah Walikota Bogor (1935) dan beberapa hotel. Dalam sayembara-sayembara tersebut, hanya dialah satu-satunya arsitek pribumi. Karyanya dalam membuat monumen mengenang orang-orang Belanda yang gugur melawan Nazi Jerman di masa Perang Dunia II, membuatnya mendapat pujian dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Telah banyak karyanya yang sungguh mengagumkan, diantaranya adalah Mesjid Istqlal, Monumen Nasional, Gelora Senayan dan lain-lain.
Karya-karyanya itu jualah yang menobatkannya menjadi orang yang dianggap pantas mendapat penghargaan-penghargaan, baik dari bangsanya sendiri maupun dari luar bangsanya. Penghargaan dimaksud antara lain berupa tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang disematkan oleh Presiden Sukarno pada tahun1962. Penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. Di samping itu Qubah Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat sebagai hak ciptanya, sehingga disebut sebagai “Si1aban Dom”, atau qubah Si1aban.
Tokoh yang dijuluki Bung Karno sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal, ini akhirnya tutup usia di RSP AD Gatot Subroto Jakarta, pada hari Senin, 14 Mei 1984, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.
Ia pergi dengan hati bangga, karena hasil karya besarnya telah menjadi kenyataan. Silaban yang sampai akhir hayatnya masih tetap menjabat sebagai Wakil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid Istiqlal Jakarta itu akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai arsitek dari Mesjid Istiqlal. Sebuah mesjid yang termegah di Asia Tenggara pada jamannya.
Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Tapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman.
(Sumber: Wajah-wajah Nasional oleh: Solichin Salam dan berbagai sumber lain.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA