Han Awal, seorang arsitek santun bersuara lembut lamat-lamat. Arsitek yang ikut berperan merancang Gedung MPR/DPR sebagai asisten arsitek Soejoedi, itu lahir di Malang, 16 September 1930. Karya penerima penghargaan Prof Teeuw Award, itu sudah tersebar di beberapa tempat. Belakangan, dia lebih dikenal sebagai arsitek konservatoris.
Han menyukai arsitektur setelah terinspirasi keindahan Kota Malang, tempat kelahirannya. "Malang itu kota yang ideal. Kota yang nyaman dan memiliki banyak bangunan indah. Saya sangat terkesan," kata Han, bapak empat anak dan kakek empat cucu ini.
Saat lulus SMA tahun 1950, Han sebetulnya ingin belajar arsitektur di ITB. Namun, waktu itu ITB belum memiliki jurusan arsitektur. Terpengaruh brosur program pendidikan ahli bangunan di Technische Hoogeschool di Delft, Belanda, ia melanjutkan studi di sekolah itu dengan beasiswa dari Keuskupan Malang. Di tempat ini, dia berkenalan dengan mahasiswa asal Indonesia, seperti Bianpoen, Soewondo, Pamoentjak, dan Soejoedi.
Ketegangan hubungan Indonesia-Belanda gara-gara sengketa Papua mulai terasa akhir tahun 1956. Ini membuat Han pindah ke Jerman dan melanjutkan kuliah arsitektur di Technische Universitat, Berlin Barat, dan lulus tahun 1960.
"Di Belanda, saya banyak belajar arsitektur dari segi teknis. Mungkin karena negerinya kecil, para arsitek Belanda sangat mementingkan presisi. Perbedaan ukuran sesentimeter saja bisa dipersoalkan. Baru di Jerman saya mendapat pengetahuan tentang konsep-konsep besar arsitektur," ceritanya.
Sebagai arsitek, jejak Han tersebar di banyak tempat. Di Jakarta, sentuhan Han, misalnya, bisa dilihat di Gedung MPR/DPR. Ia menjadi asisten arsitek Soejoedi dalam proyek pembangunan gedung megah di Senayan, yang awalnya dibangun sebagai Gedung Conefo (Conference of New Emerging Forces) 1964-1972. Kampus Universitas Katolik Atma Jaya di Semanggi dan gedung sekolah Pangudi Luhur di Kebayoran Baru, Jakarta, juga karya dia.
Ciri banyak bangunan karya Han adalah kesederhanaan, dengan dinding dan langit-langit yang sering dibiarkan telanjang. Ia juga mempertimbangkan iklim tropis Indonesia saat merancang, misalnya dengan memperhitungkan sirkulasi udara silang agar bangunan tak perlu pendingin ruang dan hemat energi.
"Prinsip arsitektur tropis tak selalu bisa diterapkan. Teori ventilasi silang, misalnya, hanya cocok untuk gedung rendah. Untuk bangunan tinggi, teori ini tak bisa dipakai karena di lantai-lantai atas angin terlalu kencang," papar Han yang merasa sebagai arsitek fungsionalis ketimbang minimalis.
Mendalami konservasi
Han belakangan lebih dikenal sebagai arsitek konservatoris yang menggeluti pemugaran bangunan-bangunan tua. Pada tahun 1988 ia terlibat proyek pemugaran Katedral Jakarta yang sudah mengalami kerusakan berat di berbagai bagian. Ia mengusulkan mengganti atap sirap gereja Katolik yang hampir berusia seabad itu dengan pelat tembaga yang tahan lama.
Karya Han yang monumental di bidang pemugaran adalah Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Bersama arsitek Belanda, Cor Passchier dan Budi Lim, arsitek lulusan Inggris, ia terlibat pemugaran besar-besaran atas gedung yang dibangun pejabat VOC, Renier de Klerk, akhir abad ke-18 itu. Pemugaran dibiayai oleh berbagai pihak swasta di Belanda, sebagai hadiah ulang tahun emas Proklamasi Kemerdekaan RI, tahun 1995.
"Bangunan tua harus diberi aura baru, sesuai dengan tuntutan zaman. Lampu harus dibuat lebih terang dari dulu, juga pengatur udara," kata Han yang sangat memerhatikan detail.
Dalam menggarap pemugaran bangunan tua, ia sering terkesima dengan aspek estetis dan budaya yang melekat pada bangunan itu. Untuk merekam semua itulah, Han mendirikan Pusat Dokumentasi Arsitektur bersama sejumlah arsitek.
"Bangunan-bangunan tua umumnya tak lagi mempunyai gambar, baik gambar desain arsitektur maupun konstruksi. Jadi, untuk memugar, saya harus mengukur ulang. Saya sering terpaksa melakukan penggalian data sampai ke Belanda, KITLV di Leiden, Koninklijk Instituut voor de Tropen di Amsterdam, atau kepada teman-teman yang juga bekerja pada konservasi," ujarnya.
Han pun menjalin pertemanan dengan para arsitek Belanda, termasuk Cor Passchier. Kerja sama intensif baru terjadi setelah ia bertemu para arsitek Negeri Kincir itu di sebuah seminar tentang bangunan warisan sejarah di Indonesia yang digelar IAI tahun 1980-an.
"Sebagai pemugar bangunan tua, saya menemukan hal-hal tak terduga. Ternyata, tak semua bangunan tua bikinan Belanda itu baik. Banyak konstruksi yang diselewengkan dan kaidah arsitektur yang tak dilaksanakan dengan benar. Konstruksi jadi tambal sulam. Tapi, itu kan manusiawi dan bukan hal memalukan," papar Han.
Penghargaan Profesor Teeuw
Han kini sedang sibuk menangani pemugaran Gedung Bank Indonesia, Jakarta Kota. Bekas gedung Javasche Bank, bank sentral Hindia Belanda yang berdiri sejak 1828. Setelah itu, ia berencana memugar bangunan Gereja Imanuel, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, dan sebuah rumah tua di Jalan Prapatan, Jakarta. Bangunan itu pada abad ke-19 adalah rumah seorang mayor China.
Pertengahan Agustus 2007, dalam sebuah acara di Erasmus Huis, Jakarta, dia menjadi salah satu dari tiga orang Indonesia yang dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw. Penghargaan yang menggunakan nama Profesor AA Teeuw, guru besar kajian budaya Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, itu diberikan dua tahun sekali sejak 1992 kepada warga Indonesia atau Belanda yang dinilai berjasa meningkatkan hubungan kebudayaan kedua negara. (www.tokohindonesia.com)
Han menyukai arsitektur setelah terinspirasi keindahan Kota Malang, tempat kelahirannya. "Malang itu kota yang ideal. Kota yang nyaman dan memiliki banyak bangunan indah. Saya sangat terkesan," kata Han, bapak empat anak dan kakek empat cucu ini.
Saat lulus SMA tahun 1950, Han sebetulnya ingin belajar arsitektur di ITB. Namun, waktu itu ITB belum memiliki jurusan arsitektur. Terpengaruh brosur program pendidikan ahli bangunan di Technische Hoogeschool di Delft, Belanda, ia melanjutkan studi di sekolah itu dengan beasiswa dari Keuskupan Malang. Di tempat ini, dia berkenalan dengan mahasiswa asal Indonesia, seperti Bianpoen, Soewondo, Pamoentjak, dan Soejoedi.
Ketegangan hubungan Indonesia-Belanda gara-gara sengketa Papua mulai terasa akhir tahun 1956. Ini membuat Han pindah ke Jerman dan melanjutkan kuliah arsitektur di Technische Universitat, Berlin Barat, dan lulus tahun 1960.
"Di Belanda, saya banyak belajar arsitektur dari segi teknis. Mungkin karena negerinya kecil, para arsitek Belanda sangat mementingkan presisi. Perbedaan ukuran sesentimeter saja bisa dipersoalkan. Baru di Jerman saya mendapat pengetahuan tentang konsep-konsep besar arsitektur," ceritanya.
Sebagai arsitek, jejak Han tersebar di banyak tempat. Di Jakarta, sentuhan Han, misalnya, bisa dilihat di Gedung MPR/DPR. Ia menjadi asisten arsitek Soejoedi dalam proyek pembangunan gedung megah di Senayan, yang awalnya dibangun sebagai Gedung Conefo (Conference of New Emerging Forces) 1964-1972. Kampus Universitas Katolik Atma Jaya di Semanggi dan gedung sekolah Pangudi Luhur di Kebayoran Baru, Jakarta, juga karya dia.
Ciri banyak bangunan karya Han adalah kesederhanaan, dengan dinding dan langit-langit yang sering dibiarkan telanjang. Ia juga mempertimbangkan iklim tropis Indonesia saat merancang, misalnya dengan memperhitungkan sirkulasi udara silang agar bangunan tak perlu pendingin ruang dan hemat energi.
"Prinsip arsitektur tropis tak selalu bisa diterapkan. Teori ventilasi silang, misalnya, hanya cocok untuk gedung rendah. Untuk bangunan tinggi, teori ini tak bisa dipakai karena di lantai-lantai atas angin terlalu kencang," papar Han yang merasa sebagai arsitek fungsionalis ketimbang minimalis.
Mendalami konservasi
Han belakangan lebih dikenal sebagai arsitek konservatoris yang menggeluti pemugaran bangunan-bangunan tua. Pada tahun 1988 ia terlibat proyek pemugaran Katedral Jakarta yang sudah mengalami kerusakan berat di berbagai bagian. Ia mengusulkan mengganti atap sirap gereja Katolik yang hampir berusia seabad itu dengan pelat tembaga yang tahan lama.
Karya Han yang monumental di bidang pemugaran adalah Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Bersama arsitek Belanda, Cor Passchier dan Budi Lim, arsitek lulusan Inggris, ia terlibat pemugaran besar-besaran atas gedung yang dibangun pejabat VOC, Renier de Klerk, akhir abad ke-18 itu. Pemugaran dibiayai oleh berbagai pihak swasta di Belanda, sebagai hadiah ulang tahun emas Proklamasi Kemerdekaan RI, tahun 1995.
"Bangunan tua harus diberi aura baru, sesuai dengan tuntutan zaman. Lampu harus dibuat lebih terang dari dulu, juga pengatur udara," kata Han yang sangat memerhatikan detail.
Dalam menggarap pemugaran bangunan tua, ia sering terkesima dengan aspek estetis dan budaya yang melekat pada bangunan itu. Untuk merekam semua itulah, Han mendirikan Pusat Dokumentasi Arsitektur bersama sejumlah arsitek.
"Bangunan-bangunan tua umumnya tak lagi mempunyai gambar, baik gambar desain arsitektur maupun konstruksi. Jadi, untuk memugar, saya harus mengukur ulang. Saya sering terpaksa melakukan penggalian data sampai ke Belanda, KITLV di Leiden, Koninklijk Instituut voor de Tropen di Amsterdam, atau kepada teman-teman yang juga bekerja pada konservasi," ujarnya.
Han pun menjalin pertemanan dengan para arsitek Belanda, termasuk Cor Passchier. Kerja sama intensif baru terjadi setelah ia bertemu para arsitek Negeri Kincir itu di sebuah seminar tentang bangunan warisan sejarah di Indonesia yang digelar IAI tahun 1980-an.
"Sebagai pemugar bangunan tua, saya menemukan hal-hal tak terduga. Ternyata, tak semua bangunan tua bikinan Belanda itu baik. Banyak konstruksi yang diselewengkan dan kaidah arsitektur yang tak dilaksanakan dengan benar. Konstruksi jadi tambal sulam. Tapi, itu kan manusiawi dan bukan hal memalukan," papar Han.
Penghargaan Profesor Teeuw
Han kini sedang sibuk menangani pemugaran Gedung Bank Indonesia, Jakarta Kota. Bekas gedung Javasche Bank, bank sentral Hindia Belanda yang berdiri sejak 1828. Setelah itu, ia berencana memugar bangunan Gereja Imanuel, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, dan sebuah rumah tua di Jalan Prapatan, Jakarta. Bangunan itu pada abad ke-19 adalah rumah seorang mayor China.
Pertengahan Agustus 2007, dalam sebuah acara di Erasmus Huis, Jakarta, dia menjadi salah satu dari tiga orang Indonesia yang dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw. Penghargaan yang menggunakan nama Profesor AA Teeuw, guru besar kajian budaya Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, itu diberikan dua tahun sekali sejak 1992 kepada warga Indonesia atau Belanda yang dinilai berjasa meningkatkan hubungan kebudayaan kedua negara. (www.tokohindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA