Kebanggaan dan rasa memiliki terhadap pusaka kita mungkin juga dapat membantu dalam meningkatkan rasa nasionalisme dalam arti dan semangat yang lebih luas. Dari melestarikan dan mengelola pusaka itu diharapkan dapat memberikan gagasan baru dalam pengembangan khazanah seni budaya maupun desain arsitektur Indonesia. Selain itu, juga dapat menjadi jalan alternatif dalam membangun kembali puing-puing perekonomian.
Sebelum profesi arsitek berkembang di awal abad-20, semua bangunan yang ada didirikan oleh ahli/tukang bangunan.Jauh sebelum itu bahkan bangunan didirikan atas petunjuk pemimpin adat/agama. Tak heran bila semua bangunan tradisional di bumi Nusantara sangat memperhatikan ruang kosmis sebuah pemahaman yang sangat memperhatikan kehadiran Sang Pencipta dalam setiap benda di alam semesta ini. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh tetapi juga sebagai simbol ritual adat/kepercayaan maupun kegiatan sosial.
Pemahaman ini cukup memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk selalu menjaga dan mengelola alam lingkungan secara seimbang, sehingga kebudayaan, bentangan alam serta adat istiadat pun dapat lestari dan berkembang dengan baik.
Bentuk arsitektur tradisional memiliki kekhasan yang sama seperti bentuk atap yang dominan dan beragam sebagai upaya menyesuaikan curah hujan yang tinggi maupun struktur bangunan yang ringan sebagai bentuk keluwesan dalam menghadapi gempa bumi yang sering terjadi. Dalam pembagian fungsi ruang pun juga cukup beragam, dari yang sederhana (satu ruang serbaguna) hingga yang kompleks, tergantung tingkat kemajuan kebudayaannya.
Candi Borobudur dan Kota Trowulan adalah salah satu bukti lain kecanggihan pusaka arsitektur yang masih dapat diamati. Candi Borobudur tak hanya sebagai candi dan monumen umat Budha terbesar di dunia, tapi juga merupakan kitab hidup Budha karena di dalamnya terdapat ornamen dinding yang menggambarkan dengan lengkap ajarannya dan dipadu dengan tipologi ruang yang menghantarkan kita pada sebuah proses perjalanan kehidupan manusia di dunia ini secara universal.
Kota Trowulan yang merupakan ibukota Kerajaan Majapahit dapat dikatakan sebagai kota modern pertama di bumi Nusantara. Kota ini dirancang dengan perencanaan ruang, infrastruktur jalan dan sistem pengairan yang cukup baik sebuah masterplan yang tidak hanya baik dalam mengakomodasikan kebutuhan fungsi kegiatan tapi juga berupaya tidak mengganggu ekosistem alam. Adanya sistem saluran kota yang terpadu, tak hanya berfungsi untuk pencegahan bencana banjir tapi juga sebagai irigasi bagi persawahan di sekitarnya.
Semasa Imperalisme Barat menguasai negara kepulauan ini, pengaruh arsitektur Barat pun mulai memperkaya khazanah lingkungan binaan di bumi Nusantara. Teknologi bahan cukup mempengaruhi bentuk arsitektur setempat. Berawal dari bahan bangunan yang bersifat non-permanen beranjak ke material permanen yang lebih kokoh.
Dalam perjalanannya arsitektur kolonial mulai beradaptasi dan berasimilasi dengan kondisi budaya maupun iklim setempat. Gaya arsitektur Nieuw-Indische building style yang mulai tumbuh pada dasawarsa kedua abad-20, sebenarnya cukup memberikan kontribusi terhadap perkembangan arsitektur Indonesia. Beberapa penyesuaian dilakukan, seperti pelebaran teritis atas, penambahan ruang teras sebagai bantalan udara, juga lubang-lubang angin untuk ventilasi sirkulasi udara silang.
Pada masa ini juga berkembang ruang kota dengan pengulangan bentuk ruang Alun-alun yang diambil dari khazanah ruang tradisional, menjadi simbol pusat pemerintahan di kota-kota yang dikembangkan Hindia Belanda. Sayangnya, setelah masa kemerdekaan, terutama semasa Orde Baru, gaya arsitektur Indonesia ini sepertinya tak dikembangkan lagi. Apalagi ketika uang sekarang telah menjadi tuhan bagi kebanyakan orang.
Arsitektur tradisional maupun arsitektur kolonial yang sudah dapat berasimilasi dengan budaya setempat mulai dilupakan dan dianggap kuno. Pemanfaatan dan pengembangan konsep arsitektur tradisional menjadi berkurang. Yang ada adalah penghancuran bangunan tua yang meraja-lela. Semua itu hanya untuk kepentingan komersial (uang) dan melupakan pusaka arsitektur kita. Oleh: Aditya W. Fitrianto (TEMPO)
Sebelum profesi arsitek berkembang di awal abad-20, semua bangunan yang ada didirikan oleh ahli/tukang bangunan.Jauh sebelum itu bahkan bangunan didirikan atas petunjuk pemimpin adat/agama. Tak heran bila semua bangunan tradisional di bumi Nusantara sangat memperhatikan ruang kosmis sebuah pemahaman yang sangat memperhatikan kehadiran Sang Pencipta dalam setiap benda di alam semesta ini. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh tetapi juga sebagai simbol ritual adat/kepercayaan maupun kegiatan sosial.
Pemahaman ini cukup memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk selalu menjaga dan mengelola alam lingkungan secara seimbang, sehingga kebudayaan, bentangan alam serta adat istiadat pun dapat lestari dan berkembang dengan baik.
Bentuk arsitektur tradisional memiliki kekhasan yang sama seperti bentuk atap yang dominan dan beragam sebagai upaya menyesuaikan curah hujan yang tinggi maupun struktur bangunan yang ringan sebagai bentuk keluwesan dalam menghadapi gempa bumi yang sering terjadi. Dalam pembagian fungsi ruang pun juga cukup beragam, dari yang sederhana (satu ruang serbaguna) hingga yang kompleks, tergantung tingkat kemajuan kebudayaannya.
Candi Borobudur dan Kota Trowulan adalah salah satu bukti lain kecanggihan pusaka arsitektur yang masih dapat diamati. Candi Borobudur tak hanya sebagai candi dan monumen umat Budha terbesar di dunia, tapi juga merupakan kitab hidup Budha karena di dalamnya terdapat ornamen dinding yang menggambarkan dengan lengkap ajarannya dan dipadu dengan tipologi ruang yang menghantarkan kita pada sebuah proses perjalanan kehidupan manusia di dunia ini secara universal.
Kota Trowulan yang merupakan ibukota Kerajaan Majapahit dapat dikatakan sebagai kota modern pertama di bumi Nusantara. Kota ini dirancang dengan perencanaan ruang, infrastruktur jalan dan sistem pengairan yang cukup baik sebuah masterplan yang tidak hanya baik dalam mengakomodasikan kebutuhan fungsi kegiatan tapi juga berupaya tidak mengganggu ekosistem alam. Adanya sistem saluran kota yang terpadu, tak hanya berfungsi untuk pencegahan bencana banjir tapi juga sebagai irigasi bagi persawahan di sekitarnya.
Semasa Imperalisme Barat menguasai negara kepulauan ini, pengaruh arsitektur Barat pun mulai memperkaya khazanah lingkungan binaan di bumi Nusantara. Teknologi bahan cukup mempengaruhi bentuk arsitektur setempat. Berawal dari bahan bangunan yang bersifat non-permanen beranjak ke material permanen yang lebih kokoh.
Dalam perjalanannya arsitektur kolonial mulai beradaptasi dan berasimilasi dengan kondisi budaya maupun iklim setempat. Gaya arsitektur Nieuw-Indische building style yang mulai tumbuh pada dasawarsa kedua abad-20, sebenarnya cukup memberikan kontribusi terhadap perkembangan arsitektur Indonesia. Beberapa penyesuaian dilakukan, seperti pelebaran teritis atas, penambahan ruang teras sebagai bantalan udara, juga lubang-lubang angin untuk ventilasi sirkulasi udara silang.
Pada masa ini juga berkembang ruang kota dengan pengulangan bentuk ruang Alun-alun yang diambil dari khazanah ruang tradisional, menjadi simbol pusat pemerintahan di kota-kota yang dikembangkan Hindia Belanda. Sayangnya, setelah masa kemerdekaan, terutama semasa Orde Baru, gaya arsitektur Indonesia ini sepertinya tak dikembangkan lagi. Apalagi ketika uang sekarang telah menjadi tuhan bagi kebanyakan orang.
Arsitektur tradisional maupun arsitektur kolonial yang sudah dapat berasimilasi dengan budaya setempat mulai dilupakan dan dianggap kuno. Pemanfaatan dan pengembangan konsep arsitektur tradisional menjadi berkurang. Yang ada adalah penghancuran bangunan tua yang meraja-lela. Semua itu hanya untuk kepentingan komersial (uang) dan melupakan pusaka arsitektur kita. Oleh: Aditya W. Fitrianto (TEMPO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA