Marco Kusumawijaya adalah arsitek yang banyak menyuarakan kelestarian arsitektur di Indonesia. Ia misalnya, sangat getol mengkritik kebijakan Gubernur DKI Sutiyoso mengenai tata kota Jakarta. Bulan lalu, bersama Forum Arsitek Muda Indonesia, ia menolak pembangunan Pasar Seni Jagat Jawa di Candi Borobudur, Jogjakarta. Marco Kusumawidjaja lebih dikenal sebagai aktivis ketimbang seorang arsitek. Beberapa pekan lalu ia menolak pembangunan Pasar Seni Jagat Jawa di Candi Borobudur. Kritik itu disampaikan karena ia menilai banyak kebijakan pemerintah yang tak sesuai. Untuk bidang arsitektur misalnya, ada kebijakan tetapi selalu dilanggar dengan alasan mengikuti perkembangan jaman. Menteng misalnya, kini kondisinya tak beraturan. Banyak toko dan area bisnis di daerah perumahan. Padahal, Menteng adalah kawasan yang dilindungi. "Saya tak mengerti bagaimana bisa dapat ijin," ujar Marco, pria yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, banyak pula arsitektur peninggalan jaman dahulu yang juga ikut diubah penataannya karena perkembangan jaman yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Bangunan itu, seperti yang terdapat di kawasan Kota Tua, dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru. Alasannya semata-mata demi pertimbangan bisnis dan ekonomi. Celakanya, kadang-kadang perubahan tata kota itu dilakukan bukan karena kebijakannya yang salah. "Tapi kesalahannya karena tidak ada kebijakan," kata Marco.
Hal itu tampak pada beberapa area kota yang bisa berubah secara tiba-tiba. Khusus untuk bangunan tua, rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian arsitektur turut menyebabkan habisnya benda-benda peninggalan itu. Masyarakat tak punya motivasi untuk merawatnya. Di luar negeri, kawasan bersejarah mendapat subsidi. Ada yang subsidi langsung dengan memberi uang, ada pula dalam bentuk insentif keringanan pajak. "Jadi kebijakan pemerintah mengenai perlindungan kawasan bersejarah harus diikuti dengan hukuman yang setimpal. Kalau tidak, orang tak punya motivasi," katanya.
Sebagai negeri yang telah berumur, Indonesia mempunyai banyak sekali benda-benda arsitektur peninggalan jaman dahulu Marco lebih suka menyebutnya sebagai pusaka arsitektur karena lebih bernilai dan tak mudah diperjualbelikan (baca: digusur atau diubah penataannya). Di kota-kota, yang menonjol adalah peninggalan kolonial dari segi arsitek. Ada yang berbentuk fisik, ada yang non-fisik, intengible dan tidak harus bersifat monumental, tapi juga bisa bersifat sehari-hari. Misalnya bentuk kota tua Jakarta. "Itukan sangat berbeda dengan bentuk bagian lain kota ini," katanya.
Misalnya bangunan di Jakarta Kota yang tidak mempunyai halaman, tapi langsung menempel dengan jalan raya. Sangat berbeda dengan bangunan di tempat lain yang berpagar, berhalaman. Sehingga hubungan orang dengan bangunan sangat jauh. Berbeda dengan di Jakarta Kota, orang bisa memegang bangunan. Itu suatu bentuk kolonial bentuk dari kota peradaban tua. Bentuk-bentuk seperti itu mempengaruhi orang sebagai pribadi dengan orang luar.
Bangunan yang biasanya menempel ke jalan biasanya bersifat umum, yang berhubungan dengan orang. Ada perasaan atau krama yang berbeda ketika rumahnya langsung berhadapan dengan jalan dibanding orang yang memiliki halaman. Misalnya bangunan yang menempel ke jalan, memiliki kontak langsung dengan orang lain. Tapi berbeda dengan orang yang punya halaman, lebih sulit untuk menghindari kontak dengan orang lain, karena ada jeda dengan adanya halaman itu.
Dari kisah itu, yang hendak dikatakan Marco adalah bahwa pembangunan kota-kota di Indonesia bukan hanya pembangunan material, bukan hanya pembangunan produktivitas ekonomi, tapi harus juga memperhatikan reproduksi hubungan sosial. Juga peradaban. "Perspektif ini makin hilang dari pembangunan kota di Indonesia, sejak kita belajar membangun kota," katanya.
Menurut Marco, membangun peradaban itu termasuk memelihara kenangan masa lalu. Di situ pentingnya pelestarian pustaka. Kenangan masa lalu bukan hanya punya nilai estetika atau historis, tetapi memberi nilai pencapaian peradaban di masa lalu. Kalau kita tidak tahu bagaimana hidup di masa lalu secara beradab. Kita tidak pernah tahu hidup beradab. "Bangsa-bangsa yang kita anggap peradabannya tinggi saat ini, karena kita melihat mereka memelihara peradaban," katanya.
Dari segi desain, pusaka arsitektur memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri, sehingga selalu enak untuk dinikmati. Setiap kota punya nilai tersendiri. Misalnya Palembang, kota yang telah berusia 1.400 tahun. Sebagaian kitab mengenai Budhisme yang sampai ke China dan Jepang, diterjemahkan di Palembang pada tahun 670 oleh Iching, sarjana China. Diterjemahkan disana karena dia tinggal disana. "Berarti Palembang adalah kota yang berperadaban waktu itu," kata Marco.
Bandung juga bukan hanya Gedung Sate. Pada tahun 1920-an ada eksperimen rumah besar dengan rumah kecil. Di belakang rumah ada rumah kecil. Belakangnya lagi ada rumah-rumah kecil. Di tengah-tengahnya terdapat pasar. Dari pola itu ada eksperimen yang ingin diciptakan, ada hubungan sosial. Kawasan Ijen di Malang juga begitu. Jalannya sengaja tidak lurus, agak melengkung dan setiap belokan selalu ada yang pemandangan yang istimewa. Apakah berupa ruang tertentu. Jadi jalan panjang itu sengaja dilengkungkan. "Pertama, ada efek bahwa jalan itu tidak panjang. Kedua, jalan yang melengkung bisa banyak melihat obyek," katanya.
Marco Kusumawidjaja memperoleh pendidikan arsitekturnya dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung (1986). Ia kemudian mengikuti Certified Workshop and Training Course "Housing in Development" di United Nations Center for Human Settlements (UNCHS), Bangkok (1987) dan di Leuven, Belgium (1988). Gelar Master of Architectural Engineering (MAE) diperoleh dari Catholic University of Leuven, Belgium (1988-1990).
Karya arsitektur pertamanya adalah sebuah rumah di Kupang, yang menurut pengakuannya, tak diketahui apakah rumah yang didesainnya itu direalisasi menjadi sebuah bangunan oleh pemiliknya. "Karena setelah didesain, saya pergi," katanya. Kendati bergelar arsitek, Marco memang tergolong arsitek yang "miskin" karya. Ia mengaku jarang mendesain bangunan, karena lebih tertarik menekuni dunia tata kota, misalnya merancang BSD dan Kota Tiga Raksa\--\keduanya di Tangerang, Jawa Barat. "Bangunan yang saya rancang adalah bangunan rumah saya sendiri," katanya.
Berbeda dengan aktivitasnya. Ia mengaku telah melakukan banyak hal. Ia pernah menangani beberapa proyek UNDP, diantaranya: sebagai Team Leader of National Programme Management, City Development Strategy (CDS) for 9 cities in Indonesia. Proyek tersebut dibiayai oleh Cities Alliance dan UNDP, implementasinya dikerjakan World Bank and UNCHS, Agustus 2001 hingga sekarang.
Pernah pula menjabat sebagai salah satu perangkat PBB yaitu UNDP, sebagai Urban Management Advisor and Partnership Management Expert for Breakthrough Urban Initiatives for Local Development (BUILD) Programme. Ia juga menjadi Ketua Masyarakat Binaan Lingkungan
Anggota Jaringan Pelestarian Pustaka Indonesia (JPPI).
Salah satu aktivitasnya di bidang pelestarian pusaka arsitektur, adalah kritiknya atas rencana pembangunan seni jagat Jawa di Candi Borobudur, yang oleh UNESCO pada 1991 dinyatakan sebagai pusaka dunia. Bangunan itu persis di luar batas yang disebut zona 2, atau di belakang bukit kecil. "Teorinya memang tidak terlihat dari Borobudur. Tetapi lalu lintas yang diakibatkannya akan sangat kelihatan," katanya. Dan itulah yang diprotes Marco dan kawan-kawannya.
(TEMPO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA