Kamis, 15 Juli 2010

Suwarno Soepeno dan Gedung Pencakar Langit

Suwarmo Soepeno adalah arsitek spesialis gedung tinggi. Ia banyak menggarap gedung-gedung tinggi di Jakarta, seperti Grand Hyatt Hotel, Sahid City, Gedung BTN Harmoni, dsb. Sebagian karyanya juga tersebar di luar negeri, antara lain di Australia. Sekelumit soal profilnya: Ia rajin memperjuangkan UU Profesi arsitek (Architect Act), Beliau adalah Anggota Dewan Keprofesian di IAI, Pendiri Biro Arsitek Parama Loka, perusahaan yang didirikannya, yang telah melahirkan banyak gedung tinggi di Indonesia. Ia juga lama berprofesi sebagi arsitek di Australia, selain anggota IAI. Ia juga anggota RAIA (IAI-nya Australia). Ia termasuk arsitek Generasi kedua, pernah kuliah di ITB tapi menyelesaikan studinya di Melbourn University.

Di lingkungannya, Suwarmo Soepeno dikenal sebagai arsitek spesialis gedung tinggi. Puluhan gedung telah dibangunnya. Mulai dari Hotel Bumi Hyatt Surabaya, Tunjungan Plaza Surabaya, Plaza Indonesia, Grand Hyatt dan Regent Hotel ketiganya di Jakarta hingga kantor-kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri seperti Papua Nugini, Singapura, Pakistan, Srilanka, dan Philipina.

Ia sendiri mengaku bukan spesialis gedung tinggi. Ia pernah membangun ratusan unit perumahan sederhana (Permunas), rumah-rumah biasa hingga apartemen mewah. Sebagai arsitek, ia tetap harus dapat membangun segala bentuk bangunan dan hal itu adalah salah satu tantangannya. Hanya saja, pasar telah membuka kesempatan bagi Suwarmo untuk membangun gedung-gedung tinggi. "Dan peluang itu yang kami cari dan terus kami kembangkan," katanya soal kesempatan merancang gedung tinggi yang pernah dikerjakannya.

Mendesain gedung tinggi bukan pekerjaan baru bagi arsitek yang masih enerjik di usianya yang sudah melampaui setengah abad ini. Begitu pula dengan mengerjakan proyek di luar negeri. Selulusnya dari School Architect Melbourne University (1969), peraih beasiswa Colombo Plan yang mengawali pendidikan arsitekturnya di Institut Teknologi Bandung (1961-1963) ini menghabiskan masa mudanya sebagai arsitek di Australia.

Enam tahun di sana, pengalamannya cukup padat. Selain menghasilkan banyak gambar bangunan, ia juga berpengalaman menggarap proyek arsitek yang dikerjakan bersama arsitek dari perusahaan lain. Pengalaman lainnya, tak sedikit pula perusahaan arsitek yang telah dijelajahinya. Ia memang kerap berpindah-pindah kerja, tapi ada satu hal yang tak mungkin bergeser dari keyakinan hidupnya: arsitek yang berhasil adalah arsitek yang mampu bekerja sama. "Saya melihat kebanyakan arsitek Indonesia arogan. Mereka merasa rendah kalau karyanya di kolaborasi dengan biro atau pihak lain," kata penggemar golf yang kini menjabat Ketua I Ikatan Arsitek Indonesia ini.

Menurut Suwarmo, ada dua aliran yang menjadi prinsip hidup seorang arsitek. Pertama adalah arsitek yang cenderung bekerja sendiri, dan yang kedua adalah arsitek yang lebih senang bekerja dengan kelompok. Belajar dari pengalaman bekerja di Australia yang terbiasa menggarap proyek arsitek bersama-sama, Suwarmo memilih prinsip yang kedua dan prinsip itulah yang diyakini menjadi penuntunnya menuju gedung-gedung yang telah berdiri di banyak tempat, di banyak negara.

Selepas menimba pengalaman di Australia, Suwarmo kembali ke Jakarta (1974) dan mendirikan perusahaan arsitek PT Parama Loka Consultant. Ia menjadi presiden direkturnya. Ketika itu, perusahaan ini masih kecil. Karyawannya hanya beberapa orang saja. Proyek-proyek awalnya adalah bangunan industri, seperti pabrik-pabrik di beberapa tempat di Pulau Jawa.

Dari bangunan pabrik, proyek Suwarmo berkembang menjadi bangunan perhotelan. Hotel pertama yang "dirakitnya" adalah Hotel Bumi Hyatt Surabaya (1978-1979), yang arsitekturnya dikerjakan bersama perusahaan Amerika. Proyek berikutnya adalah membangun Wisma Bakrie (1980), yang dianggapnya sebagai sebuah bangunan dengan arsitektur yang cukup memikat. Gedung itu dirancang dengan desain yang mampu memanfaatkan udara dan cahaya alam secara optimal, sehingga konsumsi energinya menjadi hemat sebuah konsep nyaris dilupakan banyak arsitek lokal pada waktu itu. Caranya dengan membuat kisi-kisi di luar bangunan, yang juga sekaligus berfungsi mengurangi efek radiasi dari sinar matahari.

Dasawarsa 1990-an adalah puncak suksesnya. Setelah berpengalaman membangun hotel-hotel dan perkantoran, ia mulai merambah ke sektor gedung perbelanjaan. Tunjungan Plaza I Surabaya dan Plaza Indonesia di Jakarta, adalah proyek shopping mall pertama yang dikerjakannya. Belakangan hari, ia juga berkesempatan merancang bangunan apartemen, seperti Apartemen Sahid dan Apartemen Semanggi\--\keduanya di Jakarta. Kini Parama telah membengkak menjadi perusahaan besar, dengan jumlah karyawan yang mencapai ratusan orang.

Menurut Suwarmo, kiprahnya di sektor bangunan apartemen juga menjadi pengalaman yang menarik. Bagi Parama, perusahaan yang dipimpinnya, kesempatan membangun apartemen menjadi kebanggaan tersendiri. Sebab, pada tahun itu, hampir 90 persen apartemen yang dibangun di seluruh Indonesia dibuat oleh perusahaan konsultan asing. "Pada saat itu kami dapat menyakinkan para pengusaha bahwa arsitek lokal juga dapat membangun bangunan seperti itu, dan terbukti kami dapat membangunnya," katanya.

Sebagai arsitek, merancang bangunan tinggi tentu akan menghasilkan kepuasan tersendiri. Dan Menara Sahid adalah bangunan tertinggi yang pernah dirancangnya, sekaligus rancangan yang paling menantang. Bayangkan saja, bangunan itu didesain dengan 37 lantai dan bangunan bawah tanah (basement) lima lantai.

Sayangnya, proyek ini harus berhenti ketika jumlah lantai yang berhasil ditata baru 12 buah. Padahal, rancangan bangunan itu sangat istimewa dan hasilnya sangat dinanti-nanti. Proyek ini merupakan hasil karya arsitek lokal yang dibangun dengan sistem top-down. Basement dibuat tidak dengan melalui penggalian terbuka. Lantai dasar dibangun dulu, kemudian diikuti dinding kelilingnya. Setelah tahap itu selesai, barulah tanahnya digali. Tiang-tiang penyangga didirikan. Ini dilakukan lantaran keterbatasan lahan. "Apalagi kita melihat dikiri-kanan bangunan telah berdiri bangunan-bangunan tinggi lainnya. Dengan cara ini kontur dan pondasi bangunan di sekelilingnya tidak terganggu sedikit pun," katanya.

Grand Hyatt Hotel juga mempunyai karakter arsitektur yang menarik. Suwarmo harus mendesainnya dengan pendekatan lingkungan. Sejak 1970, lokasi Bundaran Hotel Indonesia yang terletak berdekatan dengan bangunan yang dirancangnya itu, memang dikenal sebagai sumber kemacetan. Karena itu, ia menata pintu keluar dan pintu masuknya tak bermuara di Bundaran HI, melainkan di belakangan hotel yang tetap mudah diakses. "Memang tidak dapat mengurangi kemacetan, tapi setidaknya tidak menambah keruwetan di sekitar HI," katanya.

Puluhan tahun berpengalaman membangun gedung tinggi, Suwarmo punya referensi yang cukup untuk menilai gedung-gedung di Indonesia. Katanya, banyak bangunan yang tidak efisien. Efisien di sini salah satunya adalah biayanya yang terlalu mahal, sedangkan si pemilik ingin mendapatkan pengembalian investasi dalam waktu yang sependek mungkin. Jadi, seorang arsitek memang harus pandai dan jeli dalam merancangnya, agar bangunan itu efisien, fungsional, dan mudah dipelihara. Agaknya, ini adalah resep sukses Suwarmo berikutnya, selain berprinsip ringan tangan dengan pihak lain. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :