Selasa, 17 Agustus 2010

Gereja Imanuel Depok - Jabar, Warisan Kolonial Belanda

Lebih dari dua ratus tahun berdiri, Gereja Immanuel Depok telah mengalami perubahan. Desain asli tetap dipertahankan.

Ada apa saja di Depok? Mungkin kini sebagian orang akan langsung mengidentifikasi Depok sebagai 'kota pelajar' dengan banyaknya kampus-kampus yang tersebar di daerah tersebut, salah satunya adalah Kampus Universitas Indonesia (UI) yang tersohor itu. Namun ingatkah Anda akan celetukan "Bule Depok" yang kerap terdengar dari mulut orang? Tak salah memang jika guyonan itu pernah akrab di telinga. Bertahun-tahun yang lampau, pada masa kolonial, kota Depok memang pernah menjadi kawasan komunitas orang Belanda. Mereka tinggal dan membangun daerah Depok, mendirikan rumah, sekolah dan juga tempat-tempat peribadatan.

Salah satu gereja kuno yang merupakan peninggalan dari masa kolonial di wilayah Depok adalah Gereja Imannuel Depok. Gereja ini mempunyai peran yang sangat penting pada sekitar abad 18 Masehi, terutama jika dikaitkan dengan pengkristenan orang-orang Depok pada masa itu. Bahkan boleh dibilang gereja ini merupakan cikal bakal komunitas Kristen Depok yang banyak berperan dalam perkembangan daerah Depok dikemudian hari.

Konon pada tahun 1700 seorang tokoh Belanda di Depok bernama Cornelis Chastelein mendirikan sebuah gedung gereja untuk dihadiahkan kepada dirinya dan para budaknya yang telah menganut agama Kristen. Pada awal pendiriannya gereja tersebut hanya dibuat dari bahan kayu, bambu dan beratap rumbia. Dalam perkembangannya gereja itu mengalami beberapa kali pengembangan dan perubahan bentuk, termasuk didirikannya bangunan permanen pada tahun 1854 yang sebagian bangunannya masih berfungsi dan dipertahankan hingga kini.

Gereja Imannuel Depok terletak di Jl. Pemuda, Depok Lama. Sebelum Indonesia merdeka, namanya Kerkstraat atau Jalan Gereja. Kalau dilihat sepintas memang tak ada yang terlihat istimewa dari bangunan itu. Luas bangunannya hanya 360 meterpersegi, sehingga bentuknya relatif mungil dan bersahaja, apalagi jika dibandingkan dengan gereja-gereja kuno di Jakarta. Mungkin bentuknya akan mengingatkan kita pada gereja-gereja kecil bercorak renaissance di pedesaan Belanda dan Jerman. Tidak terdapat bentuk atau hiasan yang berkesan mewah dan raya dalam arsitektur gereja Imannuel. Yang ada hanya jalinan rapi permainan garis simetris dan bentuk lengkungan pada tiap-tiap elemen bangunan, hingga membentuk suatu kesatuan yang sederhana namun anggun.

Gereja Imannuel memiliki sebuah menara yang berdiri membumbung melalui atap bangunan. Keberadaan menara ini merupakan salah satu ciri bangunan gereja. Lalu jika kita masuk menuju ruang ibadah melalui pintu utama yang terletak di bagian muka gereja, akan langsung terlihat sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Kuno. Isinya mengenai peringatan kematian Carolus Chastelein dan pendirian bangunan gereja. Prasasti itu tertera pada dinding yang berdiri tepat dihadapan pintu masuk utama. Mungkin fungsinya sebagai penghalang pandangan langsung dari orang-orang yang berada diluar gereja.

Jendela maupun pintu pada gereja juga berbentuk bujursangkar dengan lengkungan yang melancip di bagian atasnya. Yang unik, kini gereja Imannuel memiliki masing-masing 6 buah pintu di sisi kiri dan kanannya. Pada tiap daun pintu itu tertulislah nama dari masing-masing budak Mr. Chastelein yang mengembangkan agama Kristen di Depok.
Ruang ibadah Gereja Imannuel sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian bawah yang biasa menampung lebih banyak jemaat dan balkon yang berada di atas ruangan. Konon sebagian dari kursi-kursi yang terdapat di ruang ibadah itu merupakan kursi peninggalan abad 18. Di dalam ruang itu juga terdapat dua buah dinding yang membagi ruangan menjadi 3 bagian. Masing-masing dinding terdapat bingkai pintu berbentuk bujursangkar dengan lengkungan lancip di bagian atasnya. Dulu pada bingkai-bingkai itu terdapat daun pintu, tapi karena terjadi perluasan bangunan gereja ke arah sisi kiri dan kanan, maka dibangunlah dua dinding baru berikut pintunya di sisi luar dinding berbingkai tersebut. Hingga kini 2 dinding berbingkai itu masih tersisa dan berfungsi sebagai penopang atap dan balkon.

Sayangnya, karena sudah beberapa kali dipugar dan diperluas, kini nyaris tak tampak ciri-ciri kekunoan pada bangunan Gereja Imannuel. Mungkin karena sudah lapuk dimakan usia, banyak bagian-bagian bangunan yang sudah diperbaharui seperti lantai, pintu, jendela, kaca, atap dan sebagainya. Yang masih nampak kini hanya bentuk-bentuk dasar seperti dinding bangunan utama atau bingkai-bingkai pintu dan jendela. Namun patut dihargai walaupun dipugar dan diperluas, bentuk dasar itu masih tetap dipertahankan, juga pembuatan pintu-pintu baru yang diusahakan untuk menyerupai bentuk aslinya.

Kesederhanaan bentuk Gereja Imannuel yang jauh dari kesan 'wah' dan raya seperti gereja-gereja besar yang kita temui di Jakarta mencerminkan kesederhanaan komunitas pendiri gereja itu yang jauh dari ingar bingar pusat kota. Tidak seperti Gereja Sion atau Tugu dari abad 18 yang tentunya dibangun dengan bantuan pemerintah pusat Hindia Belanda, Gereja Imannuel Depok didirikan secara pribadi oleh seorang Belanda dan budak-budaknya untuk melayani komunitas masyarakat kala itu yang masih kecil. Namun secara historis keberadaan gereja tak kalah penting sebagai salah satu peninggalan sejarah kolonial Indonesia yang dimiliki kota Depok. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :