Senin, 23 Agustus 2010

"Mohammad Danisworo" Ahli Menata Kota

Sekitar 50 tahun yang lalu, udara kota Bandung masih sejuk. Di sana sini pepohonan rindang setia menghiasi kota. Di taman kota, tepatnya di Taman Maluku, meluncur seorang pemuda bersama sepeda kumbang dengan asiknya. Siapa dia? Rupanya seorang mahasiswa arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hendak menuju jalan Ganesha, kampus tempat dia menimba ilmu.

Pendapatnya, bersepeda di dalam kota saat itu bukanlah soal. Suasana masih mendukung para pengguna sepeda atau pejalan kaki. Jalan belum dipadati kendaraan bermotor. Pusat pertokoan seperti Braga masih menghargai ruang bagi pejalan kaki. Hutan kota pun masih ada. “Bahkan di Taman Maluku, saat itu saya masih melihat rusa berkeliaran,” kisahnya.

Setengah abad telah berlalu. Rusa itu lenyap entah kemana. Pejalan kaki tersudutkan haknya di trotoar. Jalanan berlubang. Papan reklame telah merangsek kota. Pemandangan menjadi sumpek. Pemuda bersepeda kumbang tadi bukan mahasiswa lagi. Pria yang bernama Mohammad Danisworo itu telah menjelma menjadi seorang profesor dan mengajar di ITB, tempatnya menimba ilmu dulu.

Pengalaman indah Bandung masa silam begitu melekat dan mempengaruhi warna arsitektur Danisworo. Filosofinya, hidup di perkotaan perlu berwawasan lingkungan, fungsional, dan secara visual harus sedap dipandang mata. Tiga faktor inilah yang hingga sekarang digunakan Danisworo untuk mengaplikasikan ilmunya di bidang arsitektur. Bahkan, melalui karya-karyanya, dia dikenal sebagai arsitek perkotaan atau populer dengan sebutan urban arsitektur.

Filosofi sebuah kota bagi Danis panggilan singkatnya tak terlepas dari pengalaman dia bersama dosennya, Prof Hasan Purbo. Purbo memberi pemahaman kepada Danis bahwa sebuah gedung tak berdiri sendiri. Ada dua faktor lingkungan yang memberi banyak pengaruh terhadap keindahan arsitektur itu sendiri, yakni lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan fisik, jelas berkisah dengan sesuatu yang tampak seperti beton, pohon, dan benda lainnya. Lingkungan non-fisik harus mampu menampung secara sinergi kekuatan sosial dan budaya.
Yang non-fisik ini, menurut Danis, sering dilupakan arsitek masa kini.

Banyak gedung dan jalan dibangun hanya berorientasi pada mobil saja. Hasilnya? Jangan salahkan kantung-kantung pedagang kaki lima (PKL) dan pejalan kaki yang berjalan hampir mepet ke jalan raya. Jangan salahkan pula bila ada kantung-kantung kumuh di kolong jembatan, bahkan di tempat parkir gedung pencakar langit muncul komunitas sosial para sopir dan penjual makanan minuman yang berkesan tak kalah kumuhnya. “Itu semua karena mereka yang sering dituduh kumuh tidak mendapat tempat dalam rancangan arsitek kebanyakan. Padahal, jika ditata sejak awal, persoalan klasik perkotaan seperti itu tidak akan terjadi,” katanya.

Faktor selanjutnya adalah visual. Tiap karya arsitektur pasti disyaratkan bercita rasa seni. Enak dipandang atau bahkan dinikmati dengan cara lain. Faktor visual memegang peranan yang tak kalah penting dan menjadi penarik hati manusia. “Tapi faktor ini sangat subjektif,” ujarnya.

Faktor fungsional dalam desain urban juga tak kalah pentingnya. Katanya, untuk apa membangun sesuatu yang ternyata tidak berguna dan tak sesuai dengan kebutuhan. Ini akan sia-sia. Jika dilihat tata kota sekarang, banyak kota seperti di Bandung yang bangunannya kehilangan arti fungsional.

Lihat saja trotoar sempit nun kumuh yang habis disikat pedagang kaki lima. Lihat pula tepi jalan yang dikerumuni parkir mobil penghasil asap. Walhasil, kawasan Kosambi Bandung dan Cicadas misalnya, terkenal dengan kemacetan dan polusinya. Sejatinya, dalam konsep Danisworo, ruang kota harus ditata secara harmonis dan tidak terlalu berorientasi pada penggunaan mobil, misalnya membuat jalan yang lebar dan saking lebarnya, harus mengalahkan ruang trotoar. Pejalan kaki atau pedestrian perlu juga diberi hak menikmati karya arsitektur dengan nyaman dan aman. Selama ini, pejalan kaki selalu tersisihkan haknya. “Menurut saya ini tak adil,” katanya.

Untuk itu, Danis memberi resep yang dapat menyenangkan para pejalan kaki. Dalam konsepnya, lebar trotoar setidaknya berlebar lima meter. Itu belum termasuk pohon di tengah-tengahnya. Jika konsep ini diterapkan secara konsisten, kenyamanan bagi semua level kelas sosial akan terjamin. Si empunya mobil bisa namyan berkendaraan, si pejalan kaki pun semakin sehat saja karena penghijauan dan ruang yang segar. Pedagang kaki lima juga leluasa berjualan karena tersedia ruang yang ideal untuknya.

Mewujudkan trotoar lebar memang tak mudah bagi sebuah kota yang telah terbentuk dengan trotoar sempit. Tapi bukan berarti menyerah. Salah satu pengalamannya, Danis dan timnya pernah membujuk para pemilik halaman rumah di jalan Satrio, Jakarta, untuk merelakan sebagian ruas halamannya untuk dijadikan trotoar, dan berhasil. Konsepnya, tidak mengambil alih. Kepemilikan masih di tangan pemilik rumah.

Begitu pentingnya arti trotoar, menurut Danis, pemilik lahan harus diberi pengertian yang lebih mendalam. Kalau perlu diberi bonus. Misalnya, supaya pemilik lahan lebih tertarik, bagi mereka yang menyediakan tanah untuk ruang publik berupa pelebaran trotoar yang indah, akan diberi hadiah dari pemerintah berupa pembebasan pajak atau keringanan lainnya. “Tapi ini baru usulan,” ujar Danis.

Para pejalan kaki memang mendapat porsi yang cukup besar dalam konsep urban design yang disodorkan Danis. Sektor formal dan informal layaknya pedagang kaki lima harus bisa hidup berdampingan tanpa masalah seperti saat ini. Sektor formal pun dikritisinya. Lihatlah kota-kota besar, misalnya Bandung. Di sana ada kota yang digempur pesan-pesan iklan atau propaganda sebuah produk atau jasa. Bandung, yang dulu masih memungkinkan bagi rusa untuk hidup di taman kota, kini luluh lantak tanpa aturan jelas. Jalan Juanda, misalnya, dipadati papan reklame. Billboard di jembatan penyeberangan dipasang dengan seenaknya. Dengan scenario urban design yang ditawarkannya, Bandung dan juga kota-kota di Indonesia yang mempunyai permasalah serupa akan tetap indah meski telah berubah menjadi sebuah kota bisnis yang hiruk pikuk.

Mohammad Danisworo lahir di Semarang, 2 April 1938. Ilmu arsitekturnya dipetik dari ITB (1965). Dia juga meraih banyak gelar dari universitas di luar negeri seperti Special Program in Urban Studies, University of Kentucky, USA (1966), Master of Architecture, major in Urban Designe, University of California, Berkley, Amerika (1968), Master of Urban Planing, with Certificate in Urban Designe, University of Washington, Seatle, USA (1982). Ia juga meraih gelar Doktor of Philosophy (Ph.D) dari Urban Environmental Planning, University of Washington, Seatle, USA (1984).

Senior partner PT Encona Engineering Incorporation ini memang sangat serius menggarap arsitektur urban. Karyanya yang cukup dikenal, diantaranya adalah Stasiun Gambir, Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan Terminal Pelabuhan Udara Makassar. Dia juga menggarap pembangunan di bekas lapangan udara Kemayoran, Jakarta Pusat, yang dikatakannya sangat ideal. Kawasan itu disulap dengan skenario yang menguntungkan segala lapisan masyarakat: pejalan kaki, pedagang kaki lima dan pengendara mobil. Kemayoran akan dibuat beberapa blok berdasarkan jalan yang sudah ada. Di dalam blok itu dibangun gedung-gedung dengan trotoar selebar 10 meter yang akan menjadi dambaan pejalan kaki.

Beberapa gedung atau lokasi strategis dibuat saling berjauhan, jadi memikat setiap orang untuk menjelajah dari satu lokasi ke yang lain. Konsep ini mengingatkan kita pada konsep tata ruang Jakarta yang dicetuskan Soekarno saat membangun Jakarta, seperti penempatan bundaran Hotel Indonesia, Gelora Bung Karno, Monas dan Masjid Istiqlal yang simetris. Penataan seperti itu dipindahkan pula ke kawasan Kemayoran. Dengan demikian, jalan tidak akan sepi. Tetap bernuansa lingkungan dan teduh karena ada sebagian dinding gedung melindungi pejalan kaki dari sengatan matahari. Di antara blok ada ruang publik, tempat para pedagang kaki lima. Di sana juga dibuatkan sesuatu yang menarik pejalan kaki. Konsep ini, menurut Danis, diyakini akan menggoda pengguna mobil untuk memarkirkan kendaraannya dan memilih berjalan di dalam blok yang menyenangkan itu. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :