Jumat, 07 Oktober 2011

Arsitektur Memintarkan atau Membodohkan...?

Arsitektur berperan besar dalam membentuk budaya masyarakat penggunanya. Maka, kompetensi seorang arsitek akan menentukan lingkungan binaan yang dapat memintarkan atau membodohkan.

Buku yang dari judulnya memiliki kesan sinis ini mengupas persoalan tersebut dengan cara yang berbeda. Melalui ungkapan kalimat negatif, Pursal, seorang pengajar pada Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, menantang pemikiran para arsitek, baik yang aktif sebagai praktisi maupun yang tenggelam dalam pusaran teoretis.

Ia ingin menyampaikan gagasannya tentang seluruh pengetahuan mendasar yang seharusnya tertanam dalam pembelajaran arsitektur. Maka, selain berguna bagi para arsitek, buku ini sangat berguna bagi mahasiswa dan awam untuk mengetahui peta besar pergumulan arsitektur.

Pursal menceritakan arsitektur dengan berpijak pada kebutuhan dan keinginan manusia. Jika pada awalnya arsitektur lahir dari manusia, ia pun harus menyesuaikan diri dengan dinamika manusia, bukan sebaliknya. Namun, berbagai karya arsitektur yang tercipta di Indonesia saat ini seolah hanya mengikuti gaya dibandingkan dengan berangkat dari inti pemikiran.

Melalui pengamatannya akan perkembangan arsitektur Indonesia itu, Pursal menyelipkan berbagai macam pandangannya. Ia membahasnya tuntas bagaimana berarsitektur dari tahap perancangan sampai penilaian, seperti pentingnya sebuah prinsip tatanan dalam perancangan, bagaimana hubungan fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, peran riset dalam perancangan, peran alam dan budaya, sampai akhirnya peran karya arsitektur itu sendiri dalam perkembangan kesadaran masyarakat pada zamannya.

Perancangan arsitektur harus memiliki hubungan fungsi-bentuk-makna yang harmonis. Maka, sebuah karya tidak dapat hanya mengedepankan estetika bentuk, lalu mengenyampingkan segi fungsi atau maknanya. Hubungan tiga unsur ini telah dinyatakan oleh David Smith Capon dalam bukunya, The Architectural Theory: The Vitruvian Fallacy (1999). Berpegang pada pengamatannya, Pursal menambahkan, hubungan ini menjadi fungsi-konteks; bentuk-struktur; pesan-makna. Maksudnya adalah sebuah fungsi harus di strukturkan agar ia mendapatkan bentuknya, bentuk dengan sendirinya akan menampilkan pesan sehingga ia memiliki makna bagi orang yang melihatnya dan makna itu harus dikontekskan kembali pada fungsi agar makna yang ada sesuai. Begitulah hubungan segitiga fungsi-bentuk-makna dalam perancangan arsitektur, yang tidak dapat berjalan linier, tetapi spiral.

Hubungan tersebut mencerminkan pandangan Pursal yang selalu berpegang pada prinsip keseimbangan. Arsitektur sebagai sebuah teks tidak dapat mendominasi penggunanya, sebaliknya ia juga tidak boleh seenaknya saja walau tanpa ada intensi ingin mendominasi manusia. Kubu ekstrem antara karya arsitektur yang mendominasi dan seenaknya saja inilah yang harus dihindari oleh perancang.

Maka, arsitektur dapat memintarkan lingkungan manusia juga sekaligus dapat membodohkan. Disebut memintarkan apabila ia sebagai teks sesuai dengan—apa yang dikatakan Heidegger dalam building, dwelling, thinking—apa pun yang telah ada di tempat itu sebelumnya (konteks). Disebut membodohkan apabila arsitektur ingin mendominasi atau justru seenaknya sendiri sehingga manusia yang menggunakannya secara tidak sadar hilang identitasnya.

Kerancuan berpikir

Pursal melakukan eksperimen cara penyampaian dalam bukunya ini. Usaha tersebut dilakukan agar sebuah kritik atau teori dapat mudah dinikmati sebelum akhirnya dipahami.

Teknik bertanya dengan kalimat negatif adalah salah satu caranya untuk mengusik kesadaran para pembaca. Pertanyaan ini selalu ia munculkan dalam setiap judul babnya yang berjumlah sembilan bagian. Misalnya saja judul bab ketujuh, yaitu ”Bagaimana Meniadakan Makna Budaya dalam Perancangan Arsitektur?” Judul bab ini seolah akan memberikan cara-cara praktis dalam meniadakan unsur budaya, tetapi sebenarnya Pursal justru ingin menyatakan akibat tidak adanya unsur makna budaya melalui penjelajahan mendalam peran makna budaya.

Pada awal penjelasan Pursal memberikan cerita sederhana tentang topik, selanjutnya ia membawa contoh tersebut pada bidang arsitektur. Untuk menghantarkan pembaca pada pandangannya, ia memberikan contoh pemikiran lain sebelum ia menyatakan pemikirannya. Ia tidak pernah menutup pemikirannya dengan pernyataan tegas, ia justru selalu melemparkan pertanyaan yang lugas. Pertanyaan inilah yang akhirnya mengembalikan sebuah perkara pada perenungan pembaca masing-masing.

Kalimat bercerita Pursal dalam Arsitektur yang Membodohkan cukup sulit untuk dipahami karena pola tersebut. Mungkin pembaca dapat menangkap pengertian sekilas, tetapi apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Pursal selalu ”terselip” dalam kalimat-kalimatnya.

Untuk mengatasi hal itu, Pursal menyertakan ilustrasi yang lucu dan mudah dipahami. Mirip karakter Manga. Hampir seperempat buku ini akhirnya diisi oleh ilustrasi tersebut. Sebuah prinsip keseimbangan yang ia terapkan juga dalam penyajian. Pusaran teoretis yang pejal disandingkan dengan ilustrasi yang sangat mudah dinikmati.

Peta besar arsitektur

Membaca buku ini dari awal sampai akhir dapat membuat pembaca mengerti peta besar perancangan arsitektur. Namun, pembaca tidak dapat mendalami setiap permasalahan secara mendetail karena Pursal hanya memberikan rujukan setiap permasalahan pada pemikiran, buku, atau karya orang lain yang sudah ada. Pembaca digiring dengan cepat memahami permasalahan untuk masuk ke dalam pemikiran Pursal itu sendiri.

Rujukan yang diberikan dalam setiap gagasannya tidak hanya berangkat dari bidang arsitektur. Beberapa pemikiran bidang ilmu filsafat, budaya, antropologi, dan ilmu lainnya ia sertakan. Inilah yang membuat pemikiran Pursal dalam arsitektur tidak terpisah dari keseluruhan peri kehidupan manusia

Namun, sayangnya, walaupun berangkat dan diperuntukkan secara khusus bagi dunia arsitektur Indonesia, Pursal tidak memberikan seluruh contoh nyata bangunan-bangunan yang dimaksud. Ia hanya menceritakan hal-hal yang prinsipil pada setiap kasus. Dalam hal ini pembaca dianggap sudah memiliki referensi tersendiri tentang setiap bangunan yang dimaksud.

Dalam bukunya ini terasa bahwa Pursal ingin memprovokasi para arsitek lain untuk tidak latah terhadap gaya yang muncul di Barat dan untuk mulai memunculkan kemudian menuliskan pemikirannya sendiri.

Andreas Yanuar Wibisono Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :