Sabtu, 19 Juni 2010

ADHI "Pengagum Arsitektur Vernakular"

Rumah yang baik adalah rumah yang mampu menjadi "rumah" bagi dirinya sendiri. Begitulah kira-kira konsep pemikiran Adhi Moersid mengenai arsitektur yang cocok untuk iklim di Indonesia. Maklumlah, sebagai kawasan tropis, hujan dan terik matahari adalah keseharian di negeri ini. Karena itu, desain rumah harus disesuaikan dengan iklimnya. Bila tidak, hujan yang sejuk dan matahari yang mampu menghangatkan tubuh bisa menjadi cuaca yang kurang bersahabat.

Arsitektur tropis adalah pilihan ideal bagi rumah-rumah di Indonesia, karena mampu melindungi dirinya sendiri dari hujan dan panas. Ciri arsitektur tropis dapat dilihat dari atap, misalnya, yang dikemas dengan bentuk yang tinggi dan panjang. Dengan desain seperti itu, tak akan terjadi tampias bila hujan datang. Ketika matahari sedang mencapai titik kulminasi, sinarnya juga tak langsung menyorot tembok. "Arsitektur tropis artinya arsitektur yang menyesuaikan diri dengan iklim tropis, dengan memanfaatkan angin dan alam yang ada, serta cocok sekali dengan lingkungan. Dalam semua bangunan, saya usahakan mengacu pada konsep itu," kata Adhi Moersid.

Di lingkungannya, Adhi memang dikenal sebagai arsitek yang menaruh perhatian tinggi pada desain tropis. Pendiri biro arsitek Atelier 6 ini mengaku, sejak menekuni dunia arsitektur\--\Adhi memetik pendidikan arsitekturnya di Institut Teknologi Bandung, angkatan 1959\--\ia sudah menyadari betapa pentingnya arsitektur tropis untuk bangunan di Indonesia. Pada awal karirnya, ia juga melihat karya arsitek saat itu kurang memiliki karakter. "Tak ada kepribadiannya," kata Adhi mengenang.

Mantan rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu lalu mulai mempelajari arsitektur-arsitektur daerah Indonesia\--\biasa disebut arsitektur vernakular. Ada arsitektur Jawa, Bali, Toraja, Aceh, Nias. Selain mengesankan ciri daerahnya masing-masing, menurut pengamatan Adhi, arsitektur daerah ternyata menyimpan konsep arsitektur tropis yang kental. Misalnya rumah-rumah adat Batak, Jawa atau Toraja yang dikemas dengan atap yang tinggi dan panjang, sehingga menyisakan ruang yang lega di dalamnya serta mampu menahan tampias dan sinar matahari.

Untuk mempelajarinya lebih mendalam, Adhi melakukan semacam safari. Berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya, untuk melihat dari dekat konsep arsitektur "pedalaman" itu. Ia juga melibatkan diri dalam berbagai penelitian arsitektur tradisional, seperti program dari Universitas Indonesia. Dengan banyak melihat langsung ke daerah-daerah, ia berpendapat bila khasanah arsitektur vernakular di Indonesia sebetulnya menyimpan potensi untuk dikembangkan dalam sebuah kreativitas baru.

Sebagai arsitek, Adhi tak memfokuskan diri pada satu bidang tertentu. Ia juga mengaku tak mengikuti aliran atau gaya tertentu. Karya-karyanya juga tak dipengaruhi oleh seseorang atau gerakan tertentu. "Arsitektur saya adalah arsitektur saya sendiri. Saya memulai karir saya dengan mengamati dan belajar memahami dengan cara berkeliling Indonesia," katanya.

Adhi mulai menjalani kehidupannya sebagai seorang arsitek pada 1968, dengan mendirikan biro arsitek Atelier 6 bersama lima rekannya. Bentuk bangunan pertama yang dirancangnya adalah rumah tinggalnya sendiri, yang dirancang dengan konsep arsitektur tropis yang kental. Pada awal kariernya, Adhi memang banyak membangun tempat tinggal. "Bangunan kecil-kecil seperti rumah atau suatu kompleks peristirahatan," katanya.

Hingga saat ini, sudah ratusan bangunan pernah dirancangnya. Semua bentuk bangunan yang pernah dibuatnya, mulai dari rumah tinggal, perumahan, mal, hotel, tempat peristirahatan, masjid, gereja juga kandang ayam, sama sulit dan menariknya. Ia mengaku tak pernah menganggap sepele terhadap sebuah desain yang diselesaikannya. Semua pekerjaan dianggapnya besar. "Maksudnya, semua pekerjaan kita lakukan sama sungguh-sungguhnya," katanya.

Salah satu pengalaman Atelier 6 adalah membuat kandang ayam. Menurut Adhi, ternyata membuat kandang ayam lebih sulit dibanding membangun gedung-gedung bertingkat. Arsiteknya harus memperhatikan kemiringannya sehingga kotoran mudah dibersihkan. Lalu tempat makannya juga harus disesuaikan agar ayam dapat makan dengan mudah. Dan juga bagaimana bau kotoran ayam itu agar tidak menganggu lingkungan, bukanlah pekerjaan yang mudah. "Kalau merancang gedung-gedung bertingkat, itu sudah biasa," katanya.

Salah satu rancangannya yang menarik adalah Gedung PBNU di Jakarta. Tapi yang paling berkesan adalah Masjid Said Naum di Kebonkacang, Jakarta Pusat, yang dibangun pada 1975. Adhi menyisipkan arsitektur tradisional Jawa, yang dikemas dalam sebuah bentuk yang modern. Rancangan ini kemudian memenangkan kompetisi yang diadakan Pemda DKI (1975), yang dianggap merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, cocok dengan lingkungan sekitar, dan menggunakan material lokal. Atas alasan itu pulalah bangunan masjid yang selesai pembangunannya pada 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan Award for Architecture pada 1986.

Adhi juga dikenal sebagai perancang Museum Migas di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia menjadi project architect di sana. Perencanaannya dilakukan bersama-sama dengan Baskoro Sardadi, associate di Atelier 6. Untuk mengesankan sebuah museum minyak dan gas, Adhi meminjam bentuk tangki-tangki minyak di lepas pantai. Karena itu, selain bentuk bangunannya yang membulat, di sekitar bangunan juga dibuatkan kolam air yang merefleksikan suasana pantai. Kolam ini ternyata juga dibutuhkan oleh TMII untuk menampung air pada waktu hujan besar. "Jadi kolam itu sekaligus menjadi bagian dari sistem pengelolaan air hujan di TMII," kata Adhi.

Museum ini terdiri dari gedung utama dan paviliun-paviliun. Bagian dalam museum dirancang bersama arsitek interior dan ahli membuat ekshibisi\--\biasanya arsitek interior dan arsitek grafis. "Kita memang membuat tim lengkap waktu merancangnya. Terus terang saja, dalam berkarya, kami selalu menyertakan para ahli. Merekalah yang mengerjakan hal-hal di luar kemampuan kita," katanya.

Kendati berpengalaman membangun banyak bangunan dan telah melakukan banyak riset arsitektur vernakular di pelosok Nusantara, ada satu keinginan yang masih mengganjal di benaknya: ingin membangun sektor kota. Ia sadar betul bila kota-kota di Indonesia sebagian dibangun tanpa rancangan yang jelas. Pembangunannya tidak terkontrol, karena tak ada rencana detail dan terintegrasi. "Saya ingin sekali membangun sektor kota, terutama suatu sektor kota yang masih penuh dengan bangunan lama. Saya ingin mempertahankan yang lama, menambah dengan yang baru, sehingga daerah itu menjadi daerah yang baru dalam keserasian yang baru," katanya.

Jakarta sendiri, di mata Adhi, adalah sebuah kota yang memiliki kawasan tua yang tak terpelihara. Padahal, Jakarta Kota atau Old Batavia adalah aset yang luar biasa mahalnya. Menurut Adhi, banyak contoh kota-kota tua dunia yang berhasil disulap menjadi berlian kembali. "Tapi apa yang dilakukan di Jakarta? Dari hari ke hari malah rusak. Besok mungkin sudah hilang lagi lima bangunan tua, besok lagi sepuluh," katanya. Sebuah fakta yang menyedihkan, yang mungkin hanya dirasakan oleh mereka yang menghargai sejarah dan budaya bangsa.
(TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :