Tiang berjumlah 12 buah di Masjid Kramat Luar Batang adalah simbol sejarah. Tapi bagi Ahmad Noe'man, arsitek spesialis masjid yang punya pengetahuan agama Islam yang cukup mendalam, selusin tiang itu akan lebih baik dibuang. Nilai sejarahnya memang hilang, tapi nilai kesempurnaan shalat yang diukur dengan kerapatan shaf, akan terpenuhi. "Tiang ini seharusnya tak boleh dipasang lagi," kata Ahmad Noe'man.
Menurut Noe'man, sejarah 12 tiang itu bermula dari belum ditemukannya struktur bangunan modern pada waktu itu. Material beton yang terdiri dari unsur pasir, kerikil, semen, dan besi belum ada ketika masjid itu dibangun Alhabib Husein bin Abubakar Alaydrus, seorang perantau asal Yaman Selatan, pada 1716-1756. Agar bangunan kokoh berdiri, maka di tengah-tengah ruang shalat diberi penyangga berupa selusin tiang itu.
Padahal, sesuai hadits Rasul, shalat berjamaah harus rapat. Imam yang memandu shalat selalu mengingatkan makmum untuk merapikan barisannya, merapatkan shafnya. Karena itu, membiarkan 12 tiang tetap berdiri tegak di Masjid Kramat, yang hanya sekedar berdiri saja karena tak lagi difungsikan sebagai penyangga bangunan, tak memberi makna apa-apa. Nilai sejarah yang dipertahankan tak sepadan dengan berkurangnya nilai kesempurnaan shalat itu sendiri.
Ahmad Noe'man merujuk Surat Al Baqarah, ayat 170. Disana disebutkan: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk".
Menurut Ahmad Noe'man, ayat itu cukup memberikan penjelasan mengapa tiang yang merupakan warisan nenek moyang itu tak harus dipertahankan. Selain itu, tak ada ayat atau sunah nabi yang menjelaskan secara rijit bagaimana masjid harus dibuat. "Jadi, tak haram jika masjid tak memiliki tiang, atau juga tanpa kubah," katanya.
(TEMPO)
Menurut Noe'man, sejarah 12 tiang itu bermula dari belum ditemukannya struktur bangunan modern pada waktu itu. Material beton yang terdiri dari unsur pasir, kerikil, semen, dan besi belum ada ketika masjid itu dibangun Alhabib Husein bin Abubakar Alaydrus, seorang perantau asal Yaman Selatan, pada 1716-1756. Agar bangunan kokoh berdiri, maka di tengah-tengah ruang shalat diberi penyangga berupa selusin tiang itu.
Padahal, sesuai hadits Rasul, shalat berjamaah harus rapat. Imam yang memandu shalat selalu mengingatkan makmum untuk merapikan barisannya, merapatkan shafnya. Karena itu, membiarkan 12 tiang tetap berdiri tegak di Masjid Kramat, yang hanya sekedar berdiri saja karena tak lagi difungsikan sebagai penyangga bangunan, tak memberi makna apa-apa. Nilai sejarah yang dipertahankan tak sepadan dengan berkurangnya nilai kesempurnaan shalat itu sendiri.
Ahmad Noe'man merujuk Surat Al Baqarah, ayat 170. Disana disebutkan: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk".
Menurut Ahmad Noe'man, ayat itu cukup memberikan penjelasan mengapa tiang yang merupakan warisan nenek moyang itu tak harus dipertahankan. Selain itu, tak ada ayat atau sunah nabi yang menjelaskan secara rijit bagaimana masjid harus dibuat. "Jadi, tak haram jika masjid tak memiliki tiang, atau juga tanpa kubah," katanya.
(TEMPO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA