Sabtu, 19 Juni 2010

Menggambar dengan Buku Sejarah

Han Awal adalah arsitek dua generasi, yang lahir sebagai arsitek generasi kedua. Ia adalah arsitek angkatan 1960, yang telah melahirkan Yori Antar\--\putra kandungnya\--\sebagai arsitek generasi muda Indonesia. Di usianya dua pekan lalu genap 72 tahun, Han Awal mengaku tak pernah kehabisan energi untuk berkarya. Ia masih menggarap desain rumah dan perkantoran, yang menjadi rutinitasnya. Ia, bersama tim arsitek yang dipimpinnya, juga masih suka mengikuti sayembara desain arsitektur.

Disamping kegiatan hariannya itu, Han Awal punya kesibukan baru: merestorasi gedung tua. “Ini lebih menyenangkan. Kita harus mengetahui sejarah dan latarbelakang arsitekturnya dulu. Kita harus melakukan survey dan riset yang mendalam. Nilai seninya jelas berbeda dengan merancang sebuah bangunan baru,” kata Han Awal, Direktur PT Han Awal & Partners Architects.

Proyek restorasinya yang terbaru adalah Gedung Bank Indonesia di Jakarta Kota, yang akan disulap menjadi museum uang. Pemerintah menginginkan gedung itu direstorasi dan dikembalikan ke bentuk semula. Han Awal melakukan banyak riset kepustakaan, mencari draf desain asli berikut gambar-gambarnya, agar dapat diketahui profil detailnya. Beruntungnya, tak sukar mencari data yang dibutuhkan. Karena itu, hanya dalam tempo enam bulan, Han berhasil menyelesaikan desain konservasinya.

Gedung Bank Indonesia adalah gedung ketiga yang direstorasinya. Proyek pertamanya adalah restorasi Gereja Kathedral di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat (1985). Proses tersulit adalah memahami bagaimana arsiteknya dulu membangun gereja ini. Ia lalu mencoba menelusurinya berdasarkan catatan sejarah. Gereja ini dibangun oleh pastur arsitek Dijkstra (Belanda). Ia adalah murid arsitek besar Violet Leduc (Belgia), yang dikenal sebagai arsitek pembrontak di abad ke-19. Leduc pula yang ikut mempopulerkan desain Neo Ghotic, sebuah aliran desain yang mengubah material batu pada dinding bangunan, dengan kayu.

Nah, Kathedral adalah bangunan gereja dengan dinding berkubah, yang bergaya Neo Ghotic. Berbekal latar belakang itulah, antara lain, Han Awal merestorasi Kathedral. Seluruh dindingnya dikembalikan ke bentuk semula, dengan material yang sama, yakni kayu. Kayunya dicari yagn tua, yang telah berusia 100 tahun, dari pemulung kayu. Begitu pula dengan detail yang lain seperti interior. “Kalau tak ada gantinya, ya ditembel saja. Misalnya hiasan dinding yang pecah. Kalau diganti baru semuanya, mungkin nilai keasliannya menjadi hilang,” katanya.

Proyek keduanya adalah restorasi Gedung Arsip di Jakarta Kota (1994). Inilah proyek yang paling menantang. Han Awal perlu waktu tiga tahun untuk survey dan desain, sebuah proses yang sangat lama, mengingat pengerjaannya hanya butuh waktu setahun. Survey yang lama itu digunakan untuk mencari tahu detail persis dari Gedung Arsip yang asal usulnya adalah tempat tinggal Gubernur Jenderal Belanda Reyner de Klerk yang dibangun pada 1760. Detail itu meliputi bentuk bangunan secara rinci berikut material yang digunakan.

Detail bangunannya diperoleh dari foto-foto tahun 1920, yang ditemukan di Koninklijk Instituut Voorde Tropen, Amsterdam, Belanda. Foto itu diperoleh dari kontraktor Decorient asal Belanda, yang mengerjakan pembangunan restorasi Gedung Arsip. “Mengapa diserahkan kepada kontraktor Belanda, karena merekalah yang paling mengerti karakter bangunan yang dibangun leluhurnya,” kata Han Awal.

Han juga menggali informasi dari buku-buku sejarah. Hal menarik yang ditemukannya, adalah keterkaitan antara gedung ini dengan kapal VOC. Alkisah, kapal VOC yang berangkat dari Belanda ke Indonesia selalu diberi bobot mati berupa batu bata. Di Batavia, batu bata buatan Belanda yang besar-besar itu lalu dipergunakan untuk membangun benteng dan gedung-gedung, termasuk rumah untuk sang Gubernur Jenderal. Ditinjau dari sejarahnya, bangunan pada abad ke-17 juga belum menggunakan semen sebagai perekat dinding, melainkan campuran antara kapur, pasir dan tanah. Dengan bekal informasi itulah Han tak menggunakan semen untuk memperbaiki dindingnya, tetapi menggunakan campuran yang senyawa, yang dapat merekat erat di batu bata impor itu.

Han Awal belajar arsitek di Technische Hoogshool Delft, Belanda (1952). Akibat ketegangan yang terjadi di Indonesia dengan pemerintah Belanda soal Irian Barat, mahasiswa yang belajar di Belanda seperti Han, mendapat tekanan yang cukup kuat. Han Awal lalu “mengungsi” ke Jerman. Karena itulah, ijazah arsitekturnya diperoleh dari Techniche Universitat, Berlin Timur (1960).

Karya Han Awal yang pertama adalah membangun proyek Gedung Conefo, yang kini menjadi Gedung DPR-MPR RI. Empat puluh tahun berkarya, Han Awal mengaku tetap mempertahankan konsep arsitektur tropis yang dipegang teguh. “Indonesia adalah negara tropis. Karena itu, setiap bangunan sebaiknya didesain agar mampu melindungi bangunan itu sendiri dari terik matahari,” katanya.

Untuk rumah misalnya, atap harus dibuat selebar mungkin. Ketika atap disorot matahari, atap akan melindungi dinding dari panas, dengan membentuk bayangan hitam di dinding. Pada gedung, dapat dibuatkan penahan sinar matahari, seperti yang dilakukannya pada bangunan sekolah Pangudi Luhur di Kemang, Jakarta Selatan (1963), atau kampus Atma Jaya di Semanggi, Jakarta Selatan (1963). Tapi penahan matahari di Atma Jaya telah dihilangkan ketika gedung itu direnovasi. “Saya sangat menyayangkan. Itulah akibatnya bila aristek yang merenovasi tak melakukan riset atau menghubungi arsiteknya yang lama, sehingga filosofi dari bangunan itu menjadi hilang,” katanya.

Semasa Ali Sadikin menjadi gubernur DKI Jakarta, Han Awal pernah duduk sebagai anggota Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK). Ketika itu, proyek Ali Sadikin adalah melakukan pelebaran jalan secara besar-besaran, tapi diupayakan tak menggusur bangunan tua terlalu banyak. Sejak itulah, Han mulai “kesengsem” dengan bangunan tua, sebuah desain arsitektur peninggalan Belanda yang kini begitu menggoda hatinya.
(TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :