Sabtu, 23 Oktober 2010

MASJID KRAMAT LUAR BATANG - Mengembalikan Arsitektur Masa Silam

Dibangun pada abad ke-17, Masjid Kramat Luar Batang menyimpan banyak perpaduan budaya: Eropa, India, dan tentu Indonesia.

Dua belas tiang itu berdiri tegak tepat di tengah masjid. Tak ada beban yang mesti disangga sehingga bagian atas tiang itu tampak kosong. Tak satu pun yang menyentuh langit-langit bangunan, sehingga menyisakan bagian kosong antara ujung tiang dan bagian bawah atap. Bagian kosong itu kian tampak di bagian tengah karena atap bangunan didesain dengan bentuk kerucut. Dua belas tiang itu merupakan bagian terpenting dari masjid ini.
Masjid Kramat merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. Masjid ini membentangkan sejarah panjang. Masjid ini dibangun pada 1739 oleh Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, ulama keturunan Arab dari Hadramaut. Daya tarik arsitektur masjid ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan kampung Luar Batang itu sendiri.

Masjid ini terletak di tengah perkampungan Luar Batang, Jakarta Utara dan tak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Dulu kampung Luar Batang dikenal sebagai pemukiman orang Jawa di luar tembok kota Batavia. Pemukiman seluas 9,6 hektar ini menampilkan ciri khas Betawi pesisir, sedangkan Masjid Kramat menampilkan campuran arsitektur Eropa dan India.
Bangunan masjid ini mengalami perluasan pada 1827. Dalam perluasan inilah makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus masuk dalam kawasan masjid. “Semula makam itu ada di luar halaman masjid,” kata Abdullah bin Abubakar Alaydrus, generasi ketiga Habib Husein.

Layaknya bangunan model India, Masjid Kramat ini memanfaatkan banyak tiang ciri khasnya. Begitu pula dengan pintu gerbang yang memadukan gaya kubah dan bangunan tradisional India. Sedangkan nuansa Eropa dapat dilihat dari model tembok dan lengkungan pada setiap jendela.
Kini Masjid Kramat Luar Batang menampilkan corak baru setelah mengalami pembangunan ulang pada September 1997. Tidak semua wujud bangunan diubah karena ada beberapa sisi yang dipertahankan seperti aslinya. Salah satunya dalah dua belas tiang yang terletak di tengah bangunan masjid tadi. “Itu simbol 12 imam yang ikut menyebarkan agama Islam,” kata Abdullah, penghuni rumah tua dalam kompleks masjid.

Pembangunan yang diprakarsai pemda DKI Jakarta ini berusaha mengembalikan bangunan utama masjid. Karena itu 12 tiang tetap berada di titik tengah masjid, tepat di bawah bagian ujung atap yang berbentuk kerucut. Selain itu menara masjid di bagian luar tetap dipertahankan sebagaimana aslinya, yang berbentuk bulat dengan semi kubah di bagian atasnya. Model ini merupakan ciri khas menara daerah pesisir dengan dinding batu bata yang kokoh dan tebal.
Ketebalan tembok sebagai ciri khas bangunan pesisir terlihat pada beberapa bagian pula. Antara lain pada tembok pintu gerbang, sebagian pagar luar, tembok di ruang makam Habib Husein, sampai rumah tua yang dihuni Abdullah dan keluarga. “Ini memang ciri bangunan kuno yang berdiri di dekat pantai,” kata Abdullah sambil menunjukkan tembok rumahnya.

Model tembok tebal ini tidak lagi digunakan untuk bangunan utama masjid yang baru. Secara keseluruhan, masjid ini terbilang sederhana. Bentuknya tanpa kubah. Sebaliknya, dikemas atap berbentuk kerucut yang cukup tinggi, yang dirancang untuk meminimalisir hawa panas yang masuk ke dalam ruang. Melalui celah yang dibuat diantara bagian bawah atap dan tembok penyangga, angin mampu menerobos ke dalam masjid. Hembusan angin ini yang membuat suasana Masjid Kramat terasa adem.
Desain masjid Kramat sangat memperhitungkan kondisi alam kampung Luar Batang. Cahaya matahari dimanfaatkan sebagai penerang di siang hari melalui bagian atas jendela yang didesain berlubang-lubang. Dengan bentuk semi kubah pada bagian atas jendela, cahaya matahari praktis tak menemukan halangan. Dinding yang didominasi warna coklat muda ini menambah suasana sejuk.

Bagian dalam masjid cukup lapang karena tidak memanfaatkan tiang penyangga, kecuali empat sisi dinding. Hanya saja keberadaan 12 tiang itu terkesan mengurangi kelapangan masjid. Namun, hal ini tidak begitu menggangu karena posisi yang teratur. Dengan posisi berjajar 3 x 4 baris, masing-masing tiang berjarak sekitar 1 meter. Artinya ada lahan seluas 12 meter persegi yang digunakan untuk tiang-tiang tersebut.
Setelah direnovasi, Masjid Kramat tampak sebagai bangunan baru di tengah kompleks masjid yang penuh nuansa kuno. Lantai, dinding dan pintu misalnya, telah diganti dengan bahan terbaru. Kondisi ini tampak kontras dengan bangunan makam Habib Husein yang tetap bertahan seperti aslinya. Letak makamnya sendiri dikembalikan ke letaknya semula, yakni di bagian luar masjid. Tepatnya di depan pintu masuk utama bagian kiri sebelum melewati anak tangga.

Letak makam ini lebih rendah kira-kira satu meter dibanding lantai dasar masjid. Semula posisi makam dan lantai masjid berada pada ketinggian yang sama. “Kalau air laut sedang pasang atau banjir, menimbulkan persoalan,” kata Abdullah. Akhirnya lantai dasar masjid dibuat lebih tinggi untuk mencegah air masuk. Posisi lantai ini membantu makam Habib Husein terhindar dari terjangan air bah.
Dengan bentuk bangunan baru, mereka yang shalat dan berziarah tak berada di satu tempat yang sama. Mereka yang ingin ziarah bisa berlama-lama di depan makam tanpa mengganggu mereka yang sedang shalat. Teras depan masjid bahkan bisa difungsikan sebagai tempat orang-orang yang antri masuk ke makam Habib Husein, yang pekan-pekan ini ramai dikunjungi orang.

Nah, situasi teras yang hiruk pikuk itu turut memberi warna yang kontras, paling bila dibandingkan dengan bangunan masjid yang tampak bersih. Beberapa bagian dinding terasa terlihat mengelupas. Begitu pula atap teras bangunan makam yang terlihat koyak pada beberapa bagian ciri khas bangunan publik di Indonesia. Jika saja kompleks Masjid Kramat kampung Luar Batang ini ditata lebih rapi, bukan tak mungkin wisata spiritual dan sejarah, termasuk mengagumi arsitekturnya, kian digemari. (TEMPO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :