Pecinan sebagai sebuah locus warisan, dan dinamika budaya ‘asli’ Cina di Indonesia. Tulisan ini mempertanyakan ketepatan gencarnya citra-citra kecinaan yang dipertontonkan di hadapan publik kita dengan memaparkan serentang sejarah perkembangan Pecinan untuk dapat memberikan deskripsi dari sudut pandang yang lebih kritis.
Bila ditinjau dari sejarah perkembangannya, Pecinan menempati fungsi yang spesifik dan vital dalam pembentukan dan modernisasi kota-kota di Asia Tenggara. Istilah Pecinan sendiri sebenarnya problematik karena lebih merupakan sebuah kategori etnis atau rasial yang mulai berlaku ketat sejak pemberlakuan zone etnis di era kolonial Belanda (Wijkenstelsel, 1835-1915).
Pada era pra-kolonial, Pecinan merupakan kantong-kantong pendatang yang kosmopolit dan memainkan peran sebagai pusat pertumbuhan dan rantai penting ekonomi bagi kerajaan Nusantara di era perdagangan maritim di kawasan ini. Kantong-kantong kosmopolitan itu didatangi manusia dari berbagai penjuru dunia: Arab, India, Cina, Melayu, Bugis, dan lain-lain.
Dengan melimpahnya bukti-bukti artefak dan berbagai produk budaya, sinkretisme dan akulturasi budaya pesisir telah diakui mendominasi kehidupan di kawasan ini. Komposisi fisik kota-kota pesisir pra-kolonial ini secara garis besar didasarkan pada integrasi kelompok-kelompok etnis yang otonom namun interdependen. Secara budaya, menariknya, kelompok-kelompok tersebut berbaur sekaligus menjaga identitas kulturalnya dalam tahapan tertentu, tergantung dari dinamika demografis ketimbang desakan politis. Bahkan ekspedisi politis Admiral Zheng He (Cheng Ho, 1405-1433) ke Asia Tenggara juga terkait erat dengan misinya menyebarkan agama Islam, sehingga berhasil menciptakan komunitas Muslim di pesisir Jawa.
Pola penataan perkotaan ini juga menampilkan konfigurasi kosmis berdasarkan keyakinan budaya masing-masing, dipadukan dengan jiwa interdependensi dan toleransi masing-masing kelompok. Tempat-tempat ibadah ditempatkan berdampingan di letak yang ‘seharusnya’, demikian pula dengan fungsi-fungsi publik. Identitas yang ‘hibrid’ dijewantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukkan hingga bangunan-bangunan ibadah.
Serapan-serapan budaya seringkali tidak hanya berbentuk seni elite, tapi juga pada kehidupan sehari-hari yang sifatnya lebih ‘mendasar’, seperti gaya hidup atau konsep bermukim. Namun pada tingkatan lain, pembedaan identitas nampaknya tetap dibutuhkan dan ditunjukkan pula lewat berbagai atribut.
Menurut sosiolog perkotaan Hans-Dieter Evers, masyarakat Cina cenderung memperlakukan ruang dan lingkungan sebagai suatu yang terukur dan jelas batas fisiknya, sedangkan masyarakat Melayu cenderung lebih fleksibel dan cair. Bisa jadi hipotesis yang diutarakan benar pada tataran pengamatan fisik, namun perlu ditinjau lebih jauh mengenai konteks perbedaan konsep mengenai lingkungan tersebut dicetuskan.
Jika kita berpijak pada keyakinan akan relativitas budaya (Claude Levi-Strauss dalam Race et Historie, 1957), lebih beralasan rasanya perbedaan itu didasarkan pada peran dan fungsi sosial ekonomi politik masing-masing kelompok masyarakat di dalam sistem sosial yang ada ketimbang mencari penyebabnya dalam masing-masing budaya atau ras. Namun perbincangan mengenai kondisi pra-kolonial ini masih merupakan subjek kajian budaya yang selalu terbuka dan menarik untuk terus digugat seiring keterbatasan dan kreatifitas kita untuk membaca artefak-artefak sejarah.
Menurut pandangan multikulturalis, problem sesungguhnya dipupuk mulai dari kependudukan rezim kolonial dan berlakunya kategorisasi. Sejarahwan Onghokham (dan banyak pakar sosial politik lainnya) dengan tegas menyatakan bahwa kecinaan yang merupakan konstruksi politik kolonial, dibuktikan dengan seperangkat hukum dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial terutama semasa Tanam Paksa (Cultuurstelsel, 1830-1870). Mulai dari penentuan zona permukiman berdasar etnis (Wijkenstelsel), penerapan pas jalan (Passenstelsel, 1863), hingga penentuan atribut-atribut yang harus dikenakan golongan etnis tertentu, sehingga menciptakan batas-batas tegas identitas apakah seseorang itu Eropa, Pribumi, Arab atau Cina.
Batas-batas itu dipelihara dan direproduksi untuk terus mengingatkan kesadaran seseorang akan identitas rasialnya yang terasosiasi juga dengan peran ekonomi sosial dan politiknya dalam masyarakat kolonial. Batas-batas itu selain mengatur hak dan kewajiban administratif masyarakat Cina (agama, perkawinan, pendidikan, dan lain-lain) juga secara efektif mengatur model pakaian, potongan rambut, hingga aksesoris yang dibawa bepergian.
Meskipun tidak setegas aturan-aturan lain, Liem Thian Joe (Riwajat Semarang, 1933) mencatat bahwa ada seorang pengusaha Cina yang didenda karena membuat bangunan mirip bangunan Pemerintahan Kolonial di Semarang, yang menandakan bahwa kategorisasi ‘gaya arsitektur’ berdasarkan etnis/ras juga diterapkan. Pemerintah Kolonial juga mengatur tipologi ruang jalan dan lingkungan kota berdasarkan ras, sehingga kita secara visual dapat mengenali yang mana itu Pecinan, Kampung Melayu, Kampung Arab, dan lain-lain.
Pada kenyataannya, kategorisasi tidak selalu ditepati secara rigid. Penggunaan atribut identitas juga bukan merupakan tembok masif yang tegas dan tak bisa ditembus. Ada kelompok masyarakat yang berpijak di antara kategori itu, sehingga terjadi pencampuradukan atribut tersebut untuk menampilkan identitas ‘hibrid’ mereka.
Pemerintah Kolonial menciptakan kalangan elite Cina (juga demikian halnya dengan kelompok masyarakat lain) yang beridentitas kebaratan, sekaligus kecinaan. Arsitektur elite yang kadang ‘bernuansa Barat’ kadang ‘bernuansa Cina’ (atau campuran keduanya atau dari campuran dari banyak langgam), pun tampil kontras dari deretan ruko-ruko Cina yang rapat dan rumah-rumah sederhana Pribumi.
Tipologi vila, bangunan rumah tunggal yang dikelilingi halaman yang luas, akhirnya dipatok sebagai tipologi ‘kelas atas’, seperti juga banyak elemen gaya hidup tertentu yang dipicu oleh tuntutan hidup di rumah-rumah seperti itu. Pendirian bangunan/gedung baru merupakan berita tersendiri di komunitas-komunitas ini, sehingga mempertajam peran arsitektur dalam mendefinisikan identitas dan modernitas.
Klenteng-klenteng, karena peran sentralnya sebagai pusat komunitas masyarakat dan pelestarian budaya Cina, secara fisik dan ritual tampil konservatif, sehingga mampu tampil sebagai ikon identitas Cina yang dilestarikan dan direproduksi hingga kini. Sebagai contoh, keberadaan Kampoeng China di Cibubur dan Masjid H.M. Cheng Ho Indonesia di Surabaya juga akhirnya turut menggambarkan citra kecinaan dengan mengambil bahasa arsitektural yang kerap muncul di brosur pariwisata, majalah, atau siaran televisi.
Citra-citra sejenis, seperti Naga dan Barongsai, juga kerap ditampilkan pada era pasca-Orde Baru, seakan-akan merupakan satu-satunya cara menggambarkan kiprah kebudayaan Cina di Nusantara ini. Tanpa langsung disadari, sebenarnya kita selama ini mengkonsumsi gambaran kecinaan yang eksklusif dan orientalis ini, yang sebenarnya miskin pengertian akan sejarah masyarakat Cina di Indonesia yang penuh liku dan nilai. Pecinan sebenarnya merupakan saksi hidup sejarah yang masih menyimpan ritual, prosesi, dan mitos yang sebenarnya menggambarkan kekayaan khazanah budaya yang sedang digali lebih lanjut. Jika kita dapat melakukannya, tentu saja kita tidak lagi perlu mengimpor berbagai atribut kecinaan buatan Singapura, Taiwan, atau Hongkong. (TEMPO)
Bila ditinjau dari sejarah perkembangannya, Pecinan menempati fungsi yang spesifik dan vital dalam pembentukan dan modernisasi kota-kota di Asia Tenggara. Istilah Pecinan sendiri sebenarnya problematik karena lebih merupakan sebuah kategori etnis atau rasial yang mulai berlaku ketat sejak pemberlakuan zone etnis di era kolonial Belanda (Wijkenstelsel, 1835-1915).
Pada era pra-kolonial, Pecinan merupakan kantong-kantong pendatang yang kosmopolit dan memainkan peran sebagai pusat pertumbuhan dan rantai penting ekonomi bagi kerajaan Nusantara di era perdagangan maritim di kawasan ini. Kantong-kantong kosmopolitan itu didatangi manusia dari berbagai penjuru dunia: Arab, India, Cina, Melayu, Bugis, dan lain-lain.
Dengan melimpahnya bukti-bukti artefak dan berbagai produk budaya, sinkretisme dan akulturasi budaya pesisir telah diakui mendominasi kehidupan di kawasan ini. Komposisi fisik kota-kota pesisir pra-kolonial ini secara garis besar didasarkan pada integrasi kelompok-kelompok etnis yang otonom namun interdependen. Secara budaya, menariknya, kelompok-kelompok tersebut berbaur sekaligus menjaga identitas kulturalnya dalam tahapan tertentu, tergantung dari dinamika demografis ketimbang desakan politis. Bahkan ekspedisi politis Admiral Zheng He (Cheng Ho, 1405-1433) ke Asia Tenggara juga terkait erat dengan misinya menyebarkan agama Islam, sehingga berhasil menciptakan komunitas Muslim di pesisir Jawa.
Pola penataan perkotaan ini juga menampilkan konfigurasi kosmis berdasarkan keyakinan budaya masing-masing, dipadukan dengan jiwa interdependensi dan toleransi masing-masing kelompok. Tempat-tempat ibadah ditempatkan berdampingan di letak yang ‘seharusnya’, demikian pula dengan fungsi-fungsi publik. Identitas yang ‘hibrid’ dijewantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukkan hingga bangunan-bangunan ibadah.
Serapan-serapan budaya seringkali tidak hanya berbentuk seni elite, tapi juga pada kehidupan sehari-hari yang sifatnya lebih ‘mendasar’, seperti gaya hidup atau konsep bermukim. Namun pada tingkatan lain, pembedaan identitas nampaknya tetap dibutuhkan dan ditunjukkan pula lewat berbagai atribut.
Menurut sosiolog perkotaan Hans-Dieter Evers, masyarakat Cina cenderung memperlakukan ruang dan lingkungan sebagai suatu yang terukur dan jelas batas fisiknya, sedangkan masyarakat Melayu cenderung lebih fleksibel dan cair. Bisa jadi hipotesis yang diutarakan benar pada tataran pengamatan fisik, namun perlu ditinjau lebih jauh mengenai konteks perbedaan konsep mengenai lingkungan tersebut dicetuskan.
Jika kita berpijak pada keyakinan akan relativitas budaya (Claude Levi-Strauss dalam Race et Historie, 1957), lebih beralasan rasanya perbedaan itu didasarkan pada peran dan fungsi sosial ekonomi politik masing-masing kelompok masyarakat di dalam sistem sosial yang ada ketimbang mencari penyebabnya dalam masing-masing budaya atau ras. Namun perbincangan mengenai kondisi pra-kolonial ini masih merupakan subjek kajian budaya yang selalu terbuka dan menarik untuk terus digugat seiring keterbatasan dan kreatifitas kita untuk membaca artefak-artefak sejarah.
Menurut pandangan multikulturalis, problem sesungguhnya dipupuk mulai dari kependudukan rezim kolonial dan berlakunya kategorisasi. Sejarahwan Onghokham (dan banyak pakar sosial politik lainnya) dengan tegas menyatakan bahwa kecinaan yang merupakan konstruksi politik kolonial, dibuktikan dengan seperangkat hukum dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial terutama semasa Tanam Paksa (Cultuurstelsel, 1830-1870). Mulai dari penentuan zona permukiman berdasar etnis (Wijkenstelsel), penerapan pas jalan (Passenstelsel, 1863), hingga penentuan atribut-atribut yang harus dikenakan golongan etnis tertentu, sehingga menciptakan batas-batas tegas identitas apakah seseorang itu Eropa, Pribumi, Arab atau Cina.
Batas-batas itu dipelihara dan direproduksi untuk terus mengingatkan kesadaran seseorang akan identitas rasialnya yang terasosiasi juga dengan peran ekonomi sosial dan politiknya dalam masyarakat kolonial. Batas-batas itu selain mengatur hak dan kewajiban administratif masyarakat Cina (agama, perkawinan, pendidikan, dan lain-lain) juga secara efektif mengatur model pakaian, potongan rambut, hingga aksesoris yang dibawa bepergian.
Meskipun tidak setegas aturan-aturan lain, Liem Thian Joe (Riwajat Semarang, 1933) mencatat bahwa ada seorang pengusaha Cina yang didenda karena membuat bangunan mirip bangunan Pemerintahan Kolonial di Semarang, yang menandakan bahwa kategorisasi ‘gaya arsitektur’ berdasarkan etnis/ras juga diterapkan. Pemerintah Kolonial juga mengatur tipologi ruang jalan dan lingkungan kota berdasarkan ras, sehingga kita secara visual dapat mengenali yang mana itu Pecinan, Kampung Melayu, Kampung Arab, dan lain-lain.
Pada kenyataannya, kategorisasi tidak selalu ditepati secara rigid. Penggunaan atribut identitas juga bukan merupakan tembok masif yang tegas dan tak bisa ditembus. Ada kelompok masyarakat yang berpijak di antara kategori itu, sehingga terjadi pencampuradukan atribut tersebut untuk menampilkan identitas ‘hibrid’ mereka.
Pemerintah Kolonial menciptakan kalangan elite Cina (juga demikian halnya dengan kelompok masyarakat lain) yang beridentitas kebaratan, sekaligus kecinaan. Arsitektur elite yang kadang ‘bernuansa Barat’ kadang ‘bernuansa Cina’ (atau campuran keduanya atau dari campuran dari banyak langgam), pun tampil kontras dari deretan ruko-ruko Cina yang rapat dan rumah-rumah sederhana Pribumi.
Tipologi vila, bangunan rumah tunggal yang dikelilingi halaman yang luas, akhirnya dipatok sebagai tipologi ‘kelas atas’, seperti juga banyak elemen gaya hidup tertentu yang dipicu oleh tuntutan hidup di rumah-rumah seperti itu. Pendirian bangunan/gedung baru merupakan berita tersendiri di komunitas-komunitas ini, sehingga mempertajam peran arsitektur dalam mendefinisikan identitas dan modernitas.
Klenteng-klenteng, karena peran sentralnya sebagai pusat komunitas masyarakat dan pelestarian budaya Cina, secara fisik dan ritual tampil konservatif, sehingga mampu tampil sebagai ikon identitas Cina yang dilestarikan dan direproduksi hingga kini. Sebagai contoh, keberadaan Kampoeng China di Cibubur dan Masjid H.M. Cheng Ho Indonesia di Surabaya juga akhirnya turut menggambarkan citra kecinaan dengan mengambil bahasa arsitektural yang kerap muncul di brosur pariwisata, majalah, atau siaran televisi.
Citra-citra sejenis, seperti Naga dan Barongsai, juga kerap ditampilkan pada era pasca-Orde Baru, seakan-akan merupakan satu-satunya cara menggambarkan kiprah kebudayaan Cina di Nusantara ini. Tanpa langsung disadari, sebenarnya kita selama ini mengkonsumsi gambaran kecinaan yang eksklusif dan orientalis ini, yang sebenarnya miskin pengertian akan sejarah masyarakat Cina di Indonesia yang penuh liku dan nilai. Pecinan sebenarnya merupakan saksi hidup sejarah yang masih menyimpan ritual, prosesi, dan mitos yang sebenarnya menggambarkan kekayaan khazanah budaya yang sedang digali lebih lanjut. Jika kita dapat melakukannya, tentu saja kita tidak lagi perlu mengimpor berbagai atribut kecinaan buatan Singapura, Taiwan, atau Hongkong. (TEMPO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA