Rabu, 01 Juni 2011

Inspirasi Pulau Dewata

TEMPO Interaktif, Jakarta - "Bali punya estetika sendiri," ujar Jean Couteau, pengamat seni dan budaya Bali asal Prancis, dengan takzim. Couteau yang sudah puluhan tahun menetap di Pulau Dewata itu menjelaskan bagaimana seni rupa Bali dikaji dalam ranah seni rupa nasional, bahkan internasional. Bali sangat kental dengan agama Hindu dan nuansa sketsa rakyat. Sementara itu, suasana Hindu begitu terasing dalam kajian seni rupa nasional.

Begitulah Couteau menarasikan pelbagai koleksi Museum Rudana, yang disusun dalam sebuah buku bertajuk Bali Inspires, The Rudana Art Collection, pada Sabtu lalu. Buku seni itu diluncurkan di pelataran Museum Rudana, Ubud, Bali, dengan prosesi persembahan “Angkus Prana”.

Secara umum, buku ini menjelaskan bagaimana Bali menjadi ilham bagi seniman dan budayawan di pulau itu ataupun nasional, bahkan internasional. Couteau dengan cermat menarasikannya. "Konsep awal tentu bukan dari saya. Saya hanya membantu mendeskripsikan koleksi seni rupa itu," kata Couteau.

Terdapat tiga bahasan besar dalam buku setebal 300 halaman itu. Pertama, "An Island that Inspires", yang menjelaskan sejarah Bali dan juga kebudayaannya. Karya seni rupa Bali tradisional sangat kental dengan unsur Hindu. Dan ini tak lepas dari kenyataan sebagian besar masyarakat Bali yang menganut Hindu.

Ikon-ikon cerita Mahabharata maupun Ramayana mendominasi seni lukis tradisionalnya. Seperti lukisan pada selembar kain berjudul Sita Melabuh Geni (Sita's Test of Fire). Lukisan itu diambil dari kisah Ramayana yang menceritakan Dewi Sita menceburkan diri ke dalam kobaran api untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.

Membicarakan koleksi seni rupa tradisional Bali tentu tak lepas dari para senimannya, meski banyak di antaranya tak bernama. Salah satu maestro seni tradisional Bali adalah I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978). Lempad adalah seorang undagi atau arsitek tradisional dari Cokorda Gede Agung Sukawati. Ia dipercaya membangun candi air Saraswati.

Ketika ia melukis pada medium kertas, namanya menjadi sangat terkenal. Ia selalu memilih subyek legenda Bali dan kisah klasik dari mitologi Hindu-Bali. Karyanya, Jayaprana at the Market, Jayaprana and Layonsari's Wedding Ceremony, dan Love Scene from the Jayaprana Story, adalah sebagian dari lukisan yang digambar di atas kertas hanya dengan tinta, seperti sketsa halus tanpa pewarnaan di dalamnya.

Seni rupa tradisional Bali kemudian mengalami perkembangan pada awal abad ke-20. Lukisannya lebih rumit, detail, dengan gradasi pewarnaan yang makin kaya. Dalam kurun waktu ini ada seniman I Gusti Nyoman Moleh (1918-1997), I Made Gombloh, I Gusti Ketut Kobot (1917-1999), Anak Agung Gede Meregeg (1908-2000), I Dewa Ketut Ding (1920-1996), dan I Dewa Nyoman Tjita.

Buku ini juga memaparkan perkembangan seni rupa Bali selanjutnya. Seperti karya I Wayan Bendi berjudul Modernity (1995). Lukisan itu menggambarkan kehidupan desa yang sudah disusupi oleh modernitas karena aktivitas pariwisata. Ada berbagai macam budaya berakulturasi di sana. Seperti sebuah cerita dalam sketsa besar, tiap sisi bidang penuh dengan ornamen.

Bagian kedua buku ini menjelaskan ihwal kajian seni rupa nasional. Couteau lebih menarasikan seni rupa modern Indonesia beserta perspektifnya dalam bab ini. Seperti karya Basoeki Abdullah berjudul Alone at the Crossroad.

Ada lagi karya maestro Affandi. Couteau menjelaskan siapa Affandi dalam buku tersebut. Selain itu, karya Srihadi Soedarsono berjudul Bedoyo Ela Ela-Moment of Meditation (2002) juga menjadi koleksi dalam museum ini. Ada pula karya Abas Alibasyah, Bagong Kussudiarjo, dan Sunaryo.

Seniman luar negeri, seperti Don Antonio Blanco, yang menetap di Bali setelah menikahi penari Bali, juga menjadi bahasan dalam buku ini. Karya Antonio Blanco tentang perempuan Bali sangat terkenal.

Menurut Couteau, seniman Bali mulai menghasilkan karya seni rupa modern setelah belajar di Jawa. Misalnya, Made Wianta, yang belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia), Yogyakarta. Karya-karyanya, seperti Blue Calendar atau Calendar, didominasi oleh pola geometrikal yang kompleks.

Bagian terakhir buku ini menjelaskan ihwal keluarga Rudana. Nyoman Rudana adalah pendiri Museum Rudana, yang didirikan pada 26 Desember 1995. Menurut Presiden Direktur Museum Rudana, Putu Supadma Rudana, selain museum, ada juga Rudana Fine Art Gallery, Yayasan Seni Rudana, serta Pusat Pengkajian dan Dokumentasi Rudana (Destar). "Semuanya berada dalam satu naungan The Rudana," ujarnya.

Museum Rudana memiliki 500 karya koleksi seni lukis dan patung. Sedangkan Rudana Gallery memiliki seribu karya koleksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA

ANDA PENGUNJUNG KE :