(gatra.com)Peneliti Kebudayaan Kerinci, Iskandar Zakaria, mengatakan, rumah tradisional Kerinci, Umoh Laheik atau Umoh Panja yang konstruksinya sangat sederhana, terbukti tahan gempa.
"Tidak hanya unik berfilosofi tinggi, Umoh Laheik sesungguhnya telah menjadi cerminan betapa telah tingginya penguasaan teknologi arsitektur para nenek moyang suku Kerinci di masa lalu," kata Iskandar Zakaria, di Kerinci, Senin (23/5). "Terbukti, rumah-rumah rakyat tersebut lebih tahan gempa dibanding rumah modern beton," katanya.
Pasalnya, sebagai daerah berada di atas lempengan gempa tektonik sesar Asia dan Australia, Kerinci adalah daerah dataran tinggi yang menjadi langganan gempa.
Gempa bumi yang sering mengguncang daerah tersebut teramat jarang bisa menggoyahkan, apalagi sampai merubuhkan rumah-rumah panjang saling berderet dan berdempet satu sama lainnya yang menjadi rumah-rumah rakyat itu.
"Meskipun konstruksinya masih sangat sederhana tidak menggunakan paku selain hanya pasak dan diikat tambang ijuk, justeru membuat rumah-rumah rakyat itu kuat dan terbukti bisa berlaku fleksibel mengikuti goyangan atau guncangan tanah ketika gempa terjadi," terang Iskandar.
Gempa bumi yang sering mengguncang daerah tersebut teramat jarang bisa menggoyahkan, apalagi sampai merubuhkan rumah-rumah panjang saling berderet dan berdempet satu sama lainnya yang menjadi rumah-rumah rakyat itu.
"Meskipun konstruksinya masih sangat sederhana tidak menggunakan paku selain hanya pasak dan diikat tambang ijuk, justeru membuat rumah-rumah rakyat itu kuat dan terbukti bisa berlaku fleksibel mengikuti goyangan atau guncangan tanah ketika gempa terjadi," terang Iskandar.
Menurut dia, itulah nilai-nilai kearifan masa lalu yang telah diwariskan nenek moyang orang Kerinci, seharusnya dijaga dan dilestarikan serta diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat masa kini yang modern dan latah mengadopsi segala produk budaya luar.
"Telah cukup terbukti tingginya nilai kearifan budaya lokal Kerinci dari rumah tradisional itu, para nenek moyang sudah sangat menyadari kondisi Kerinci sebagai daerah gempa maka mereka membangun rumah Umoh Laheik atau Umoh Panja," papar Iskandar.
Setiap kali gempa besar mengguncang bumi Kerinci seperti terjadi pada 1995 dan 2009, Umoh Laheik cenderung jadi rumah yang sering ditemukan lebih banyak selamat dibandingkan rumh-rumah beton, katanya rumah masa kini itu.
"Telah cukup terbukti tingginya nilai kearifan budaya lokal Kerinci dari rumah tradisional itu, para nenek moyang sudah sangat menyadari kondisi Kerinci sebagai daerah gempa maka mereka membangun rumah Umoh Laheik atau Umoh Panja," papar Iskandar.
Setiap kali gempa besar mengguncang bumi Kerinci seperti terjadi pada 1995 dan 2009, Umoh Laheik cenderung jadi rumah yang sering ditemukan lebih banyak selamat dibandingkan rumh-rumah beton, katanya rumah masa kini itu.
Rumah-rumah itu paling parah hanya ditemukan bergeser sedikit dari pondasinya, atau melonggar pasaknya, lalu dengan bergotong royong mengungkitnya mengembalikan ke posisi pondasinya yang terbuat dari tumpukan batu kali itu, lalu pasak yang longgar kembali dibenamkan dengan palu, rumah sudah kembali ke bentuk dan posisi semula.
Menurut Iskandar, Umoh Laheik atau Umoh Panja adalah rumah-rumah rakyat, ditempati oleh keluarga-keluarga. Jadi keberadaan dan fungsinya bukan sebagai rumah adat seperti halnya `Rumah Gadang` di Sumbar.
Umoh Laheik, katanya, dibangun saling sambung menyambung satu dengan lainnya hingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa di bangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Karena itu, tak jarang panjangnya sampai belasan bahkan puluhan meter. Modelnya pun akan mengikuti kondisi kontur tanah, akan terus tersambung meskipun harus melintasi tanjakan dan penurunan, dan bahkan akan melintasi bukit berundak, hanya akan terhenti ketika menumbur tebing atau sungai, sehingga rumah itu dari kejauhan terlihat seperti badan naga yang melintas bumi layaknya tembok besar China.
Umoh Laheik, katanya, dibangun saling sambung menyambung satu dengan lainnya hingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa di bangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Karena itu, tak jarang panjangnya sampai belasan bahkan puluhan meter. Modelnya pun akan mengikuti kondisi kontur tanah, akan terus tersambung meskipun harus melintasi tanjakan dan penurunan, dan bahkan akan melintasi bukit berundak, hanya akan terhenti ketika menumbur tebing atau sungai, sehingga rumah itu dari kejauhan terlihat seperti badan naga yang melintas bumi layaknya tembok besar China.
Konstruksinya tanpa menggunakan pondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku dan hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk, atapnya pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti rumah-rumah masa kini.
Melainkan hanyalah jalinan ijuk, dindingnya dulunya adalah Pelupuh (bambu yang disamak) atau Kelukup (sejenis kulit kayu hutan), dan lantainya papan yang di`tarah` dengan beliung, sehingganya material-material dari alam itu tidak sampai memberatkan rumah.
Dengan kondisi itu, tambahnya, rumah akan tetap tahan meskipun diguncang gempa, karena tidak ada bagian yang terpatri mati dan kaku seperti beton adonan semen. Deretan rumah panjang itu hanya akan bergoyang-goyang saat gempa seakan ular yang menari mengikuti irama musik.
Melainkan hanyalah jalinan ijuk, dindingnya dulunya adalah Pelupuh (bambu yang disamak) atau Kelukup (sejenis kulit kayu hutan), dan lantainya papan yang di`tarah` dengan beliung, sehingganya material-material dari alam itu tidak sampai memberatkan rumah.
Dengan kondisi itu, tambahnya, rumah akan tetap tahan meskipun diguncang gempa, karena tidak ada bagian yang terpatri mati dan kaku seperti beton adonan semen. Deretan rumah panjang itu hanya akan bergoyang-goyang saat gempa seakan ular yang menari mengikuti irama musik.
"Semestinya masyarakat modern saat ini, khususnya bagi masyarakat Kerinci bisa memahami dan mampu meneruskan mengaplikasikan nilai-nilai kearifan budaya yang telah diwariskan nenek moyang mereka yang telah sangat berpengalaman hidup bersahabat dan menyatu dengan alam," tandasnya. [TMA, Ant]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA